Type Here to Get Search Results !

Rasulullah SAW Suri Teladan Abadi bagi Hamilud da’wah

RASULULLAH SAW SURI TELADAN ABADI BAGI PENGEMBAN DA’WAH




          Standar pijakan da’wah Rasulullah SAW dalam mengemban da’wah Islamiah, telah mengikuti suatu metode (thariqah) yang khas dan tetap. Thariqah itu telah digariskan melalui wahyu yang telah ditentukan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW agar menjalankan metode da’wah tersebut pada setiap langkah, dari rangkaian proses dan langkah-langkah perjuangannya dalam mengemban da’wah Islamiyah sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah SWT :


قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: Inilah jalan (da’wah)ku. Aku beserta orang-orang yang mengikutiku (yang) mengajak kalian kepada Allah dengan hujjah nyata. Maha suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yusuf 108).

Selama Rasulullah SAW dan para shahabatnya berada di Mekkah, mereka berdakwah dengan jalan selalu mengadakan pergolakan pemikiran melawan aqidah kaum musyrikin dan adat serta tradisi mereka. Disamping itu, Rasulullah SAW juga menempuh perjuangan politik (kifaahus siyasi) untuk menghancurkan kekuatan mereka serta bertujuan untuk mengambil kekuasaan dan mengambil pemerintahan dari tangan mereka.

Semua itu ditempuh dalam rangka membuka jalan da’wah agar da’wah Islamiyah dapat sampai kepada bangsa lain, sehingga penduduknya dapat memeluk Islam. Mereka pun akan hidup aman di negerinya sendiri yang telah menjadi bagian dari Darul (negeri) Mukminin, tanpa ada seorangpun yang merintangi perjalanan hidupnya setelah ia memeluk Aqidah Islamiyah.


Berda’wah Memang Membutuhkan Keberanian



          Apabila dipahami, dalam Al-Qur’an dan sunnah terutama sejarah kehidupan Rasulullah SAW, maka jelaslah bahwa untuk mengemban da’wah Islamiyah dibutuhkan adanya keterus-terangan (tidak menyembunyikan atau menutup-nutupi kebenaran), keberanian, daya usaha, dan kekuatan pemikiran. Keterusterangan itu tampak dari sikap Rosulullah SAW. dalam setiap kata yang diucapkan dan kejelasan setiap pemikirannya, ketika beliau mengajak kepada manusia serta menyerukan agar berkumpul dihadapannya.

Hal itu nampak dalam ucapan beliau di hadapan kaumnya dan penduduk Mekkah :

“Sesungguhnya seorang pemimpin tidak akan mendustakan kaumnya. Demi Allah, bahkan andaikan aku berdusta kepada segenap manusia, maka aku tidak akan berdusta kepada kalian. Juga andaikan aku menipu manusia seluruhnya, maka tidak mungkin aku menipu kalian. Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kalian khususnya dan kepada manusia seluruhnya. Demi Allah kamu akan mati sebagaimana kamu tidur dan kamu akan dibangkitkan kembali sebagaimana kamu bangun dari tidur dan dihisab atas segala apa yang kamu kerjakan sehingga kamu akan dibalas dengan kebaikan atas amal baikmu dan dengan keburukan atas amal burukmu. Adapun balasan itu berupa surga yang kekal atau neraka yang langgeng.” (Sirah Al-Halabiyah I : 459).

Adapun keberanian Rasulullah SAW. yang paling menonjol dalam menyampaikan da’wah secara terang-terangan, antara lain tampak pada saat beliau masih seorang diri, tanpa harta, senjata dan penolong (kecuali Allah SWT), melainkan hanya keimanan yang kokoh kepada Allah SWT.

Pernah suatu ketika Abu Jahal datang melarang beliau shalat di dekat Ka’bah, tetapi beliau tidak mempedulikannya, bahkan kembali mengulang shalatnya. Saat itu Abu Jahal mengancam hendak menginjak leher beliau, ketika beliau sedang sujud. Namun tidak ada seorangpun diantara mereka, baik Abu Jahal maupun para pemimpin Mekkah lainnya, dapat menghentikan perbuatan Rosulullah SAW. untuk shalat di Ka’bah.

