
Bencana banjir di Sumatra sudah berlangsung lebih dari dua pekan sejak akhir November lalu. Pemerintah menyatakan bahwa bencana tersebut sudah berhasil ditangani sendiri. “Bencana ini sekali lagi adalah musibah, tetapi sekaligus menguji kita. Alhamdulillah, kita kuat. Kita mengatasi masalah dengan kekuatan kita sendiri,” ujar Presiden Prabowo pada Perayaan HUT Puncak Golkar ke-61.
Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Sejumlah laporan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang belum tersentuh bantuan Pemerintah. Hambatan akses, kurangnya koordinasi antar instansi, serta keterbatasan infrastruktur membuat proses penyaluran bantuan tidak merata. Akibatnya, banyak warga di wilayah terpencil terpaksa bertahan tanpa suplai logistik yang memadai, sementara kondisi darurat terus berlangsung.
Sejumlah warga terpaksa berjalan kaki selama berhari-hari hanya untuk mendapatkan sedikit makanan. Mereka menembus medan yang rusak akibat bencana. Mereka melewati reruntuhan bangunan, tanah longsor dan jalan yang terputus. Kondisi ini menunjukkan betapa kritisnya situasi kebutuhan pangan di lokasi terdampak dan betapa tidak meratanya distribusi logistik yang seharusnya dapat segera menjangkau seluruh korban. Gubernur Aceh bahkan menegaskan bahwa sebagian rakyatnya meninggal bukan karena dampak langsung bencana, melainkan karena kelaparan yang tak tertanggulangi di daerah bencana.
Prinsip Dasar Kepemimpinan Negara

Persoalan mendasar dari lambannya penanganan bencana dan lemahnya keberpihakan pada rakyat sesungguhnya berakar pada cara pandang bernegara dan paradigma kepemimpinan. Banyak pejabat melihat kekuasaan bukan sebagai amanah untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat. Mereka memandang kekuasaan sebagai posisi strategis yang dapat dimanfaatkan untuk memperluas jejaring, pengaruh serta keuntungan politik. Ketika pola pikir ini mengakar, negara kehilangan orientasi moralnya dan gagal menjalankan fungsi asasinya sebagai pelindung warganya.
Dalam praktiknya, sistem demokrasi sering terkooptasi oleh kepentingan para pemilik modal. Akibatnya, penguasa sering mendahulukan kepentingan para pemilik modal yang telah menjadi investor politik mereka daripada kepentingan rakyat. Para pemilik modal ini memberikan dukungan finansial tentu tidak secara cuma-cuma. Semua itu adalah investasi yang harus kembali dalam bentuk kemudahan izin, pengabaian hukum atau perlindungan atas operasi bisnis mereka. Akibatnya, relasi kuasa berubah: bukan rakyat yang menjadi prioritas, melainkan para penyandang dana politik yang menuntut balas jasa. Itulah mengapa, pembalakan hutan ratusan ribu bahkan jutaan hektar oleh para pengusaha justru dilegalkan oleh negara. Tak peduli hal itu merugikan rakyat banyak. Bencana banjir akibat penggundulan hutan hanya salah satunya.
Wajar jika hingga hari ini belum ada satu pun pemilik perusahaan yang diduga menjadi penyebab bencana ditetapkan sebagai tersangka. Penegakan hukum berjalan lambat, penuh tarik ulur, dan cenderung menghindari aktor-aktor besar yang memiliki koneksi kuat dengan elite kekuasaan. Ketidakberanian aparat untuk menyentuh para pemilik modal menunjukkan betapa hukum telah mengalami penyimpangan. Betapa kuatnya pengaruh oligarki dalam menentukan arah kebijakan maupun proses penegakan keadilan.
Di sisi lain, anggaran penanggulangan bencana dalam RAPBN 2026 menunjukkan lemahnya prioritas negara dalam melindungi rakyat dari ancaman ekologis yang semakin sering terjadi. Dana untuk lembaga kebencanaan Pemerintah hanya dialokasikan sebesar Rp 4,6 triliun. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan skala ancaman bencana di Indonesia yang termasuk negara paling rawan bencana di dunia. Minimnya anggaran ini berpotensi memperlambat mitigasi, memperburuk respons darurat, serta menghambat pemulihan jangka panjang bagi masyarakat terdampak.
Belajar dari Sistem Kepemimpinan Islam

Dalam sistem kepemimpinan Islam, yakni Khilafah, seorang khalifah wajib mengurus dan menangani korban bencana dengan standar syariah yang jelas dan terukur. Pengelolaan negara bukan sekadar administrasi birokratis, tetapi merupakan amanah syar‘i. Hal ini menuntut pemimpin yang bertakwa serta kebijakan yang berpihak pada keselamatan dan kesejahteraan rakyat.
Karena itu penanganan bencana tidak diserahkan pada mekanisme pasar atau bergantung pada kepentingan politik, melainkan berlandaskan pada ketentuan syariah yang mengikat.
