
Kampanye “Save Raja Ampat” tiba-tiba mencuat ke publik. Publik menuntut penghentian eksploitasi alam di kawasan Raja Ampat yang dijuluki sebagai “surga terakhir di bumi”. Pasalnya, eksploitasi tambang nikel dinilai telah mengancam keberlangsungan ekosistem laut dan hutan tropis di kawasan itu.
Greenpeace dan Masyarakat Adat Papua memprotes dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel dalam Indonesia Critical Mineral Conference & Expo 2025, di Jakarta, Selasa (3/6/2025). Dalam konferensi dan pameran yang pesertanya dari berbagai negara itu, mereka menyuarakan penghentian eksploitasi industri nikel yang menyebabkan kerusakan ekosistem alam dan sosial masyarakat.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat, ada 380 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel dengan total luas 983.300,48 hektar di berbagai wilayah di Indonesia. Alih-alih membawa kesejahteraan, pengerukan nikel justru menimbulkan kerusakan alam dan meningkatkan kemiskinan masyarakat.
Indonesia bahkan mengalami kerusakan hutan tropis akibat industri pertambangan paling tinggi di dunia dengan menyumbang 58,2 persen deforestasi (penggundulan hutan) dari 26 negara yang diteliti. Deforestasi tropis dari industri pertambangan di Indonesia ini mencapai puncaknya pada periode 2010–2014 dan terus berlanjut hingga hari ini (Kompas, 13 September 2022).
Inilah akibat Pemerintah mengizinkan berbagai pembukaan tambang oleh korporasi, termasuk di daerah konservasi. Padahal menyerahkan sumber daya alam milik rakyat kepada oligarki sama dengan menjual negeri ini.
Kehancuran Ekologi Akibat Kerasukan Oligarki

Deforestasi (penggundulan hutan) besar-besaran yang terjadi di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem ekonomi Kapitalisme. Ekonomi Kapitalisme dikuasai oleh segelintir oligarki. Sistem ini memungkinkan para pemilik perusahaan besar atau individu kaya untuk berinvestasi dalam proses politik, baik melalui lobi, sumbangan politik, atau bahkan mempengaruhi kebijakan publik.
Dalam Kapitalisme, tanah dan sumber daya alam adalah komoditas. Negara menjadi fasilitator kepentingan pemilik modal. Atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi, segala hal dapat dikorbankan: mulai dari hutan lindung, laut hingga hak masyarakat adat. Inilah yang kini terjadi juga di Raja Ampat. Wilayah yang semestinya dijaga karena status konservasinya justru dilepas untuk dikeruk demi nikel. Nikel adalah komoditas yang sedang diburu pasar global untuk baterai kendaraan listrik.
Oligarki adalah anak kandung Kapitalisme. Merekalah penguasa dan pengendali ekonomi. Bukan Pemerintah. Dalam hal eksplorasi tambang, para oligarki bisa menggunakan lobi, kampanye politik dan media untuk mempertahankan status quo dan menghindari tanggung jawab ekologis.
Dampak gabungan dari sistem Kapitalisme yang rakus dan kekuasaan oligarki menciptakan berbagai kerusakan lingkungan. Misalnya, deforestasi (penggundulan hutan) untuk pertanian komersial atau tambang; pencemaran udara dan air oleh industri; perubahan iklim akibat pembakaran bahan bakar fosil; eksploitasi berlebih terhadap lahan, laut dan keanekaragaman hayati.
Dalam banyak kasus, segelintir elite ekonomi dan politik memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menguras sumber daya alam demi keuntungan pribadi. Mereka sering mengorbankan kesejahteraan masyarakat luas dan keberlanjutan lingkungan.
Korporasi raksasa mengambil-alih ribuan hektar tanah untuk perkebunan monokultur (seperti sawit dan tebu). Oligarki dengan pongahnya sering mengusir masyarakat adat dan petani kecil. Proyek infrastruktur skala besar seperti bendungan, tambang dan kawasan industri sering merusak lingkungan lokal dan melanggar hak-hak komunitas.
Kerakusan kaum oligarki ini tidak mendapat hambatan karena memiliki koneksi langsung ke kekuasaan politik. Mereka mampu membentuk undang-undang, meloloskan izin dan menghindari sanksi hukum. Aparat negara sering justru melindungi kepentingan korporat, bukan rakyat.
Dampak sosial dan ekologis akibat kerakusan kaum oligarki ini adalah adanya ketimpangan ekonomi yang makin tajam. Sering juga terjadi konflik agraria dan kriminalisasi terhadap pembela lingkungan. Bahkan kerakusan oligarki juga sering menimbulkan krisis iklim global dan kehilangan keanekaragaman hayati.
Haram Merusak Lingkungan

