Type Here to Get Search Results !

NURANI HILANG, NYAWA ANAK DAN IBU KANDUNG MELAYANG


Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga

Sepenggal lirik dari lagu berjudul Harta Berharga Original Soundtrack Keluarga Cemara di atas menggambarkan betapa keluarga adalah sesuatu yang sangat berharga tak terbeli. Di mana di dalamnya berisi orang-orang yang saling menyayangi, saling mengasihi, saling menjaga satu sama lain. Berbagi suka dan duka. Keluarga menempati ruang kerinduan terluas. Di sana menjadi tempat ternyaman untuk menghabiskan waktu bersama. Sumber kekuatan untuk menghadapi berbagai macam ujian yang hadir. Maka wajar setiap hati yang terikat keluarga tidak akan pernah rela anggota keluarganya mengalami sesuatu yang buruk.

Tapi, realita dari ungkapan di atas rasanya begitu mahal terjadi hari ini. Sebab, berita-berita yang bermunculan bertolak belakang dengan keindahan narasi tersebut. Seperti yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat. Yanti Rustini (31) melakukan tindakan keji yang sulit dipercaya: ia menghabisi nyawa ibu kandungnya sendiri. Lebih memilukan lagi, anaknya yang tak berdosa ikut menjadi korban, dibunuh hanya karena terbangun di saat yang salah. Yang membuat tragedi ini semakin mengguncang, sang ayah, Cahya (60), justru turut andil membantu aksi pembunuhan tersebut.

Kasus ini mencuat setelah ada warga yang menemukan potongan kerangka tubuh manusia secara terpisah dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Temuan ini langsung mengarah pada penyelidikan lebih lanjut oleh pihak kepolisian. Fakta terungkap setelah polisi mencurigai hilangnya dua warga yang tidak diketahui keberadaannya. Mereka adalah Lilis (51) dan seorang anak usia 3 tahun yang merupakan anak dari pelaku. Yanti mengakui perbuatannya setelah polisi menemukan bukti foto jenazah korban di ponsel miliknya.

Yanti membunuh kedua korbannya dengan cara dicekik dan dibiarkan beberapa hari di dalam rumah sebelum kemudian dimutilasi, kulit korban dikelupas lalu dibakar dan kerangkanya dibuang di beberapa lokasi berbeda. Ini semua dilakukan untuk menghilangkan jejak pembunuhan. Adapun motif dari pelaku adalah perasaan sakit hati tidak diperhatikan ibunya sejak kecil.

Sementara Cahya sang ayah nekat ikut membunuh, ingin menguasai harta korban karena terlilit hutang RP 90 juta. Sedangkan anaknya ikut dibunuh agar tidak berisik dan tidak ada saksi saat pembunuhan. Yanti dan Cahya dikenai sejumlah pasal berat termasuk pembunuhan berencana karena sudah direncanakan dari 21 April, kekerasan dalam rumah tangga, serta perlindungan anak dengan ancaman maksimal hukuman mati. (detikjabar.com, Selasa, 20/05/2025)


Sekulerisme Melahirkan Manusia-manusia Sadis

Rasanya tidak percaya ada manusia sekeji itu, tapi ini betul-betul terjadi. Mau heran pun nyatanya kasus-kasus serupa telah terjadi berulang kali di Indonesia. Bahkan tidak menutup kemungkinan besok akan terus bermunculan pelaku-pelaku baru dengan beragam motif. Sungguh miris dan menyayat hati kasus pembunuhan kian menjadi. Yang lebih memilukan, pelaku adalah seorang anak dan seorang ibu dari korban yang telah dibunuhnya. Dan lagi, pelaku menjadi sumber malapetaka bagi keluarga yang seharusnya menempatkan keluarga sebagai harta berharga.

Kasus kriminal seperti ini tidak muncul begitu saja, dan tak bisa semata-mata dijelaskan melalui motif pribadi pelaku. Tragedi ini merupakan buah pahit dari proses sekularisasi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, meresap ke dalam setiap aspek kehidupan. Masyarakat secara sistematis telah dididik oleh sistem yang mengakar di negeri ini—Kapitalisme Sekuler—yang memisahkan agama dari kehidupan, dan menjauhkan agama dari peran negara. Tanpa disadari, pola pikir dan perilaku pun terbentuk: menjalani hidup tanpa takut pada azab akhirat, merancang kemaksiatan dengan dingin, seolah tak akan pernah ada hari pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta.

Tidak terbayang manusia yang hidup dalam sistem Kapitalis-Sekuler ini mampu menguliti tubuh manusia kemudian memutilasi, dan kekejamannya berlanjut dengan membakar tubuh korban. Kalaupun tidak memikirkan dampak jangka panjang akan balasan azab di akhirat, setidaknya terpikir akibat jangka pendek yang akan dia terima di dunia.

