Type Here to Get Search Results !

MENGATASI KRISIS PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA


Krisis pendidikan karakter di Indonesia makin mengkhawatirkan. Sekadar contoh, dalam kasus paling mutakhir, seorang kepala sekolah dilaporkan ke polisi. Sebabnya sebenarnya sepele: hanya karena menegur dan menampar siswa yang merokok di sekolah. Ironisnya, ratusan siswa justru berpihak kepada temannya yang melakukan pelanggaran. Mereka mogok massal dan menuntut pemecatan kepala sekolahnya. Di sisi lain, seorang mahasiswa Universitas Udayana bunuh diri diduga akibat mengalami perundungan. Tragisnya, setelah meninggal, ia pun tetap dibuli di grup WhatsApp kampusnya. Ini hanyalah secuil kasus moral di dunia pendidikan.

Sementara itu, tayangan Trans7 secara tendensius menggambarkan adab santri yang menghormati gurunya sebagai budaya feodal dan tak pantas. Padahal, penghormatan murid kepada guru adalah adab agung dalam Islam. Dalam salah satu atsar dinyatakan:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kita (al-Qurthubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, 17/241).

Dalam Islam, pendidikan sejati bukan sekadar transfer ilmu, tetapi yang paling utama adalah pembentukan karakter dan akhlak yang bersumber dari akidah Islam.


Akar Krisis: Sekularisme Pendidikan


Krisis pendidikan karakter ini sesungguhnya berakar pada sistem pendidikan sekuler. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini telah menghapus orientasi spiritual dan moral dari dunia pendidikan. Akibatnya, anak didik kehilangan arah dan makna hidup. Tujuan pendidikan berubah menjadi sekadar bekal mencari pekerjaan, bukan membentuk kepribadian mulia.

Para guru pun banyak yang terseret arus krisis moral. Tidak sedikit kasus kekerasan, pelecehan, dan korupsi di dunia pendidikan melibatkan pendidik itu sendiri. Intinya, masih banyak guru yang belum bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya. Padahal, kata Imam al-Qusyairi:

وَمَنْ لَمْ يُؤَدِّبْ نَفْسَهُ لَمْ يَتَأَدَّبْ بِهِ غَيْرُهُ
Siapa saja yang tidak bisa menanamkan adab pada dirinya, maka orang lain tidak mungkin mempelajari adab darinya (al-Qusyairi, Tafsir al-Qusyairi, 2/36).

Inilah buah dari sistem pendidikan sekuler yang sejak awal berpaling dari Al-Qur’an. Padahal Allah ﷻ telah menegaskan:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an), maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit (QS Thaha [20]: 124).

Ketika sistem kehidupan, khususnya sistem pendidikan, tidak berlandaskan wahyu Allah ﷻ, hasilnya adalah kebingungan, penyimpangan, dan kehancuran moral.


Tujuan Pendidikan


Dalam Islam, tujuan pendidikan bukan sekadar mencetak manusia cerdas, tetapi mencetak insan berkepribadian Islam (syakhshiyyah islamiyyah), yakni membentuk pola pikir (‘aqliyyah) dan pola sikap (nafsiyyah) yang didasarkan pada akidah Islam.

Tujuan pendidikan ini terangkum, antara lain, dalam firman Allah ﷻ saat menjelaskan tujuan pengutusan Rasulullah ﷺ:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dialah (Allah) yang mengutus di tengah-tengah kaum yang ummi seorang rasul dari kalangan mereka; dia (bertugas) membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, serta mengajari mereka Al-Qur’an dan hikmah; sementara mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (TQS al-Jumu‘ah [62]: 2).

Rasulullah ﷺ pun menegaskan bahwa beliau diutus untuk membentuk akhlak mulia umat manusia. Sebagaimana sabda beliau:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR al-Bazzar dan al-Baihaqi).

Rasulullah ﷺ juga menjelaskan pentingnya akhlak mulia dan keutamaannya. Beliau bersabda:

إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنَكُمْ أَخْلاَقًا
Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya (HR al-Bukhari).

Beliau pun menegaskan:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ أَحْسَنَكُمْ أَخْلاَقًا
Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya (HR al-Bukhari).

Namun, dalam sistem sekuler, ketika pendidikan memisahkan ilmu dari iman, lahirlah generasi yang boleh jadi pandai, tetapi tidak berakhlak; boleh jadi pintar, tetapi tidak bermoral.

Karena itulah para ulama dahulu sangat menekankan pentingnya mendahulukan pembinaan adab/akhlak terlebih dulu sebelum penyampaian ilmu. Di kalangan mereka populer pernyataan “adab sebelum ilmu” hingga dikatakan:

تَعَلَّمُوا الْأَدَبَ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمُوا الْعِلْمَ
Pelajarilah adab (akhlak) sebelum kalian mempelajari ilmu (Ibn ‘Abd al-Barr, Jami‘ Bayan al-‘Ilm wa Fadlih, 1/164).

Adab (akhlak) adalah fondasi ilmu. Dengan itu, sistem pendidikan Islam melahirkan generasi para ulama dan ilmuwan yang cerdas sekaligus dipenuhi keimanan dan ketakwaan.

