Type Here to Get Search Results !

BERHARAP KEADILAN HANYA PADA SYARIAH ISLAM


Telah lama keadilan absen di negeri ini. Dari hari ke hari, yang ada dan makin nyata adalah wajah ketidakadilan alias kezaliman.

Jelas, hukum dan peradilan di negeri ini makin diskriminatif. Makin jauh dari rasa keadilan. Para koruptor, misalnya, yang kebetulan adalah para pejabat atau mereka yang dekat dengan kekuasaan, kerap dihukum amat ringan. Sudah begitu, masih dapat diskon masa tahanan. Bahkan dalam kasus korupsi bansos triliunan rupiah yang merugikan jutaan rakyat, pelaku dihukum amat ringan. Sebaliknya, dalam kasus pencurian yang dilakukan rakyat biasa, itu pun pelakunya kadang terpaksa mencuri karena terdesak keadaan, hukumannya bisa cukup memberatkan.

Demikian pula dalam kasus lain. Misalnya, pelanggaran protokol kesehatan (prokes) selama masa pandemi Covid-19 ini. Makin nyata adanya ketidakadilan. Di antara sekian banyak pelanggaran prokes oleh Presiden, pejabat negara dan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, pelakunya tak ada yang dihukum berat. Bahkan banyak yang bebas. Tidak dikenai sanksi sama sekali. Sebaliknya, pelanggaran prokes oleh HRS yang padahal beliau sudah membayar denda tetap diberlakukan hukuman berat. Beliau tetap dipenjarakan.

Dalam kasus lainnya tak jauh beda. Berkali-kali para BuzzerRp seperti Denny Siregar, Abu Janda, Ade Armando, dll yang diduga amat dekat dengan kekuasaan melakukan penistaan agama. Namun, sampai detik ini mereka tetap bebas berkeliaran. Tentu bebas pula mereka untuk terus melakukan ujaran-ujaran yang menimbulkan keonaran dan kemarahan publik. Mereka tak pernah sekalipun diseret ke meja hijau. Padahal sudah banyak pengaduan masyarakat terhadap mereka. Baik melalui jalur resmi/jalur hukum maupun lewat keluh-kesah masyarakat di media sosial. Sebaliknya, para tokoh agama Islam yang dituduh melakukan pencemaran nama baik begitu mudahnya diproses secara hukum dan dipenjarakan. Misalnya saja Maaher ath-Thuwailibi (almarhum) dan Gus Nur (yang baru dibebaskan). Termasuk yang terakhir, Yahya Waloni, yang dituding melakukan penistaan agama Kristen.

Tentu masih banyak bukti betapa hukum dan peradilan di negeri ini amat diskriminatif. Benar-benar tidak adil. Bahkan terasa amat zalim! Terutama tentu terhadap pihak-pihak yang berseberangan dengan kekuasaan. Sebaliknya, bagi penguasa dan pihak-pihak yang pro penguasa, hukum dan peradilan begitu memanjakan mereka.


Produk Cacat Demokrasi


Mengapa ketidakadilan dan kezaliman begitu nyata di negeri ini? Setidaknya ada dua faktor penyebabnya. Pertama: Sistem hukum dan peradilan di negeri ini sangat dipengaruhi dan dilandasi oleh sistem hukum dan peradilan Barat yang sekular. Sekularisme Barat melahirkan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk menetapkan hukum tanpa terikat oleh ajaran agama. Dengan demikian sistem hukum dan peradilan di negeri ini nyata mencampakkan hukum dari Zat Yang Mahaadil, Allah سبحانه و تعالى. Karena itu dapat dipastikan produk hukum yang dibuat pasti tidak sempurna dan memiliki banyak kelemahan.

Di sisi lain, manusia memiliki interest (kepentingan) baik pribadi maupun kelompok. Atas dasar ini, wajar jika hukum yang dihasilkan oleh rekayasa pemikiran manusia semata akan menghasilkan ketidakadilan. Hukum sangat berpihak kepada siapa yang berkuasa dengan berbagai kepentingannya. Persamaan di depan hukum menjadi tidak ada. Sebabnya, sejak awal hukum memang tidak diperuntukkan bagi semua. Inilah cacat hukum produk demokrasi.

Kedua: Bobroknya mental sebagian aparat penegak hukum. Entah polisi, jaksa atau hakim. Pasalnya, dalam sistem yang jauh dari tuntunan agama (Islam), siapapun termasuk para aparat penegak hukum begitu mudah tergiur oleh uang, jabatan, perempuan dan godaan duniawi lainnya. Akhirnya, mereka banyak yang terlibat jual-beli perkara. Keadilan pun tak bisa lagi diharapkan.


