Mempelajari sejarah dakwah Rasulullah SAW berarti mempelajari seluruh
 perilaku beliau. Kehidupan Rasulullah SAW adalah kehidupan dakwah, 
kehidupan perjuangan menghadapi berbagai pemikiran kufur, dan kehidupan 
mengemban risalah yang diamanahkan  Allah SWT untuk disampaikan kepada 
manusia secara keseluruhan.
Dua puluh tiga tahun lamanya beliau bersungguh-sungguh, tanpa mengenal 
lelah, berdakwah terus menerus tak pernah sekejappun berhenti, mengajak 
manusia kepada Islam dengan dakwah fikriyah, dakwah siyasiyah dan dakwah
 askariyah.
Disebut dakwah fikriyah karena beliau memulai dakwahnya dengan 
menyebarkan aqidah Islam seraya mendobrak segala bentuk pemikiran dan 
pandangan hidup yang menyesat kan, dan menghancurkan segala bentuk 
kepercayaan dan tradisi nenek moyang yang jahiliyah.  Disebut    dakwah 
siyasiyah karena dakwah ini mengarahkan umat pada suatu kekuatan sebagai pelindung dakwah agar bisa menyebar luas ke seluruh pelosok sudut-sudut
 dunia. Disebut dakwah askariyah karena dakwah ini membutuhkan taktik 
dan strategi dalam jihad fi sabilillah.
Beliau begitu sukses dalam mengemban dakwah ini, membina masyarakat, 
hingga mampu mendirikan daulah (negara). Beliaupun berhasil menghimpun 
umat yang terpecah belah, berqabilah-qabilah menjadi umat yang satu di 
bawah panji-panji Islam.
Sukses yang beliau raih bukan melalui perubahan sosial terlebih dahulu 
atau perubahan moral, walaupun hal tersebut  sangat diperlukan. Juga 
tidak melalui slogan-slogan sukuisme, qoumiyah, ashobiyah (fanatisme 
golongan) dan lain-lain. Akan tetapi beliau memulainya dengan konsep 
aqidah “laa ilaaha illallah”. Aqidah inilah yang merubah pemikiran, 
pemahaman, perasaan dan pandangan serta perilaku hidup masyarakanya 
sehingga terwujud generasi sahabat yang mampu meneruskan risalah dakwah 
ini tersebar luas ke seluruh pelosok dunia.
Pada dasarnya kesempurnaan dakwah Islamiyah itu telah terhenti sejak 
terhentinya penaklukan Islam. Dan umat Islam sebagai ummatan wahidah 
sesudah itu terkoyak-koyak menjadi berbagai suku bangsa yang lemah dan  
berdiri sendiri-sendiri. Padahal pada mulanya merupakan satu kekuatan 
tangguh yang disegani oleh musuh-musuhnya.  Kini, umat sangat 
membutuhkan orang yang mau mengemban dan melanjutkan risalah dakwah 
Islamiyah untuk membangkitkan kembali kekuatan itu, melalui suatu 
kebangkitan yang benar yang berdasarkan Islam. Umat saat ini sangat 
membutuhkan orang yang mau menghimpun kembali barisan yang tercecer, 
shaf-shaf yang terbengkalai dan menyatukan seluruh kekuatan yang ada 
agar  tegak dan terbina masyarakat yang Islami serta untuk memulai 
kembali missi dakwah ini ke seluruh dunia untuk kedua kalinya.
Terwujudnya cita-cita ini hanya tercapai dengan jalan dakwah, sebab 
hanya jalan inilah yang ditempuh oleh Rasulullah SAW sehingga meraih 
kesuksesan yang luar biasa. Jejak langkah tersebut kemudian diikuti oleh
 generasi sahabat. Jalan yang ditempuh adalah jalan yang lurus. Metode 
yang dipakai adalah metode yang benar sehingga membuahkan hasil yang 
luar biasa. Metode yang beliau lakukan adalah metode yang wajib 
diteladani, dan jalan ini wajib ditempuh umat Islam dewasa ini dengan 
cermat dan teliti agar kita tidak terperosok di jalan yang salah. 
Kesalahan sedikit saja dalam menganalogikan dakwah Rasulullah SAW, atau 
menyimpang dari jalan yang telah digariskan oleh beliau dapat 
mengakibatkan kita tersesat di tengah jalan dan sekaligus awal kegagalan
 dalam meraih cita-cita.
          Agar tidak menemui kesulitan dalam meniru gerak langkah dakwah 
Rasulullah SAW, maka kita harus kembali kepada Al-Quran dan Sunnah 
Rasul, khususnya kembali kepada siroh Nabi SAW. Kita mesti berhenti lama
 untuk memandang dan merenung di hadapan siroh Rasulullah SAW. untuk 
mengetahui apa yang beliau katakan dan yang beliau perbuat, dan untuk 
mengetahui jalan yang pernah beliau tempuh ketika mengemban risalah 
dakwah ini sesuai dengan yang telah digariskan oleh Allah SWT kepadanya.
 Kemudian kita harus berjalan bersamanya, meneguhkan niat untuk 
mengikuti tuntunannya, tetap berada pada jejak langkahnya sehingga kita 
bersama seluruh umat Islam senantiasa berada di pihak yang mengikuti 
jejak langkahnya.
Bila kita telah mengemban risalah dakwah ini dan telah berbuat sesuai 
dengan garis perjuangan beliau, berjalan di jalan yang pernah beliau 
lalui, pastilah kemenangan akan datang. Saat itu pertolongan Allah akan 
tiba sesuai dengan cita-cita dan harapan. Cita-cita tersebut tiada lain
 adalah memulai kembali kehidupan Islam secara keseluruhan dengan 
mewujudkan aturan Allah di muka bumi ini, serta mengemban dakwah 
Islamiyah ke seluruh bangsa.