Sampai kapanpun ulah jahat Kapitalisme melalui tangan-tangan oligarki akan terus menciptakan kerusakan ekologi dan memiskinkan rakyat bahkan mendatangkan berbagai bentuk bencana. Padahal Allah ﷻ telah dengan tegas melarang manusia untuk melakukan tindakan fasad/kemaksiatan, di antaranya adalah menghancurkan lingkungan:
وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفًا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيْبٌ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah bumi itu Allah perbaiki. Berdoalah kalian kepada Dia dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sungguh rahmat Allah amat dekat dengan kaum yang berbuat baik (TQS al-A’raf [7]: 56).
Ironisnya, proyek tambang ini diklaim sebagai bagian dari “transisi hijau”. Padahal metode penambangannya jelas merusak hutan, mencemari laut dan mengganggu kehidupan masyarakat lokal. Inilah watak Kapitalisme: menyulap perusakan menjadi keuntungan; membungkus eksploitasi dengan jargon pembangunan berkelanjutan. Hal ini sebenarnya telah Allah ingatkan dalam firman-Nya:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena ulah tangan manusia. (Dengan itu) Allah bermaksud menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Jelas, berdasarkan ayat ini, berbagai bencana kerusakan di daratan dan di lautan (seperti kekeringan, minimnya hujan, pencemaran sungai, banyaknya penyakit dan wabah, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan) disebabkan oleh ulah (kemaksiatan) manusia. Dalam sistem Kapitalisme, pelaku utama kerusakan alam adalah oligarki kapitalis.
Berbagai bentuk bencana tersebut adalah “hukuman” sebagai konsekuensi dari sebagian kemaksiatan manusia di dunia. Tujuannya adalah agar mereka bertobat kepada Allah ﷻ dan kembali pada syariah-Nya. Di antaranya dengan mengembalikan pengelolaan sumber daya alam sesuai dengan tuntunan syariah Islam sehingga tidak sampai merusak alam.
Pengelolaan SDA Sesuai Syariah Islam

Berbagai bentuk kerusakan ekologi akibat penambangan oleh para oligarki adalah akibat kesalahan konsep kepemilikan. Dalam Islam, tambang, sebagaimana sumber daya strategis lainnya, adalah milik umum (milkiyyah ‘âmmah) yang wajib dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Semua SDA yang menguasai hajat orang banyak itu haram dimiliki oleh swasta apalagi asing atau diprivatisasi. Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ:
المُسْلِمُوْنَ شُركَاء فِي ثَلاَثٍ: فِي اْلمَاءِ، وَالْكَلإَ، وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Oleh karena itu, dalam sistem Islam, tambang nikel (dalam skala besar), misalnya, haram dimiliki oleh swasta apalagi asing. Dalam sistem Islam, tambang akan dikelola sepenuhnya (tanpa merusak ekologi) oleh negara. Hasilnya digunakan untuk kemaslahatan umat secara adil.
Dalam pandangan Islam, manusia berfungsi sebagai khalifah di bumi (QS al-Baqarah [2]: 30). Karena itu Islam memandang alam sebagai amanah dari Allah ﷻ yang harus mereka jaga. Alam boleh dimanfaatkan, tetapi tidak boleh sampai merusak lingkungan. Karena itu Islam akan memastikan pengelolaan sumber daya alam harus sesuai dengan tuntunan syariah yang tidak menimbulkan kerusakan dan kerugian. Allah ﷻ berfirman:
هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ وَٱسۡتَعۡمَرَكُمۡ فِيهَا فَٱسۡتَغۡفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ
Dia (Allah) telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya. Karena itu mohonlah ampunan-Nya, lalu bertobatlah kepada Dia. “Sungguh Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (TQS Hud [11]: 61).
Dengan demikian hanya sistem Islamlah yang mampu mengelola sumber daya alam. Sumber daya milik umum ini akan dikelola oleh negara sesuai dengan tuntunan syariah Islam semata-mata untuk kesejahteraan rakyat tanpa merusak ekologinya. Dalam hal penambangan di sistem pemerintahan Islam (Khilafah), Khalifah (kepala Negara Islam) adalah râ'in (pengurus rakyat). Karena itu Negara (Khilafah) bertanggung jawab penuh dalam hal pengelolaan milik umum demi kemaslahatan umat. Negara tidak boleh menjadi mitra bisnis korporasi tambang. Hasil tambang nikel atau sumber daya alam lain wajib dikelola oleh Khilafah dan hasilnya disalurkan ke Baitul Mal untuk pelayanan publik, bukan untuk investor atau elit politik.
Khatimah
Eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat adalah cermin dari kegagalan sistem hukum jahiliah Kapitalisme dalam menjaga dan merawat amanah bumi. Ia adalah pengingat bahwa selama sistem kufur ini masih menguasai tata kelola negara dan sumber daya alam, maka kerusakan demi kerusakan akan terus terjadi.
Saatnya bangsa ini melepaskan diri dari jeratan sistem Kapitalisme yang selama ini telah terbukti rusak dan merusak. Selanjutnya, bangsa ini harus segera menerapkan sistem Islam secara kâffah. Penerapan sistem Islam secara kâffah adalah wujud keimanan dan ketakwaan hakiki. Saat demikian niscaya keberkahan akan turun kepada bangsa ini. Demikian sebagaimana firman-Nya:
وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menghukum mereka karena perbuatan mereka itu (TQS al-A’raf [7]: 96).
Hikmah:
Allah ﷻ berfirman:
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡما لِّقَوۡمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi kaum yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 397