Demikianlah, dengan keberanian yang kuat, Rasulullah SAW menghadapi makar seluruh para pemimpin Quraisy. Beliau menghadapi mereka di berbagai kesempatan, sehingga pada suatu hari saat ketika sedang thawaf, beliau diancam dan dihalangi, beliau pernah berkata:

“Apakah kalian mau mendengarkan apa yang akan kusampaikan wahai kaum Quraisy? Demi yang nyawaku berada di tangan Allah, aku ingatkan kalian bahwa suatu saat nanti aku akan membunuh kalian.” (Sirah Ibnu Hisyam I : 190)


Da’wah Memerlukan Keteguhan Jiwa




          Adapun kekuatan Rasulullah SAW tampak dari kekuatan kebenaran yang beliau serukan melalui untaian kalimat yang jelas dan tegas, penuh percaya diri. Begitu pula tampak pada keteguhan hati beliau yang tidak pernah berkurang semangatnya, meski menghadapi berbagai kesulitan, ancaman, intimidasi dan provokasi dari kaumnya agar beliau meninggalkan dakwahnya. Bahkan meskipun ditawarkan kepada beliau kesenangan dunia berupa kekuasaan, harta benda, wanita dan pengobatan medis gratis bila Rasulullah SAW ‘gila’ karena wahyu (menurut mereka) namun beliau tetap tegar secara konsisten dan konsekuen.

Selain itu muncul ‘tekanan’ yang dilakukan oleh pamannya sendiri (Abu Thalib) yang selama ini menjadi pelindungnya, menyuruh beliau meninggalkan da’wah agar tidak menyulitkan posisi pamannya di hadapan pemimpin Quraisy. Tetapi beliau selalu memperlihatkan kesiapannya untuk berjuang dan menanggung resiko, meski berwujud kematian dalam mewujudkan da’wah yang telah Allah SWT turunkan kepadanya. Bahkan beliau sempat menyampaikan pernyataan yang masyhur di hadapan pamannya, yaitu :

“Demi Allah hai pamanku. Seandainya mereka mampu meletakkan matahari pada tangan kananku dan rembulan pada tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara (da’wah) ini, tiadalah aku akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan da’wah atau aku binasa karenanya” (Tarikh Tabari II:326; Tarikh Ibnul Atsir II:64)

Lebih dari itu, selama Rasulullah SAW dan para shahabatnya mengemban da’wah ini di Mekkah, mereka tidak pernah berdamai apalagi bekerjasama dengan seorangpun para pemimpin atau pembesar manapun dan tidak pula peduli terhadap perlakuan kasar dan keras dari para pembesar tersebut. Semua ini dilakukan dan dipertahankan dalam rangka menegakkan kebenaran. Bahkan mereka tantang masyarakat, sekalipun kesulitan dan bahaya serta segala rintangan harus dihadapi. Tidak terpetik dalam diri mereka, ketika mengemban da’wah ini, keinginan untuk mendapatkan kedudukan, kebesaran atau kemaslahatan pribadi lainnya. Tidak ada perasaan takut ditentang dalam keadaan hidup dan mati. Tidak merasa khawatir terhadap kedudukan duniawi. Tidak peduli dengan rezeki dan masa depan mereka, karena Allah SWT yang telah menentukan semua itu. Tidak pula goyah sedikitpun pendirian mereka dalam menghadapi penghinaan, penderitaan, siksaan dan kemiskinan. Dari semua sikap yang demikian itu, nampak sekali bagi kita betapa kuatnya pribadi-pribadi mereka itu.


Da’wah Perlu Pemikiran dan Pengetahuan




          Pelaksanaan da’wah sangat memerlukan pemikiran dan pengetahuan sebagaimana ayat pertama yang diturunkan :



اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan menyebut nama Rabb mu yang menciptalan (segala sesuatu)”.
(QS.Al-Alaq : 1)

Lagipula Rasulullah SAW tidak menyeru manusia kepada sesuatu apapun, melainkan setelah turunnya Al-Wahyu. Sebab seperti yang telah dimaklumi bahwa wahyu telah diturunkan semenjak beliau masih berada di Mekkah, wahyu juga turun saat Rasulullah melalui berbagai fase dalam berdakwah untuk mencapai berbagai sasaran dengan berbagai kesulitannya.

Allah SWT berfirman :


وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا ۖ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu (berupa pertolongan Allah), maka sesungguhnya kamu berada dalam pengawasan (perlindungan) Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri, (QS Ath-Thuur : 48).