Oleh karena itu pemahaman tentang sejarah dakwah Rasulullah SAW atau 
sirah Rasul secara keseluruhan mutlak diperlukan oleh setiap umat Islam 
pemegang amanah Allah dan penerus risalah dakwah. Dengan demikian 
kejayaan Islam dapat direbut kembali dan Islam dapat tegak di muka bumi 
ini. Pada akhirnya umat dapat bergerak bebas dan merdeka dalam 
menyampaikan dakwah Islamiyah di bawah naungan Khilafah Ar-Rosyidah.
Allah SWT telah menurunkan agama ini bagi seluruh umat manusia. Dialah 
yang menjadikan Islam sebagai agama Fithrah. Dialah yang mengokohkannya 
dan Dialah yang pasti akan menolongnya serta memenangkannya terhadap 
agama atau ideologi lain walaupun orang-orang kafir membencinya.
PERIODE DAKWAH DI MAKKAH
          Dengan pengamatan yang jernih, akan didapatkan bahwa Rasulullah SAW 
telah menjalankan dakwah di kota Makkah melalui dua tahap 
berturut-turut. Tahap pertama  adalah tahap pembinaan dan pengkaderan, 
yakni pembinaan pemikiran dan ruh. Dan    tahap   kedua   adalah tahap 
penyebaran dakwah ke masyarakat secara zhahir dan melakukan upaya 
perjuangan untuk membentuk suatu sistem masyarakat.
Pada tahap pertama dibutuhkan adanya pemahaman dan penghayatan yang 
mendalam terhadap ilmu-ilmu yang diberikan oleh Rasulullah SAW, untuk 
kemudian berlanjut kepada pembentukan jamaah yang terdiri dari 
kader-kader inti. Pada tahap kedua, pemahaman dan penghayatan terhadap 
ilmu-ilmu tersebut berproses menjadi suatu kekuatan pendorong dalam diri
 yang terwujud lewat sikap dan perilaku yang menghasilkan dakwah terbuka
 dan perjuangan. Perubahan dari pemahaman menuju tingkah laku ini sangat
 penting, agar pengetahuan yang telah diperoleh tidak hanya akan 
tersimpan di dalam benak sebagai pengetahuan teoritis yang menjemukan, 
bagaikan buku-buku ilmu pengetahuan yang tertumpuk di dalam almari buku.
 Pada akhirnya nilai dan manfaatnya tidak terasa disebabkan tidak 
segera diwujudkan di dalam kehidupan yang nyata.
Karena itulah, diperlukan suatu proses perubahan dari satu konsep  
pemikiran  kepada satu  kekuatan  pendorong dalam diri. Perubahan 
tersebut terwujud dalam bentuk tingkah laku dakwah yang membangkitkan 
pemahaman masyarakat awam serta mendorong mereka untuk dapat mengamalkan
 dan memperjuangkannya. Dengan demikian  tujuan dapat tercapai, yaitu 
terwujudnya ajaran-ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Disini kita melihat bahwa seandainya pemikiran-pemikiran Islam yang 
telah disampaikan oleh Rasulullah SAW tidak dipahami dan dihayati secara
 mendalam serta tidak berubah menjadi suatu kekuatan pendorong dalam 
diri, atau sering tidak diamalkan dan diteruskan kepada masyarakat yang 
belum menerima dakwah, niscaya pemikiran-pemikiran itu tidak akan 
terwujud menjadi suatu kekuatan  yang dapat diamalkan dan disebarkan ke 
seluruh pelosok dunia.
Jadi, pengamalan para sahabat terhadap ajaran yang telah mereka terima 
merupakan perwujudan iman, hasil pemahaman dan penghayatan melalui 
perjuangan yang berat yang penuh resiko dan ujian.
Dengan demikian 
dakwah Rasulullah di kota Mekkah melalui dua tahap yaitu tahap pembinaan   
dan  pengkaderan   serta tahap interaksi kepada masyarakat dan 
perjuangan.
1) Tahap Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah Tastqiif)
          Dakwah Rasulullah pada tahap ini   dilaksanakan   secara     
sirriyah   (rahasia) dalam waktu tiga tahun. Saat itu dakwah belum 
dilakukan secara terbuka di depan umum, melainkan melalui 
individu-individu, dari rumah ke rumah. Mereka yang menerima dakwah atau Islam  segera dikumpulkan di rumah seorang sahabat bernama    Arqom, 
sehingga rumah tersebut dikenal sebagai Darul Arqam (rumah Arqam). 
Disanalah mereka dibina dan dikader dengan sungguh-sungguh dan 
terus-menerus. Beberapa dari mereka diutus untuk mengajarkan Islam 
kepada yang lain, diantaranya Khabbab bin Arts   yang mengajarkan 
Al-Quran kepada Fatimah binti Khaththab bersama suaminya. Semakin hari 
semakin bertambah jumlah mereka hingga mencapai 40 orang dalam waktu 
tiga tahun. Selama itu, Darul Arqam senantiasa menjadi pusat pembinaan 
dan pengkaderan para sahabat pengemban dakwah, dimana mereka berkumpul 
untuk mendengarkan dan menghayati ayat-ayat Al-Quran beserta penjelasan 
dari Rasulullah SAW.