Berharap Keadilan Hanya pada Syariah Islam


Setiap orang yang mendambakan keadilan, sudah sepantasnya berharap dan bertumpu hanya pada syariah Islam. Tentu karena hanya syariah Islam yang adil. Sebabnya, syariah Islam bersumber dari Zat Yang Mahaadil. Allah Yang Mahaadil telah menetapkan sejumlah aturan/hukum untuk mengatur kehidupan manusia di dunia. Orang yang melanggar aturan/hukum-Nya dinilai berdosa dan bermaksiat. Dia bisa dikenai sanksi di dunia atau diazab di akhirat. Rasulullah ﷺ. bersabda:

وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوْقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَ مَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ إِنْ شَاءَ غَفَّرَ لَهُ وَ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
Siapa yang melanggar (ketentuan Allah سبحانه و تعالى dan Rasul-Nya), lalu diberi sanksi, itu merupakan penebus dosa bagi dirinya. Siapa saja yang melanggar (ketentuan Allah سبحانه و تعالى dan Rasul-Nya), namun (kesalahannya) ditutupi oleh Allah, maka jika Allah berkehendak, Dia akan mengampuni dirinya; dan jika Dia berkehendak, Dia akan mengazab dirinya (HR al-Bukhari).

Selain itu, sebagai Muslim kita tentu wajib meyakini bahwa hanya hukum Allah yang terbaik. Allah سبحانه و تعالى sendiri yang menegaskan demikian:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُون
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).

Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan, ayat ini bermakna bahwa tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah سبحانه و تعالى, juga tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya (Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, 6/224).

Karena itu keadilan merupakan sifat yang melekat pada Islam itu (Lihat: QS al-An'am [6]: 115). Sebaliknya, saat Islam dijauhkan, dan al-Quran tidak dijadikan rujukan dalam hukum, yang bakal terjadi adalah kezaliman. Allah سبحانه و تعالى berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan (al-Quran) maka merekalah para pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 45).

Dengan demikian keadilan dan Islam adalah satu-kesatuan. Tidak aneh jika para ulama menegaskan keadilan (al-'adl) sebagai sesuatu yang tak mungkin terpisah dari Islam. Menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah (kullu ma dalla 'alayhi al-Kitab wa as-Sunnah), baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah as-Syar'iyyah, hlm. 15).


Pentingnya Institusi Penegak Keadilan


Keadilan hanya mungkin terjadi saat Islam ditegakkan. Islam hanya mungkin tegak dengan kekuasaan. Karena itu dalam Islam, kekuasaan tentu amat penting. Tidak lain untuk menegakkan Islam. Berikutnya demi menegakkan keadilan sekaligus menolak kezaliman.

Pentingnya kekuasaan sejak awal disadari oleh Rasulullah ﷺ. Inilah yang diisyaratkan oleh Allah سبحانه و تعالى melalui firman-Nya:

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isra’ [17]: 80).

Imam Ibnu Katsir, saat menjelaskan frasa “waj’allii min ladunka sulthân[an] nashîrâ” dalam ayat di atas, dengan mengutip Qatadah, menyatakan, “Dalam ayat ini jelas Rasulullah ﷺ. menyadari bahwa tidak ada kemampuan bagi beliau untuk menegakkan agama ini kecuali dengan kekuasaan. Karena itulah beliau memohon kepada Allah kekuasaan yang bisa menolong, yakni untuk menerapkan Kitabullah, memberlakukan hudûd Allah, melaksanakan ragam kewajiban dari Allah dan menegakkan agama Allah…” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurán al-Ázhim, 5/111).

Karena itu tepat ungkapan Imam al-Ghazali yang menegaskan:

اَلدِّيْنُ وَ الْمُلْكُ تَوْأَمَانِ مِثْلُ أَخَوَيْنِ وَلَدَا مِنْ بَطْنٍ وَاحِدٍ
Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar, seperti dua saudara yang lahir dari satu perut yang sama (Al-Ghazali, At-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulk, 1/19).

Apa yang dinyatakan oleh Imam al-Ghazali setidaknya menegaskan apa yang pernah dinyatakan sebelumnya oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz di dalam surat yang beliau tujukan kepada salah seorang ‘amil-nya. Di dalam surat tersebut antara lain beliau mengungkapkan:

وَ الدِّيْنُ وَ الْمُلْكُ تَوْأَمَانِ فَلاَ يَسْتَغْنِي أَحَدُهُمَا عَنِ اْلآخَرِ
Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Tidak cukup salah satunya tanpa didukung oleh yang lain (Abdul Hayyi al-Kattani, Tarâtib al-Idâriyah, 1/395).

Alhasil, meraih kekuasaan sangatlah penting. Namun, yang lebih penting, kekuasaan itu harus diorientasikan untuk menegakkan syariah Islam secara kaffah. Hanya dengan penegakan dan penerapan syariah Islam secara kaffah, keadilan bagi semua akan tercipta. Saat keadilan tercipta, kezaliman pun pasti sirna.


Hikmah:

Allah سبحانه و تعالى berfirman (dalam sebuah hadis qudsi):

يَا عِبَادِيْ، إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلاَ تَظَالَمُوْا
Wahai hamba-hamba-Ku! Sungguh Aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku. Aku pun telah mengharamkan kezaliman itu di antara sesama kalian. Karena itu janganlah kalian saling menzalimi satu sama lain. (HR Muslim).[]

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”

Kaffah - Edisi 209

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.