“(Dan ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) melakukan daya upaya terhadap dirimu untuk menangkap dan memenjarakan atau membunuh kamu, atau pula mengusirmu (dari Mekkah). Mereka melakukan tipu daya, tetapi Allah menggagalkannya. Dan Allah lah sebaik-baiknya pembalas tipu daya.”(QS.Al-Anfaal : 30)

Oleh karena itu Rasulullah SAW sangat menginginkan untuk mengajari para shahabatnya mengenai ayat-ayat Al-Qur’an dan keseluruhan wahyu yang diterimanya sebagai penjelasan, penafsiran atau perincian Al-Qur’an. Beliau menyuruh mereka untuk memahami dan menghafalkannya dan membantu beliau untuk menyebarluaskannya kepada seluruh manusia, serta mengajarkan dan meneruskannya kepada yang lain, secara jujur, amanah tanpa mengubah-ubah baik dengan menambahkan maupun menguranginya. Para shahabat Rasulullah SAW telah menemukan nilai pemikiran dalam kehidupan mereka, sehingga misalnya Umar bin Khathab ra. pernah menyuruh kaum muslimin untuk mempelajari, mendalami dan memahami hukum-hukum agama Islam, sebelum mereka memperoleh kekuasaan dan pemerintahan di muka bumi ini. Dalam hal ini Umar bin Khathab ra. berkata :

“Pahamilah hukum-hukum agama sebelum kamu menjadi pemimpin (penguasa)” (HR.Al-Baihaqi)


Sikap Para Pengemban Da’wah




          Ketika seorang pengemban da’wah telah memiliki pemikiran Islam yang kokoh dan jernih dan ditambah dengan sikap memiliki kejelasan, keterusterangan, keberanian dan kekuatan pribadi maka da’wah yang disampaikanpun harus memiliki uslub ‘agresif’ yaitu menentang secara aktif segala hal yang bertentangan dengan aqidah, ide-ide dan aturan Allah serta menjelaskan kepalsuannya tanpa memperhatikan hasil atau akibat/resiko yang akan terjadi. Selain itu, diharuskan adanya kedaulatan yang mutlak bagi mabda’ Islam (Aqidah dan Syariah Islam) tanpa melihat disetujui oleh rakyat banyak atau tidak, apakah sesuai dengan tradisi (adat) manusia atau bertentangan, serta apakah diterima masyarakat atau ditentangnya.

Jadi, seorang pengemban da’wah tidak sepantasnya membujuk rayu masyarakat, mengambil muka mereka, juga tidak diperbolehkan menjilat orang-orang yang memiliki jabatan ataupun berbasa-basi terhadap mereka. Setiap pengemban da’wah tidak boleh meniru adat istiadat salah masyarakat. Bahkan seharusnya pengemban da’wah hanya berpegang teguh kepada Islam, dengan penuh keberanian mengungkapkan secara terus terang mengenai Islam tanpa memperhitungkan apapun dan berjuang optimal meraih kemuliaan Islam.

Rasulullah SAW diutus Allah SWT ke dunia ini bersama risalah-Nya adalah untuk menentang segala yang bertentangan dengan Islam agar meyakini apa-apa yang Dia serukan. Bahkan bila dianggap perlu beliau memaklumkan jihad fisabilillah terhadap semua bangsa manusia yang menentang Islam.
Beliau tidak pernah memandang semua itu berdasarkan sesuatu pertimbangan apapun selain dengan risalah Islam. Beliau menghadapi kaum Quraisy dengan menyebut tuhan-tuhan mereka seraya mencela tindakan itu. Beliau menantang dan menjatuhkan keyakinan mereka pada saat Beliau masih seorang diri atau tanpa pertolongan dan perlindungan selain dari Allah SWT. Beliaupun tidak pernah memperdulikan adat dan tradisi bangsa Arab, agama dan keyakinan mereka, serta tidak berbasa-basi, kompromi apalagi bekerjasama dengan mereka.

Demikianlah sikap dan tindakan Rasulullah SAW. Dengan demikian bagi setiap pengemban da’wah pada setiap zaman atau krurun waktu haruslah bersikap terbuka, menentang dan mendobrak adat, tradisi, pemikiran-pemikiran yang merusak serta pemahaman-pemahaman yang salah. Bahkan harus berani menentang opini umum jika hal itu salah, walaupun harus menghadapi kecaman dan serangan balik dari mereka. Begitu pula dia harus menentang segala aqidah, keyakinan dan agama-agama mereka, meskipun harus berhadapan dengan kefanatikan pemeluknya, serta permusuhan dan kebencian dari para penganutnya yang apatis terhadap kesesatannya. Jadi keimanan dan keyakinan yang teguh terhadap Islam tanpa menimbulkan keragu-raguan sedikitpun adalah suatu perkara yang wajib dimiliki oleh seorang pengemban da’wah karena hal itulah yang menjamin keberlangsungan da’wah secara tepat.