Memang menyampaikan sesuatu yang masih asing dan belum terfikirkan oleh
 masyarakat hendaknya terlebih dulu dilaksanakan secara diam-diam, 
dengan lebih banyak bertatap muka hingga mendapat dukungan dan kerelaan 
berkorban untuk meraih cita-cita yang diharapkan. Dengan demikian 
apabila Rasulullah SAW menyampaikan dakwah pada tahap ini secara 
diam-diam, hal tersebut bukan berarti beliau takut melaksanakan secara 
terang-terangan, melainkan itulah yang dituntut untuk dilaksanakan.
Ketika turun ayat 1 dan 2 Surat Al-Mudatsir, :
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
قُمْ فَأَنْذِرْ
“Hai orang yang berselimut! bangunlah, lalu berilah peringatan”
Beliau makin bertambah yakin bahwa tugas risalah dan perintah yang 
dibebankan padanya untuk dilaksanakan akan mendapat perlindungan dari 
Allah SWT, dan bisa dilaksanakan secara terang-terangan karena Allah 
pasti akan menolongnya. Setidaknya dari contoh ini dapat diambil hikmah 
bagi para pengemban dakwah pelanjut risalah, bahwa segala sesuatu 
senantiasa terikat dengan sebab dan musabbabnya. Dakwah senantiasa 
memerlukan usaha dan ikhtiar, pemikiran dan program yang baik, tidak 
semata-mata menyerahkan kepada nasib sepenuhnya (Taqdir Allah).
Oleh karena itu, jumhur (mayoritas) ahli fiqh berpendapat bahwa jika 
kaum muslimin berada dalam posisi yang lemah, kekuatan yang rapuh dan 
dikawatirkan mereka akan binasa oleh kekuatan musuh, maka mereka harus 
memelihara diri dan agama mereka dengan cara dakwah sirriyah. Sebaliknya
 apabila terdapat kemungkinan untuk berdakwah secara zhahriyyah 
(terang-terangan), maka hal ini lebih utama karena seorang muslim tidak 
boleh menyerah kepada kaum kuffar atau zhalim dan dari berdiam diri dari
 jihad melawan orang-orang kafir.
Hal ini terbukti pernah beliau lakukan pada permulaan dakwah 
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya  Tartib lil 
Musnad-nya, bahwa Rasulullah SAW bersama istrinya  Siti Khadijah  pernah
 diancam oleh Abu Jahal tatkala shalat di depan Ka’bah dan dengan 
terang-terangan mencela patung-patung berhala yang disembah oleh 
orang-orang Arab. Dan ketika di Mina, Rasul bersama Ali bin Thalib 
menyampaikan kepada orang banyak bahwa suatu saat Romawi dan Persia akan
 ditaklukkan oleh Islam.
Menurut pensyarah hadits ini, apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah 
SAW dan para pengikutnya yang masih berjumlah tiga orang itu adalah 
untuk menarik  perhatian kaum Quraisy agar berfikir tentang hakekat 
berhala yang dijadikan sebagai tuhan, sebagaimana dakwah Nabi Ibrahim 
AS. Dari hal tersebut dapat pula diketahui bahwa sejak awal dakwah 
Rasulullah SAW bukanlah dakwah ruhiyah (kerohanian) semata, melainkan 
dakwah siyasiyah, karena tidak mungkin kerajaan Romawi dan Persia akan 
dapat ditaklukkan tanpa niat dan usaha kaum muslimin untuk memperoleh 
kekuasaan yang berdaulat, kekuasaan yang mampu menggerakkan bala tentara
 untuk menghancurkan kedua kerajaaan itu.
2) Tahap Interaksi Dengan Masyarakat dan Perjuangan (Marhalah Tafaa’ul wal Kiffah)
          Marhalah ini merupakan bentuk dakwah zhahriyah, karena Rasul dan 
para sahabatnya melakukan dakwah secara terbuka kepada seluruh 
masyarakat jazirah Arab. Tahapan ini penuh dengan rintangan dan 
perjuangan setelah Rasulullah dan para sahabatnya mendapat perintah dari
 Allah SWT, sebagaimana ayat :
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Maka sampaikanlah secara terang-terangan apa yang diperintahkan 
(Allah) kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrikin” (QS. 
Al-Hijr : 94)
فَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab,dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan 
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu dari kalangan
 orang-orang yang beriman   ”    (QS. Asy-Syu’araa : 213-215)
Dakwah pada marhalah ini segera mendapat reaksi keras dari kaum 
musyrikin. Siksaan dan penganiayaan datang bertubi-tubi. Pengikut 
Muhammad SAW  mulai diuji keimanannya, sampai sejauh mana kualitas 
keimanan mereka setelah tiga tahun mendapat pembinaan di Darul Arqam.
Rasulullah sendiri ketika sedang shalat di depan Ka’bah didatangi oleh 
Uqbah bin Mu’ith dan mencekik leher beliau, sampai kemudian datang Abu 
Bakar Ash-Shiddiq ra. melerainya sambil berkata :
“Apakah kalian hendak membunuh orang yang berkata bahwa Allah Tuhanku?” (HR. Bukhari)
Para sahabat Rasulullah SAW mendapat penganiayaan yang 
bermacam-macam sehingga datanglah Khabbab bin Arts menghadap Rasul SAW 
dan berkata :
“Ya Rasulullah, terlalu banyak sudah penganiayaan yang datang dari 
kaum musyrikin, mengapa engkau tidak berdo’a agar Allah menolong kita?”
