Type Here to Get Search Results !

KEBANGKITAN PETANI MUSLIM: DARI LADANG KE PAHALA, DARI SEJARAH KE MASA DEPAN


Tanah air kita, Indonesia, diberkahi dengan iklim tropis yang hangat, curah hujan yang melimpah, serta tanah yang subur dari Sabang sampai Merauke. Wilayah ini termasuk salah satu mega biodiversity (negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar, baik di daratan maupun di lautan) dunia, kaya akan plasma nutfah (keanekaragaman genetik)—sumber genetik tanaman pangan, buah, rempah, dan obat-obatan yang sangat berharga. Keanekaragaman hayati yang Allah titipkan di negeri ini adalah amanah luar biasa yang menanti untuk dioptimalkan.

Bukan hanya dari sisi alam, sumber daya manusia (SDM) pertanian Indonesia juga sangat besar. Generasi muda, petani tradisional, penyuluh, dan komunitas tani desa merupakan kekuatan tersembunyi yang, jika dibina dan dimotivasi dengan baik, dapat menjadi pelopor kemandirian pangan nasional.

Khususnya di wilayah Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango, potensi pertanian sangat luar biasa. Lahan-lahan yang luas, sebagian masih belum tergarap, menyimpan harapan besar jika dikelola dengan semangat dan visi Islam. Tanaman strategis seperti jagung, cabai, kelapa, dan komoditas hortikultura lainnya tumbuh subur di daerah ini. Bone Bolango juga memiliki potensi pengembangan varietas lokal serta penguatan ketahanan pangan berbasis kearifan lokal dan budaya bertani yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Sayangnya, masih banyak lahan yang belum dioptimalkan. Potensi masih tertidur. Maka, menjadi petani di negeri ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan wujud nyata dari rasa syukur kepada Allah. Menyentuh tanah dengan niat ibadah, mengolahnya dengan ilmu, dan memetik hasilnya dengan amanah adalah bentuk penghormatan terhadap nikmat Allah yang melimpah di bumi Indonesia.

Namun mirisnya adalah pandangan sebagian masyarakat yang meremehkan profesi ini. Banyak orang, terutama generasi muda, menganggap profesi petani sebagai sesuatu yang kurang bergengsi. Padahal, dalam Islam, bertani adalah profesi mulia—jalan ibadah, ladang pahala, dan kontribusi besar terhadap ketahanan umat. Di saat dunia menghadapi krisis pangan dan degradasi lahan, peran petani justru semakin vital dan harus mendapat perhatian lebih.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
"Tidaklah seorang Muslim menanam suatu tanaman atau menabur benih, kemudian ada burung, manusia, atau hewan yang memakan darinya, kecuali itu menjadi sedekah baginya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjelaskan bahwa bertani bukan hanya urusan dunia, melainkan ibadah berkelanjutan. Bahkan saat petani tidur pun, pohon yang ia tanam terus mengalirkan pahala.

Allah ﷻ juga berfirman:

وَاٰيَةٌ لَّهُمُ الْاَرْضُ الْمَيْتَةُ ۖاَحْيَيْنٰهَا وَاَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُوْنَ
"Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka dari padanya mereka makan." (QS. Yasin: 33)

Ayat ini menegaskan bahwa menghidupkan tanah adalah perintah dan tanda kebesaran Allah. Para petani yang menghidupkan lahan-lahan tidur sejatinya sedang berperan sebagai agen kehidupan.

Tanah air kita diberkahi dengan wilayah yang sebagian besar dapat ditanami sepanjang tahun. Ini bukanlah kebetulan, melainkan anugerah dari Ar-Razzaq, Sang Maha Pemberi Rezeki. Sayangnya, potensi ini belum tergarap optimal. Maka, menjadi petani bukan sekadar mencari nafkah, tetapi merupakan bentuk penghambaan dan rasa syukur kepada Allah ﷻ.

Sejarah Islam pun mencatat kejayaan luar biasa di bidang pertanian. Pada masa Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, terjadi apa yang disebut para sejarawan sebagai Islamic Green Revolution. Sistem irigasi canggih seperti bendungan dan kincir air diterapkan. Tanaman-tanaman baru seperti kapas, jeruk, tebu, dan terong diperkenalkan lintas wilayah. Bahkan teknik rotasi tanaman dan pengelolaan tanah berkembang sangat maju.

Di Andalusia, Spanyol Muslim, pertanian menjadi tulang punggung kejayaan kota-kota besar. Ilmu pertanian dikembangkan dan diwariskan ke Eropa. Sementara itu, Khalifah Umar bin Khattab ra. menetapkan kebijakan bahwa tanah tidur boleh digarap siapa pun yang mampu menghidupkannya. Tanah yang dibiarkan lebih dari tiga tahun tanpa pengelolaan akan dialihkan kepada pihak yang mau memanfaatkannya. Ini adalah bentuk nyata keberpihakan Islam kepada kesejahteraan dan produktivitas umat.

Petani adalah garda depan kedaulatan pangan. Mereka bukan sekadar penanam padi atau sayur, melainkan penjaga masa depan bangsa. Tanpa petani, negara rapuh. Islam menempatkan profesi ini dalam posisi strategis. Jika dikelola dengan amanah, niat ibadah, dan kejujuran, pertanian bisa menjadi sumber pahala dan kesejahteraan.

Generasi muda perlu diajak untuk tidak alergi terhadap lumpur dan tanah. Bertani bukan simbol keterbelakangan, melainkan lambang kekuatan dan keberkahan. Di tangan mereka, teknologi, kreativitas, dan semangat hijrah bisa membangkitkan kembali kejayaan pertanian Islam di Indonesia.

Kini saatnya kita menoleh ke ladang dengan hati yang baru. Mari bangkitkan semangat bertani sebagai bagian dari jihad ekonomi dan ibadah yang bernilai tinggi. Dengan meneladani Rasulullah ﷺ dan para khalifah yang visioner, serta menyadari potensi besar yang Allah titipkan di bumi pertiwi, mari jadikan ladang sebagai sarana menggapai pahala dan kemakmuran bersama.

Bangkitlah, petani Muslim! Karena dari tangan-tangan kalian, tumbuh kehidupan.

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”

Oleh: Yusuf Datau, S.TP
Penulis adalah Penyuluh Pertanian di Balai Penyuluhan Pertanian Kabila, Bone Bolango, Gorontalo

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.