Iman yang demikianlah yang mampu mendorong keberadaan da’wah, tegak menentang segala sesuatu yang salah dan menyimpang sehingga mampu mendorong adanya kedaulatan bagi mabda’ Islam sebagai satu-satunya mabda’ yang benar, dan meyakini mabda’ lainnya adalah kufur, apapun bentuk dan macamnya.

Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT :


إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS.Ali Imran : 19)

Inilah pandangan Islam. Oleh karena itu setiap orang yang tidak beriman kepada Islam adalah kufur. Maka tidaklah boleh sama sekali bagi para pengemban da’wah Islam, untuk mengatakan kepada orang-orang yang mengemban pemikiran yang bertentangan dengan Islam, apakah dalam masalah agama atau ideologinya, dengan mengatakan: ‘Silakan saja kamu berpegang teguh kepada agama atau ideologi kamu’. Bahkan pengemban da’wah wajib menyeru mereka kepada Islam dengan cara memakai hikmah (hujjah) dan nasehat yang baik, agar mereka dapat tertarik dan kemudian memeluk Islam, sesuai firman Allah SWT :



ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (Manusia) kepada jalan Tuhan-mu (Islam) dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu (Allah) Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl : 125)

Cita-cita, Kesungguhan dan Ketegasan Pengemban Da’wah




          Demikianlah, dengan keyakinan yang penuh terhadap Islam, memastikan bahwa di dalam masyarakat dan dunia ini kedaulatan yang mutlak hanyalah terletak pada mabda’ Islam, bukan pada mabda’ (ideologi) dan ajaran agama lain.

Disamping itu, para pengemban da’wah Islam dituntut memiliki cita-cita dan kesungguhan dalam melaksanakan Islam secara sempurna dan tidak boleh melalaikan pelaksanaan satu ajaranpun meski bagaimanapun kecilnya. Karenanya pengemban da’wah tidak boleh menerima tawaran apapun dari musuh-musuhnya agar mau meninggalkan pelaksanaan hukum atau menunda-nunda pelaksanaannya. Akan tetapi ia harus mengambil Islam secara kaffah dan segera mewujudkannya tanpa peduli terhadap sikap dan suara orang-orang yang tidak setuju dan menghambat pelaksanaannya.

Dalam hal ini, seorang pengemban da’wah wajib bercermin kepada sifat dan tindakan Rasulullah SAW yang menolak usulan utusan Bani Tsaqif yang meminta beliau agar (1) membiarkan dan tidak menghancurkan berhala sesembahan mereka selama tiga tahun, dan (2) membiarkan mereka meninggalkan shalat, tetap berzina, meminum khamr, melakukan aktivitas riba, apabila mereka telah masuk Islam. Belaiu sama sekali tidak menerima permintaan mereka itu, meski mereka menurunkan jumlah waktu menjadi dua tahun, bahkan sebulan sekalipun. Beliau tetap menolak dengan tegas tanpa memberikan kelonggaran sedikitpun.

Meski sikap tegas itu berlangsung tanpa kompromi, yakni menolak permintaan mereka untuk tidak menghancurkan berhala, namun ternyata ada garis kebijakan politik yang beliau lakukan yaitu menugaskan Abu Sofyan dan Al-Mughiroh bin Syu’bah sebagai wakil beliau untuk menghancurkannya. Kedua orang ini berasal dari luar suku mereka. (Sirah Al-Halabiyah III : 234)