Rasul SAW menjawab:
“Lebih berat lagi penderitaan yang dialami oleh 
orang-orang mukmin sebelum kamu. Mereka disiksa dengan sisir besi 
sehingga terkelupas kulit kepala dan dagingnya, namun mereka tidak 
pernah berpaling dari agamanya”
Isteri Bilal bin Rabah disiksa sampai meninggal, sedangkan Bilal 
sendiri dipaksa berbaring di siang hari bolong di tengah teriknya 
matahari lalu ditindih dengan batu besar dan panas  di dadanya, sehingga
 tidak mampu lagi bersuara kecuali ucapan:   Ahad… Ahad..Ahad, begitu 
pula Abu Bakar Shiddiq dan sahabat lainnya mendapatkan penganiayaan pula
 dari kaum Musyrikin.
Pada saat-saat seperti ini Rasulullah sangat mengharapkan munculnya 
beberapa orang kuat diantara para pengikutnya yang mampu melindungi 
dakwahnya. Sayyidina Hamzah, paman Rasulullah telah masuk Islam ketika 
mendengar bahwa Rasulullah dianiaya dan dicaci maki oleh Abu Jahal.
Dan 
disaat masuk Islamnya Hamzah, Rasulullah berdo’a :
“Ya Allah kuatkanlah Islam dengan Abu Jahal bin Hisyam atau dengan Umar bin Khaththab”
          Sebelumnya sebanyak enam belas shahabat diperintahkan Rasulullah SAW
 agar berhijrah ke Habsyah karena tidak tahan penganiayaan kaum 
Musyrikin, mereka terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang
 wanita. Dan baru kembsli ke Mekkah setelah mendengar bahwa Umar bin 
Khaththab masuk Islam.
Beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa yang terjadi 
yakni bahwasanya penderitaan, cobaan, dan ujian merupakan timbangan iman
 yang memisahkan antara yang haq dan yang batil, antara yang benar dan 
yang salah. Kepada para da’i dan pejuang yang ikhlas menegakkan agama 
Allah, kisah-kisah seperti ini akan menjadi obat dan penawar hati ketika
 ia sedang mengalami penganiayaan dan siksaan dari penguasa zhalim, atau
 tatkala sedang diancam maut karena siksaan yang biadab dan lain 
sebagainya, maka ia akan ingat bahwa keadaan yang dialaminya bukanlah 
baru terjadi pada dirinya, melainkan sesuatu yang lumrah yang biasa 
terjadi pada diri orang-orang beriman penegak dakwah dikala menghadapi 
kezaliman kaum kafir yang diperlakukan jauh lebih berat dari pada itu. 
Akan tetapi mereka tidak putus asa, hilang semangat serta berbalik 
haluan. Inilah rahasia keberhasilan dakwah orang-orang beriman sehingga 
mereka berhasil membebaskan manusia dari penindasan dan penganiayaan 
serta kezaliman.
Doa Rasulullah yang mengharapkan Umar bin Khaththab masuk Islam, 
memberi pelajaran kita bahwa dakwah Islamiyah, dimana saja ia berkembang
 memerlukan adanya pendukung-pendukung yang kuat yang mempunyai pengaruh
 di mata masyarakat sebagai pelindung-pelindung dakwah. Dan kalaulah 
yang terbanyak dan pertama kali mengikuti seruan Rasulullah terdiri dari
 kaum Mustadh’afiin, maka inilah tabiat dari dakwahnya para Rasul-rasul 
Allah semenjak dahulu kala (lihat QS Hud: 26; QS Al-A’raf: 75 dan 137).
Hal ini karena misi dakwah para Rasul bertujuan untuk membebaskan 
manusia dari penghambaan kepada manusia terutama terhadap para penguasa 
kaumnya (QS At-Taubah : 31). Dan adalah wajar apabila orang-orang yang 
teraniaya dari kalangan mustad’afiin adalah orang yang pertama kali 
harus dibebaskan dari cengkeraman kezaliman (QS Al-Qashshash: 5).
Perintah Allah agar menyampaikan dakwah kepada kerabat terdekat berarti
 bahwa tanggungjawab seorang da’i sebeklum keluar rumah untuk berdakwah 
hendaklah dimulai dari dirinya, kemudian istri dan anak-anaknya di 
rumahnya kemudian keluarga yang terdekat. Atas dasar inilah Rasulullah 
SAW pernah mengundang empat puluh lima orang keluarga Bani Hasyim untuk 
makan di rumahnya, lalu beliau bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah megutus aku untuk seluruh umat manusia dan
 kepada kalian khususnya, dan aku menyuruh kepada kamu dengan dua 
kalimat yang ringan diucapkan dengan lidah tetapi berat di timbangan 
yaitu : Bersaksi bahwa tiada ilaah selain Allah dan aku adalah 
Rasulullah, dan siapa yang menerima seruanku ini untuk menolongku dalam 
menegakkannya” (Lihat Siroh Al-Halabiah I :460)
Dakwah Rasulullah SAW pada masalah ini merupakan suatu pertarungan 
pemikiran antara alam pemikiran jahiliyah dengan alam pemikiran Islam, 
antara adat istiadat, budaya dan kepercayaan nenek moyang dengan Islam. 
Hal ini terlihat dari ayat-ayat Makkiyah yang pada umumnya mengajak 
mereka untuk meninggalkan adat istiadat, budaya dan kepercayaan nenek 
moyang mereka, seperti yang tercantum dalam surat Al-Zukhruf 21 – 24.