Dalam sistem Khilafah, alokasi anggaran dalam APBN (Baitul Mal) disusun sesuai dengan ketentuan syariah. Pos-pos anggaran seperti fai’, kharaj, jizyah dan hasil kepemilikan umum diarahkan untuk memastikan pemenuhan kebutuhan mendesak rakyat, termasuk penanganan korban bencana.
Dengan struktur anggaran yang bersifat amanah dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan oligarki, negara dapat mengerahkan seluruh potensi finansialnya secara cepat dan tepat, tanpa hambatan politik atau korupsi. Negara juga akan menyerukan warga untuk saling tolong-menolong sebagaimana diperintahkan dalam Islam. Mobilisasi masyarakat dilakukan secara terorganisasi, bukan sekadar imbauan tanpa arah.
Negara menggerakkan potensi sosial, lembaga kemasyarakatan dan komunitas agar bahu-membahu membantu korban bencana. Semangat ukhuwah ini memperkuat solidaritas sosial sehingga setiap individu merasa bertanggung jawab melindungi dan menyelamatkan saudaranya yang tertimpa musibah. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ:
المُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
"Seorang Mukmin bagi Mukmin lainnya adalah seperti satu bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan satu sama lain" (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Jika dana di Baitul Mal tidak mencukupi, negara akan memungut dharîbah secara syar‘i, yaitu pungutan sementara kepada kaum Muslim yang kaya untuk menutupi kebutuhan mendesak penanganan bencana.
Pada saat yang sama, negara memastikan bahwa seluruh kebutuhan dasar rakyat terpenuhi; mulai dari makanan, tempat tinggal hingga pemulihan fasilitas umum seperti jalan, jembatan, listrik dan air bersih. Dengan mekanisme ini, Khilafah mampu memberikan respon cepat, terstandar dan berkeadilan. Dengan itu masyarakat dapat segera bangkit kembali pasca bencana.
Cara pandang yang dibentuk oleh Islam dalam bernegara adalah ri’âyah syu’ûn al-ummah, yaitu mengurus dan mengatur urusan rakyat dengan penuh amanah. Negara dalam pandangan Islam bukanlah alat kekuasaan, melainkan institusi yang diwajibkan syariah untuk menjaga kemaslahatan manusia.
Allah ﷻ menegaskan kewajiban pemimpin untuk menegakkan keadilan dan amanah:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرا
"Sesungguhnya Allah menyuruh kalian agar menyerahkan amanah kepada yang berhak menerima amanah itu. Jika kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kalian menetapkan hukum itu dengan adil" (QS. an-Nisa’ [4]: 58).
Kepemimpinan dalam Islam dipahami sebagai tanggung jawab berat, bukan privilege politik. Rasulullah ﷺ bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya" (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan konsep ri’âyah, yakni pemimpin harus berada di garda depan dalam melayani dan melindungi rakyat serta menghadirkan keamanan dan menjamin pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan demikian arah kepemimpinan ditentukan oleh tuntunan syariah, bukan oleh kepentingan kelompok atau kekuatan oligarki. Hanya syariah Islamlah yang menetapkan mekanisme yang adil dalam mengatur kehidupan, termasuk dalam menghadapi bencana. Allah ﷻ berfirman:
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمًا لِّقَوۡمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Sistem hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin?" (QS. al-Maidah [5]: 50).
Ayat ini menunjukkan bahwa hukum di luar syariah hanya menghasilkan ketidakadilan, termasuk dalam tata kelola negara, distribusi bantuan dan perlindungan rakyat. Syariahlah yang bisa memastikan negara menjalankan fungsinya sebagai pelindung bagi manusia pada saat aman maupun krisis.
Karena itu umat membutuhkan sistem kepemimpinan yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dan konsisten. Inilah yang pernah diterapkan selama berabad-abad sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam dulu. Khilafah Islam bukan sekadar struktur politik, tetapi wujud konkret dari kewajiban menegakkan hukum Allah ﷻ secara kâffah dalam mengatur urusan manusia.
Dalam konteks bencana, Khilafah akan menggerakkan seluruh potensi negara, baik anggaran, personil, logistik dan solidaritas masyarakat. Semua itu demi menjaga nyawa dan kehormatan rakyat. Nabi ﷺ bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ
"Kaum Muslim itu bersaudara. Ia tidak menzalimi saudaranya dan tidak membiarkan saudaranya itu (dalam kesusahan)" (HR. al-Bukhari).
Hadis ini menegaskan bahwa negara dalam Islam harus menjadi pelindung utama rakyat. Dengan itu mereka merasa aman dan terayomi dalam kondisi apa pun, baik pada masa normal maupun ketika ditimpa bencana. Inilah yang sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh rakyat di negeri ini. Bukan sistem kepemimpinan khas demokrasi-kapitalis-sekuler yang pragmatis dan transaksional yang terbukti telah menyengsarakan rakyat.
Hikmah:
Rasulullah ﷺ bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَتَدْعُونَ لَهُمْ وَيَدْعُونَ لَكُمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
"Pemimpin terbaik kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; juga yang kalian doakan dan mereka pun mendoakan kalian. Pemimpin terburuk kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; juga yang kalian laknat dan mereka pun melaknat kalian." (HR. Muslim).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 423