Karena itu pula, dalam konteks pendidikan, Islam menanamkan akidah Islam pada anak didik sebagai hal pertama dan utama—sebagai asas seluruh ilmu—yang akan membentuk perilaku mereka (diatur oleh syariah) dan mengarahkan potensi mereka untuk beramal demi rida Allah ﷻ.


Sejarah Gemilang Pendidikan Islam


Sejarah mencatat bahwa sistem pendidikan Islam mencapai puncak keemasan selama ratusan tahun di bawah naungan Khilafah, khususnya era ‘Abbasiyah. Negara menjadi pelopor utama pendidikan, membangun ribuan madrasah, perpustakaan, dan pusat riset. Pendidikan bersifat gratis, terbuka untuk semua kalangan, dan diselenggarakan oleh negara dengan kualitas tinggi, dengan bertumpu pada fondasi akidah Islam yang kokoh.

Khalifah al-Ma’mun mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad, pusat ilmu pengetahuan dunia pada abad ke-9 M. Dari sana lahir para ilmuwan besar di bidang matematika, kimia, astronomi, kedokteran, dan lain-lain. Mereka bukan sekadar ilmuwan, tetapi juga ulama yang memadukan iman dan ilmu. Lahir pula para ulama terkemuka (ahli ibadah, wara‘, dan zuhud) dalam berbagai disiplin ilmu seperti bahasa Arab, fikih, usul fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Karya-karya mereka bahkan dikaji selama ratusan tahun hingga generasi saat ini. Ibn Katsir mencatat bahwa dunia saat itu (di era Khilafah) dipenuhi para ulama dan pelajar (Ibn Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, 10/279).

Sistem pendidikan di era Khilafah berhasil memadukan spiritualitas Islam dengan kemajuan sains dan peradaban. Hal ini hanya mungkin karena negara menjadikan akidah dan syariah Islam sebagai asas kebijakan dan sistem pendidikan.
Peran Negara

Dalam Islam, negara memiliki kewajiban langsung untuk menyelenggarakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat. Sebab, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (khalifah) adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia pimpin (HR al-Bukhari dan Muslim).

Di antara tanggung jawab pemimpin atas rakyatnya ialah menyelenggarakan pendidikan berkualitas dan gratis untuk mereka. Ini adalah bagian dari kemaslahatan rakyat. Seluruh kemaslahatan yang diperlukan oleh rakyat harus ditunaikan oleh seorang pemimpin. Demikian sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Mawardi (Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 27).

Negara pun wajib memastikan pendidikan berjalan dengan tujuan syar‘i, yaitu mencetak generasi beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.

Namun demikian, dalam sistem kapitalis-demokrasi-sekuler saat ini, pendidikan gratis dan berkualitas sekaligus mampu melahirkan manusia-manusia yang beriman dan bertakwa tampaknya amat sulit diwujudkan. Pendidikan semacam ini hanya mungkin terwujud di bawah sistem pemerintahan Islam yang menjadikan akidah Islam sebagai asasnya dan syariah Islam sebagai pilarnya. Di luar itu, pendidikan—sebagaimana pendidikan sekuler saat ini—akan tetap bersifat materialistis dan kehilangan ruhnya.
Penutup

Krisis pendidikan (khususnya pendidikan karakter) tidak bisa diselesaikan hanya dengan revisi kurikulum atau pelatihan para guru. Krisis pendidikan karakter di Indonesia juga bukan sekadar krisis perilaku individu. Karena itu, solusinya juga bukan sekadar menambah jam pelajaran agama. Semua itu hanya tambalan pada sistem sekuler yang rusak sejak akar dan telah gagal membentuk manusia bertakwa. Solusinya hanya satu: mengembalikan sistem pendidikan di bawah naungan syariah Islam yang diterapkan oleh negara. Dengan kata lain, sistem pendidikan sekuler harus diganti dengan sistem pendidikan Islam. Tentu di bawah sistem pemerintahan Islam yang berasaskan akidah Islam dan menerapkan syariah Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan, sebagaimana era Khilafah dahulu. Inilah sistem yang pernah menjadikan umat Islam memimpin dunia selama berabad-abad.

Kini saatnya umat kembali pada sistem tersebut agar pendidikan benar-benar melahirkan generasi beriman, berilmu, dan beradab. Itulah generasi khayru ummah.

Allah ﷻ berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah sistem hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin? (QS. al-Ma’idah [5]: 50).

Dengan demikian, hanya dengan penerapan syariah Islam secara kafah oleh institusi negara, pendidikan akan kembali memancarkan cahaya. Dengan penerapan syariah Islam secara kafah, negara akan menjadi pelindung ilmu, penjaga adab, dan penegak peradaban yang memuliakan manusia. Dari rahimnya akan lahir generasi ulama dan mujahid: generasi pemimpin dunia yang menebarkan rahmat bagi seluruh alam.


Hikmah

Rasulullah ﷺ bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang mempelajari sekaligus mengajarkan Al-Qur’an (HR al-Bukhari).

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”

Kaffah Edisi 416

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.