Begitu pula dakwah pada marhalah ini merupakan suatu pergolakan politik
 antara pemimpin Arab yang terdiri dari para kepala suku dan qabilah 
dengan Nabi Muhammad SAW. Hal ini terlihat dari ucapan Rasulullah di 
hadapan tokoh-tokoh Quraisy :
“Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan  kepadaku  untuk  
memberikan  peringatan kepada keluargaku yang terdekat, dan kalianlah 
orang-orang yang terdekat diantara kaum Quraisy. Dan aku tidak dapat 
menolongmu dari sisi Allah di dunia ini dan juga di akhirat nanti, 
kecuali apabila kamu mengucapkan ‘Laa ilaaha illa Allah’ maka 
bersaksilah kamu dengan kalimat ini di sisi tuhanmu, semua orang Arab 
akan taat kepadamu dan orang-orang Ajampun akan tunduk kepadamu” (Lihat
 Kanzul Umam I : 277)
Ucapan Rasulullah SAW ini merupakan bahasa diplomasi yang mengandung
 makna bahwa kesedian mereka untuk menrima dakwah Rasulullah, kesediaan 
untuk masuk Islam, maka berarti mereka bukan saja akan menjadi 
pemimpin-pemimpin Quraisy dan kaumnya tetapi juga pemimpin-pemimpin 
bangsa Arab dan bahkan menjadi pemimpin-pemimpin dunia. Dan hal ini 
telah terbukti bahwasanya Islam pernah menguasai dunia selama 
berabad-abad lamanya.
Walaupun marhalah pembinaan dan pengkaderan telah berpindah ke marhalah
 tafa’ul dan kiffah   (marhalah interaksi dan perjuangan), tidak berarti
 bahwa pembinaan dan pengkaderan terus dihentikan. Justru pembinaan dan 
pengkaderan dilakukan secara terang-terangan. Kalau sebelumnya 
halaqah-halaqah atau kelompok-kelompok pengajian diadakan secara 
sembunyi-sembunyi di rumah para sahabat dan di Darul Arqam, maka setelah
 Hamzah dan Umar bin Khaththab masuk Islam, pengajian dilakukan secara 
terbuka di sekitar Ka’bah dengan lebih intensif. Tempat pembinaan dan 
pengkaderan justeru dilakukan di Masjidil Haram sesuai dengan riwayat 
dari Shuhaib:
“Bahwasanya ketika Umar masuk Islam kami duduk berkelompok di sekitar Baitullah” (Sirah Al-Halabiah II : 21)
Dari Anas ra. beliau berkata :
“Apabila mereka selesai shalat di pagi hari, mereka duduk berkelompok
 membaca Al-Quran dan mempelajari hukum-hukum yang wajib dan yang 
sunnah.” (lihat Majmauz Zawa’id I :32).
Marhalah ini berjalan selama sepuluh tahun lamanya dan rumah 
Rasulullah menjadi pusat perhatian pengikut-pengikut beliau, tempat 
mereka menimba ilmu dan menerima wahyu Allah yang  turun kepada Nabi. 
Darul Arqam sebagai pusat pembinaan dan pengkaderan umat, dilaksanakan 
lebih selektif, intensif dan kontinue dengan memilih orang-orang yang 
dianggap cocok dan mampu mengemban dakwah.
Pengetahuan yang mereka peroleh dari Rasulullah SAW tidak hanya 
berkisar hanya kepada masalah Aqidah, akan tetapi lebih luas lagi 
menyangkut masalah ekonomi, sosial, hukum pidana, nasib kaum dhu’afa, 
fukara’, dan masaakin dan sebagainya. (Lihat QS Ar-Ruum : 39, tentang 
Riba, Al-Isra :35; Al-An’aam :152 dan Al-Muthaffifiin : 1-4, tentang 
jual beli dan hukum pidana; Al-Ma’uun dan Al-An’aan :152 tentang anak 
yatim dan lainnya).
Dakwah Rasulullah semakin gencar, ruang lingkupnya semakin luas, 
sasarannya lebih ditujukan kepada kelompok-kelompok jamaah di 
tempat-tempat yang ramai seperti pasar di musim haji, di Ka’bah tempat 
orang melakukan thawaf dan lain-lainnya.
Lebih dari empat belas qabilah yang berada di sekitar Makkah didatangi 
oleh Rasulullah dan hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan Quraisy
 terutama jika diantara qabilah itu ada yang menerima dakwah Rasulullah 
SAW dan berdiri mendukung Rasul serta mengadakan perlawanan terhadap 
kaum Quraisy. Hal ini akan merusak citra mereka di mata masyarakat Arab,
 terlebih lagi apabila kepercayaan agama nenek moyang serta budaya 
mereka dihina atau dicaci-maki. Oleh karena itu mereka  mengutus Walid 
bin Mughirah, ‘Ash bin Wailli, Aswad bin Muthalib     dan   Umayya bin 
Khalaf     menghadap Rasulullah SAW dan menawarkan kerjasama dalam 
beragama, yaitu kaum Quraisy akan menyembah apa yang disembah kaum 
Muslimin, akan tetapi kaum Musliminpun harus menyembah apa yang disembah
 kaum Quraisy. Maka turunlah wahyu Allah sebagai penolakan atas tawaran 
ini, serta Rasulullah membacakan surat Al-Kafirun (Siroh Al-Halabiyah).
Beberapa kali pula mereka mendatangi Abu Thalib agar bersedia membujukm
 Rasulullah agar meninggalkan dakwahnya. Mereka menawarkan hartanya, 
pangkat, kedudukan, dan wanita cantik, tetapi semua itu ditolak 
Rasulullah dengan jawaban :
“Demi Allah ! Sekalipun matahari diletakkan di tangan kananku dan 
rembulan di tangan kiriku, maka aku tak akan meninggalkan dakwah ini 
hingga agama ini tegak atau aku mati karenanya”.
Demikianlah, seorang da’i penegak dakwah, tidak selayaknya mencampur
 adukkan antara haq dan bathil, pantang menjual aqidah atau silau oleh 
bujuk rayu harta benda, kedudukan dan wanita.