Seandainya tidak terpikirkan juga akan hal itu, di mana hati nurani sebagai sesama manusia? di mana rasa perikemanusiaannya? Terlebih korban adalah ibu kandungnya sendiri, letak dia meraih surga dan korban satunya juga anak kandungnya sendiri yang merupakan buah hati layaknya permata yang tidak sekedar harus dijaga.

Begitulah perilaku manusia-manusia jebolan dari sekolah raksasa milik sistem Kapitalisme. Didukung pula oleh sanksi hukuman yang sama sekali tidak memberi efek jera bagi pelaku dan orang lain. Belum lagi masalah ekonomi yang sering menjadi kambing hitam atas tindak kriminal, di mana penghidupan rakyat menjadi tanggungjawab masing-masing individu tanpa peran nyata dari negara.

Adanya kekacauan dalam rumah tangga pun tidak lepas dari kontribusi besar sistem yang batil ini. Keluarga yang dibangun bukan lagi berlandaskan pada visi akhirat, namun pada visi dunia saja. Maka tidak heran rasa sakit hati akan menjadi dendam yang terpelihara. Kesabaran setipis tisu, emosi kemarahan mudah terpancing karena minimnya keimanan. Alhasil, manusia bisa berbuat nekat dan sadis walaupun kepada darah dagingnya atau keluarganya sendiri.


Islam Menguatkan Fungsi Keluarga

Berbeda dengan Islam yang memandang bahwa keluarga adalah pondasi dalam masyarakat. Akidah Islam akan menguatkan peran setiap anggotanya dalam keluarga. Fungsi keluarga akan berjalan sebagaimana syariat Islam mengatur. Seorang suami akan memahami bahwa tugasnya bukan sekedar pencari nafkah tetapi pelindung, pendidik serta pemimpin dalam keluarga.

Istri akan menjalankan perannya sesuai dengan arahan Islam yaitu ummu warabbatulbait atau pengurus dalam rumah tangga serta menjadi pendidik pertama bagi anak-anaknya. Jika peran ini berjalan sebagaimana mestinya maka akan lahir anak-anak berakhlak mulia. Didukung dengan berbagai peran negara yang menjaga ketundukan rakyat kepada Allah ﷻ.

Islam telah mengatur dalam ayat Al-Qur'an, bagaimana seorang anak harus bersikap baik kepada kedua orang tuanya terlebih ibu. Seorang anak akan tetap menaati dan menghormati kedua orang tuanya meskipun ada perlakuan yang baginya tidak mengenakan hati. Karena paham bahwa yang memerintahkan hal itu adalah Allah ﷻ. Jadi, kebaikan anak bukan timbal balik atas kebaikan orang tua padanya. Tapi atas dorongan keimanan menjalankan perintah-Nya. Firman Allah ﷻ,

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا
"Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (QS. Al-Isra: 23)

Ayat ini akan menjadi patokan bagaimana seorang anak memperlakukan orang tuanya. Jangankan berbuat kasar, berucap "ah" saja dilarang. Ayat-ayat Al-Qur'an akan menuntunnya dalam bertingkah laku. Atas kesadaran ini fungsi keluarga akan kuat. Semua tahu hak dan kewajibannya. Negara juga akan hadir untuk memperkuat lagi fungsi keluarga dengan sistem lainnya yang berbasis akidah Islam. Seperti sistem pendidikan, sistem pergaulan, hingga sistem politik.

Sebagai contoh, dengan penerapan sistem Ekonomi berbasis Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan per individu rakyat. Hal ini dilakukan dengan cara menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya untuk rakyat. Selain itu, Islam memiliki konsep pengelolaan sumber daya alam oleh negara sendiri, di mana hasilnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Kemudian, penerapan sistem pendidikan Islam dengan kurikulum akidah Islam. Pelajar dalam Islam bukan hanya anak-anak saja tapi semua lapisan masyarakat akan merasakan pembinaan ilmu Islam. Sehingga generasi mudanya akan menjadi pejuang atau agen perubahan suatu bangsa. Dan masyarakat umum akan menjadi individu-individu yang berkualitas sebagaimana yang Rasulullah ﷺ contohkan dahulu.

Penerapan sanksi di dalam Islam juga mendukung fungsi keluarga berjalan sesuai koridor syar'i. Di mana sanksi yang diberikan akan betul-betul memberikan efek jera bagi pelaku dan orang lain yang melihat pelaksanaan hukuman atas tindak kriminal tertentu. Seperti, penganiayaan, pembunuhan atau yang lainnya. Begitu pula dengan penerapan-penerapan sistem pendukung lainnya yang diterapkan dalam aspek kehidupan sesuai dengan syariat Islam. Dengan demikian, fungsi keluarga akan benar-benar kuat dan mampu melahirkan generasi-generasi hebat berakhlak mulia.

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”

Oleh: Desi Ummu Naffisha

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.