Sasaran dan Tujuan Da’wah




          Itulah fakta sejarah, yang sekaligus harus menjadi uswah serta menunjukkan betapa Rasulullah SAW tidak menerima keyakinan seseorang melainkan dengan aqidahnya yang utuh sempurna, dibarengi dengan tuntutan pelaksanaan yang konsisten dan konsekuen. Dalam kasus diatas, hanya masalah wasilah (perantara) serta teknik pelaksanaannya yang terlihat seolah-olah beliau menerima utusan kabilah tersebut dalam bentuk ‘sinkritisme’ (kesatuan keyakinan) tetapi ternyata tetap saja dalam masalah keyakinan dituntut utuh. Oleh karena itu, da’wah Islamiyah haruslah dalam bentuk usaha mempertahankan aqidah maupun fikrah Islam, serta mempertahankan pula pelaksanaannya dengan sempurna tanpa kompromi, tanpa adanya proses adaptasi dan tidak membiarkan terjadinya kelalaian dalam melaksanakan Islam. Dalam hal ini, seseorang boleh saja mempergunakan teknik dan sarana apapun, sepanjang hal tersebut ada kaitannya antara ide dengan hukum Islam.

Pengemban da’wah wajib mengarahkan setiap amalnya kepada arah tertentu. Selain itu ia dituntut pula untuk selalu mencamkan tujuan tersebut dalam benaknya dan selalu terus berusaha tanpa kenal istirahat untuk mencapai tujuan tersebut. Sebab tentu ia tidak akan rela sekedar menerima ide (Islam) tanpa berusaha mengamalkannya, menganggap bahwa semua itu hanya sebuah khayalan belaka.

Ia juga tidak akan rela dengan pemikiran dan usaha yang tidak mengarah kepada tujuan tertentu karena hal tersebut ibarat putaran ‘gasing’ yang hanya bergerak di tempat, sehingga usaha seperti itu hanya akan berakhir pada ‘kejumudan dan keputusasaan’. Bahkan ia tidak akan henti-hentinya berusaha mengaitkan pemikiran dan amal perbuatan, menjadi pemikiran dan amal perbuatan yang mengarah pada tujuan yang dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata.

Rasulullah SAW memimpin qiyadah fikriyah (memimpin umatnya atas dasar ide-ide Islam) sejak beliau berada di Mekkah. Saat itu Rasulullah SAW mengajak umat manusia untuk memeluk Islam. Beliau mengarahkan pemikiran mereka agar menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan berfikir. Beliau juga berusaha untuk mendaulatkan Islam sebagai satu-satunya sistem yang layak diterapkan dalam masyarakat.

Rasulullah SAW mulai mendidik orang-orang yang telah beriman yang kemudian menjadi shahabat-shahabatnya agar mereka memadukan antara pemikiran dan perbuatan. Beliau juga mengajarkan kepada mereka 10 ayat Al-Qur’an, dan tidak mengajarkan yang lain sampai mereka memahami maknanya dan mengamalkan isinya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dan para shahabat lainnya. (Muqaddimah Ibnu Taimiyah, dalam kitab Ushulut Tafsir : 44)

Rasulullah SAW menggambarkan kepada mereka bahwa Allah SWT akan memenangkan agamanya di seluruh jazirah Arab sehingga orang yang berjalan dan berkendaraan dari Shan’an (Yaman Utara) ke Hadral Maut (Yaman Selatan) tidak akan merasa takut, kecuali hanya kepada Allah semata. Ia aman (Shahaih Bukhari, hadits No. 3852).

Untuk tujuan itu, Rasulullah SAW telah memulai da’wahnya dari Mekkah. Setelah terjadi pergolakan yang lama serta perjuangan yang penuh dengan kesengsaraan, beliau lalu menetapkan bahwa masyarakat Mekkah tidak dapat dijadikan titik acuan (sentral) untuk menerapkan sistem Islam.Oleh karena itu beliau berusaha mempersiapkan masyarakat Madinah sampai beliau berhasil mendirikan masyarakat Islam, menerapkan sistem Islam, mengembangkan risalah-Nya, serta mempersiapkan umatnya untuk mengembangkan risalah tersebut sesudahnya, sejalan dengan metode yang telah digariskan. Selain itu beliau juga menjelaskan kepada kaum muslimin bagaimana caranya mengatur urusan pemerintahan, membentuk strukturnya dan berusaha menghimpun sumber pendapatan dan belanja, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem dan mekanisme pemerintahan. Beliau memerintahkan kaum muslimin sesudahnya untuk tidak melewatkan satu kurun waktupun tanpa adanya khalifah (Tartib Musnad Imam Ahmad XIII : 12), dan tidak membiarkan waktu terluang tanpa adanya jihad dan futuhat daerah baru (Sunan Abu Dawud III : 12, Sunan Ad Dailami, Firdaus Al-Akhbar : 228).