Pada marhalah yang penuh rintangan ini, ruang gerak dakwah Rasulullah 
di Makkah semakin sempit dan dihalangi kaum Qurasy, lebih-lebih setelah 
meninggalnya        Sayyidati Khadijah (isterinya) dan   Abu  Thalib  
(paman- nya). Dua orang inilah yang setia dan gigih melindungi dan 
menyokong dakwah beliau. Kemudian Rasulullah berusaha mencari pendukung 
di kota Thaif, tetapi tidak berhasil bahkan disambut dengan penghinaan 
dan penganiayaan fisik. Tahun-tahun tersebut merupakan saat paling sulit
 bagi Rasulullah dan para pengikutnya. kemanapun Rasulullah pergi selalu
 diikuti oleh Abu Lahab dan kawan-kawannya yang selalu mengatakan kepada
 kaum yang didatangi Rasulullah, bahwa beliau adalah seorang pendusta 
dan pembohong yang ingin mengubah agama nenek moyang mereka. Hal ini 
menyebabkan sering Rasulullah menyendiri, mengadukan persoalannya kepada
 Allah SWT sampai beliau menjalani Isra dan Mi’aj, menumbuhkan kembali 
kekuatan ke dalam dirinya, bahkan kekuasaan Allah meliputi segala 
sesuatu.
Suatu ketika pada musim haji, datanglah serombongan orang dari suku    
 Aus    dan  Khjaraj    dari Yatsrib (Madinah). Kesempatan ini digunakan
 oleh Rasulullah untuk menyampaikan dakwah.
Ketika rombongan ini 
mendengar ajakan Rasulullah SAW, satu sama lain saling berpandangan 
sambil berkata :
“Demi Allah, dia ini seorang nabi seperti yang dianjurkan orang-orang Yahudi kepada kami.”
Kemudian mereka menerima dakwah Rsulullah SAW sambil berkata :
“Kami tinggalkan kaum kami disana dan tidak ada pertentangan serta 
permusuhan antara kaum kami dengan kaum yang lain, mudah-mudahan Allah 
SWT mempertemukan mereka denganmu. Kami akan sampaikan berita ini kepada
 mereka. Dan bila Allah mempertemukan mereka denganmu dan menerima 
dakwahmu, maka tidak ada lagi orang yang paling mulia darimu.” (Sirah 
Ibnu Hisyam I : 428).
Tahun kedua belas kenabian, dua belas orang dari Madinah datang dan masuk Islam. Mereka membai’at Rasulullah SAW yang isinya:
“Tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzinah dan tidak 
membunuh anak-anak kecil, tidak berbohong serta tidak       menentang 
Rasulullah dalam perbuatan ma’ruf"    (HR Bukhari).
Bai’at ini terkenal dengan sebutan Bai’atul Aqabah I.
Sekembalinya mereka dari haji, Rasulullah mengutus seorang sahabat 
bernama Mush’ab bin Umair bersama mereka ke Madinah untuk mengajarkan 
Al-Quran dan hukum agama. Karena semakin banyak penduduk Madinah yang 
masuk Islam maka Mush’ab bin Umair mengirimkan surat kepada Rasulullah 
SAW di Makkah tentang keinginannya untuk me-ngumpulkan mereka seperti 
kebiasaan penduduk Yahudi yang mengumpulkan anak dan istrinya pada hari 
sabtu (Hari Sabbath). Rasulullah memberi izin tetapi dilakukan hari 
Jum’at dan memerintahkannya agar melakukan shalat dua rakaat (Sirah 
Al-Halabiyah II: 168).
Dengan demikian, Mush’ab bin Umair adalah orang pertama yang melakukan 
shalat Jumat di Madinah, walaupun pada waktu itu belum difardukan kepada
 umat Islam, kecuali sesudah Rasulullah berhijrah ke Madinah.
Musim haji berikutnya, tahun ketigabelas kenabian, Mush’ab bin Umair 
kembali ke Makkah bersama tujuh puluh lima orang Islam. Dua diantaranya 
adalah wanita dan mereka mengadakan baiat kepada Rasulullah SAW. Baiat 
ini dinamakan       Bai’atul Aqabah II.
Isi Bai’atul Aqabah II ini pada dasarnya tidak berbeda dengan yang 
pertama, yaitu mereka akan tetap berpegang teguh kepada Islam dan 
berjanji untuk patuh dan taat dengan ikhlas kepada Allah serta 
meninggalkan larangan-Nya. Namun demikian ada sedikit perbedaan diantara
 keduanya. Pada Bai’at Aqabah I tidak ada isyarat jihad, sedangkan   
pada Bai’atul Aqabah II mengandung isyarat tegas tentang kesediaan 
mereka untuk berjihad dan membela Rasulullah SAW dengan jalan apapun, 
dalam rangka dakwah ilallah. Selesai melakukan baiat Rasulullah menunjuk
 dua belas orang untuk bertindak sebagai pimpinan masing-masing qabilah 
mereka.
Abbas bin Ubadah  salah seorang dari mereka berkata kepada 
Rasulullah :
“Demi Allah yang mengutusmu dengan benar, bila engkau mengizinkan, 
kami akan perangi penduduk Mina besok pagi dengan pedang-pedang kami”.
Jawab Rasulullah :
“Kita belum diperintahkan untuk itu, dan lebih baik kembalilah ke kendaraanmu masing-masing.” (Sirah Al-Halabiah II : 176).
Jelas bahwa sebelum hijrah ke Madinah dan membangun daulah di sana, 
kewajiban jihad dalam Islam belum diperintahkan. Dengan demikian, dapat 
diketahui bahwa dakwah Rasulullah dalam periode Makkah adalah dakwah 
dalam rangka memperkenalkan Islam melalui dakwah fikriyah kemudian 
membina umat, mengatur barisan dan menyusun kekuatan untuk kemudian 
hijrah ke kota Madinah dan membangun Khilafah Islamiyah serta mengumumkan perang kepada orang-orang yang menentang dakwah Islam.
Berdasarkan kajian yang mendalam terhadap langkah dakwah Rasulullah di 
Makkah ini, dapat diketahui bahwa dalil-dalil yang mendasari thariqah 
dakwah Rasul, mewajibkan seluruh kaum muslimin saat ini untuk mencontohnya.
PERIODE DAKWAH DI MADINAH
          Dakwah Islam di Madinah telah tersebar selama dua tahun sebelum 
Rasulullah SAW hijrah ke sana. Awalnya adalah berimannya tujuh penduduk 
Madinah yang sengaja dijumpai Rasulullah ketika musim haji di Mina. 
Tahun berikutnya datang dua belas orang lagi yang mengadakan Bai’atul 
Aqabah I, lalu disusul orang-orang Madinah mengadakan Bai’atul Aqabah II
 dalam jumlah besar, yaitu tujuh puluh lima orang sebagaimana diuraikan 
tadi. Kesediaan penduduk Madinah menerima kedatangan Rasulullah dan 
menyerahkan segala urusan mereka kepada beliau, merupakan awal tumbuhnya
 benih Khilafah Islamiyah. Beliau memerintahkan pengikut-pengikutnya 
berhijrah terlebih dahulu ke Madinah yang kemudian diikuti beliau dan 
Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Hijrahnya kaum Muslimin ke Madinah adalah sebagai awal mula marhalah 
dakwah ketiga, yaitu marhalah  tathbiq  ahkaamul  Islam (inilah periode 
pelaksanaan Syariat Islam) dengan diproklamirkannya Daulah Islamiyah 
sebagai pelaksana hukum Islam dan sebagai pengemban risalah dakwah ke 
segenap penjuru dunia dengan jihad fi sabilillah.
Beberapa aktivitas yang dilakukan Rasulullah SAW di Madinah adalah sebagai berikut :
          Tugas pertama yang dilakukan Rasulullah SAW di Madinah adalah membangun
 masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam, tempat shalat, tempat 
bermusyawarah, tempat belajar-mengajar, tempat mengatur strategi dakwah 
dan jihad juga tempat untuk menyelesaikan segala bentuk perselisihan dan
 sengketa. Masjid juga menjadi tempat penglepasan para prajurit ke medan
 jihad dan tempat menyelesaikan semua urusan umat yang menyangkut 
ekonomi, hukum dan sebagainya. Pembangunan masjid mempunyai arti yang 
sangat penting bagi pembangunan masyarakat Islam yang terdiri dari 
individu-individu muslim yang senantiasa berpegang teguh kepada aqidah 
dan syariat Islam, pancaran semangat kemasjidannya.
Sistem Islam sangat mementingkan ukhuwah Islamiyah antar sesama warga 
masyarakat, dan ini tidak akan terpenuhi secara maksimal melainkan 
dimulai dari masjid, tempat umat Islam bertemu muka dan bertukar 
informasi serta menjalin persaudaraan sehingga lenyaplah dengan 
sendirinya tembok-tembok pemisah antara kaya dan miskin, warna kulit dan
 keturunan. Sistem Islam menghendaki adanya kesamaan dan keadilan bagi 
seluruh umat. Mereka bertemu dalam suatu barisan, berdiri tegak 
bersama-sama di hadapan Allah SWT, untuk menghubungkan jiwa, dapat 
menyingkirkan sifat  ananiyah (egoisme) dan saling menanggung atas dasar
 ukhuwah Islamiyah yang terbina di masjid.
b) Membina Ukhuwah Islamiyah
          Tugas kedua yang dilakukan Rasulullah adalah mempersaudarakan antara 
Anshar dan Muhajirin. Persaudaraan ini bukan sekedar slogan kosong tanpa
 makna, tetapi persaudaraan yang digambarkan Rasulullah SAW ibarat 
satu tubuh, bila salah satu anggota tubuh tertimpa sakit maka seluruh 
tubuhnya merasakan sakit. Persaudaraan yang mendarah daging mengalir 
dalam tubuh setiap umat sehingga lenyap sama sekali segala bentuk 
fanatisme golongan, suku bangsa dan ras. Persaudaraan yang 
sebenar-benarnya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah tidak mungkin 
terwujud tanpa didasari oleh Aqidah Islam dan melalui masjid, sesuai 
firman Allah :
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana." (QS: Al-Anfaal Ayat: 63)
Rasulullah mempersaudarakan Bilal yang berkulit hitam dari Afrika 
dengan Abu Ruwaim Al-Khutsa’mi, Salman Al-Farisi dari Parsi dengan 
Mush’ab bin Umair dan lain sebagainya. Persaudaraan ini sampai batas 
waris mewarisi harta bahkan isteri (saat itu belum ada larangannya), 
sebagaimana yang terjadi antara Sa’ad bin Rabi dari kaum Anshar dengan 
Abdurrahman bin ‘Auf dari kaum Muhajirin, sehingga kata Sa’ad bin Rabi :
“Aku adalah orang Anshar yang paling kaya, inilah hartaku, aku 
bagikan antara kita berdua. Aku punya dua isteri, kuceraikan seorang dan
 kawinilah olehmu” (Sirah Al-Halabiyah II : 292).
Persaudaraan ini sebenarnya telah dilakukan sebelumnya oleh 
Rasulullah SAW, yakni ketika mempersaudarakan antara sesama kaum 
Muhajirin selama berada di Makkah. Baru setelah hijrah, kaum Muhajirin 
dan Anshar di persaudarakan di Madinah. Dengan demikian ikatan ukhuwah 
Islamiyah bertambah kuatnya apalagi setelah dinaungi sebuah sitem islam 
di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW yang menerapkan Sistem Islam.
c) Menyusun Piagam Perjanjian (Watsiqoh)
          Tugas ketiga yang dilakukan Rasulullah SAW adalah menyusun piagam 
perjanjian (watsiqoh). Istilah sekarang disebut Undang-Undang  Dasar.  
Kitab  sejarah Ibnu   Hisyam   menyebutnya sebagai Undang-Undang Negara 
Pemerintahan Islam pertama.  Watsiqoh ini menyangkut hak dan kewajiban 
muslim dan non-muslim yang tinggal di wilayah kedaulatan Islam, hubungan
 Daulah dengan masyarakat atau antara  masyarakat  dengan Daulah.
Dr. Musthafa Asy-Syiba’i  dalam  bukunya    “Siroh Nabawiyyah, Duruus wal 
Ibrar” mengemukakan pokok-pokok isi watsiqoh tersebut berikut ini :
(1) Kesatuan umat Islam tanpa mengenal perbedaan suku, bangsa dan ras.
(2) Persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warga masyarakat.
(3) Gotong-royong dalam segala hal yang bukan untuk kedzoliman, dosa dan permusuhan.
(4) Kompak dalam menentukan hubungan dengan musuh-musuh Islam.
(5) Membangun suatu masyarakat dalam suatu sistem yang sebaik-baiknya.
(6) Melawan orang-orang yang menentang negara dan membangkang sistemnya.
(7) Melindungi orang yang ingin hidup berdampingan dengan orang Islam dan tidak boleh berbuat dzolim kepadanya.
(8) Umat non-Islam bebas melaksanakan agamanya, dan tidak boleh dipaksa masuk Islam serta tidak diganggu harta bendanya.
(9) Umat non-Islam harus ambil bagian dalam pembiayaan Daulah sebagaimana umat Islam.
(10)Umat non-Islam harus saling  membantu dengan umat Islam untuk menolak bahaya yang akan mengancam negara.
(11)Umat non Islam harus ikut membiayai perang apabila daulah dalam keadaan perang dengan negara lain.
(12)Umat Islam dan non-Islam tidak boleh melindungi musuh negara dan orang-orang yang memusuhi negara.
(13)Warga negara bebas keluar masuk negara selama tidak merugikan negara.
(14)Ikatan sesama anggota masyarakat didasarkan prinsip tolong menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan tidak atas dosa dan aniaya.
(15)Dasar-dasar tersebut ditunjang oleh dua kekuatan. Kekuatan Ruh 
(spiritual) yaitu imannya kepada Allah, keyakinan akan pengawasan dan 
perlindungan Allah bagi orang yang berbuat baik dan konsekuen. Begitu 
pula ditunjang oleh kekuatan materi/fisik yaitu kepemimpinan negara yang
 dipimpin oleh Rasulullah SAW.
D) Strategi Politik dan Militer
          Dalam rangka menyebarkan dakwah Islamiyah ke luar Negeri Madinah, 
sekaligus memaklumatkan kepada bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain 
mengenai berdirinya Daulah Islamiyah dengan kepala negaranya adalah 
Rasulullah SAW sendiri. Maka diambil beberapa langkah lanjutan setelah 
urusan di dalam negeri terselesaikan.
Langkah-langkah tersebut adalah 
sebagai berikut :
1) Mengirim surat kepada kepala-kepala negara atau kerajaan, pimpinan 
qabilah atau suku yang ada sekitar Jazirah Arab seperti kekaisaran Romawi, 
Kisra di Persia, Muqauqis di Mesir dan lain-lain untuk mengajak mereka 
memeluk Islam.
2) Memaklumkan perang kepada orang-orang yang menentang dakwah 
Islamiyah khususnya kaum Quraisy di Makkah dengan jalan menghadang 
kafilah-kafilah dagang yang melewati kota Madinah dan sekitarnya seperti
 yang terjadi dalam Perang Badr.
3) Memerangi qabilah-qabilah yang mengkhianati perjanjian perdamaian  
bersama kaum muslimin seperti qabilah-qabilah Yahudi yaitu Bani 
Quiraizhah, Bani Qoinuqo’, dan Bani Nadhir.
4) Menjadikan Daulah Islamiyah sebagai suatu kekuatan yang disegani  dan ditakuti oleh lawan-lawannya.
          Dari contoh langkah dakwah Rasulullah SAW sejak periode Makkah hingga 
Madinah, bisa disimpulkan bahwa pada periode Makkah, beliau lebih 
bersikap sebagai seorang da’i, muballigh, imam dan sekaligus sebagai 
tokoh politik dan pemimpin jamaah kaum muslimin. Sedangkan dalam periode
 Madinah, beliau bukan hanya sebagai se-orang Rasul, tetapi juga sebagai
 kepala negara pemerintahan Daulah Islamiyah.
Keberhasilan para da’i penerus risalah dakwah sangat ditentukan oleh 
sejauh mana kesetiaannya mengikuti jejak langkah dakwah Rasulullah. 
Mudah-mudahan kita senantiasa dianugerahi taufiq dan hidayah dari Allah 
SWT dalam menegakkan Islam di muka bumi Allah ini.




 
 
 
