Type Here to Get Search Results !

PENGUASA WAJIB MENYEJAHTERAKAN RAKYAT


Nurani rakyat terusik. Seorang pejabat Direktorat Jenderal Pajak ternyata miliki kekayaan fantastis di luar kewajaran. Jumlahnya mencapai Rp 56 miliar! Gaya hidup mewah juga kerap dipamerkan oleh anak sang pejabat di media sosial. Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak akhirnya memperingatkan agar para pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan tidak bergaya hidup mewah, apalagi pamer kemewahan.

Namun, terungkap bahwa perilaku seperti itu dilakukan oleh banyak pejabat, termasuk oleh para pucuk pimpinan mereka, di lingkungan Kementerian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak. Punya harta luar biasa dan senang pamer kemewahan. Tentu memprihatinkan dan tidak pantas. Pasalnya, mereka digaji dari pajak rakyat, termasuk dari warga miskin.


Hak Rakyat Terbengkalai


Negara yang menganut ideologi Kapitalisme menjadikan pajak sebagai urat nadi perekonomian. APBN Indonesia, misalnya, 70-80%-nya dibiayai dari pendapatan pajak. Bahkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 655 triliun pada tahun 2020 dan Rp 744,8 triliun pada 2021 justru berasal dari pajak.

Dengan pajak yang beragam, ironinya warga susah mendapatkan kemakmuran. Kemiskinan di Tanah Air kian memburuk. Jumlah warga miskin per September 2022 menjadi 26,36 juta penduduk; naik dibandingkan 3 tahun sebelumnya, September 2019, yakni 24,75 juta penduduk. Lalu ada 167,8 juta warga atau 60,7% dari populasi rakyat Indonesia, yang penghasilannya di bawah Rp1,1 juta/bulan.

Di sisi lain ada 38 juta masyarakat yang belum punya akses sanitasi. Ada 20 juta orang yang belum punya akses air minum layak. Menurut BPS pada 2021, sebanyak 83.843 desa masih belum mendapatkan layanan air minum bersih. Dari jumlah itu, tercatat sebanyak 47.915 desa/kelurahan belum memiliki akses air minum bersih.

Warga Indonesia juga masih banyak yang kesulitan mendapatkan akses jalan yang layak di daerahnya. Tahun 2016 BPS melaporkan lebih dari 10 ribu desa di Indonesia masih memiliki infrastruktur jalan yang buruk. Lebih dari lima ribu desa/kelurahan punya jalan yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat sepanjang tahun. Ada yang hanya bisa dilalui saat musim kemarau, tetapi tidak di musim hujan. Sebagian kondisi jalan nasional rusak berat sepanjang 47.017 kilometer, alias sepanjang Pulau Jawa.

Wajar jika kemudian banyak warga mempertanyakan hak-hak mereka. Mereka juga semakin sakit hati setelah tahu kekayaan luar biasa para pejabat serta kebiasaan gaya hidup mewah mereka.


Sejahterakan Rakyat: Wajib!


Islam sebagai ideologi sempurna telah mewajibkan Negara (Khilafah) melindungi harta rakyat dan menjamin kehidupan mereka. Rakyat adalah Amanah. Mereka layaknya gembalaan yang wajib dijaga dan dilindungi oleh penggembalanya. Nabi ﷺ bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Rasulullah ﷺ, sebagai kepala Negara Islam di Madinah, juga Khulafaur-Rasyidin, selain menerapkan hukum-hukum Allah ﷻ, juga diperintahkan untuk menjaga hak-hak kaum Muslim beserta seluruh rakyat untuk menjamin kebutuhan hidup mereka. Rasulullah ﷺ misalnya, menyediakan dokter yang beliau terima dari Raja Mesir untuk melayani umat. Beliau juga menyediakan jaminan hidup untuk para Ahlus-Suffah yang merupakan kaum dhu’afa dan para pencari ilmu di Madinah.

Kewajiban mengurus umat ini diteruskan oleh Khulafaur-Rasyidin. Khalifah Umar bin Khaththab ra., misalnya, membangun dar ad-daqiq sebagai rumah singgah untuk para musafir. Di sana mereka boleh makan dan beristirahat. Beliau pun menyediakan pendidikan untuk kaum Muslim dan memberikan gaji yang layak untuk para pengajar sebesar 15 dinar. Khalifah Umar ra. juga memberikan insentif untuk anak-anak. Khalifah berikutnya, Utsman bin Affan ra., memberikan insentif 1 dirham setiap hari untuk kaum Muslim selama Ramadhan.

Para khalifah dari Bani Umayah juga melanjutkan kewajiban mengurus umat seperti membangun rumah sakit-rumah sakit, termasuk rumah sakit khusus untuk penderita kusta, secara gratis. Ini adalah rumah sakit pertama untuk penderita kusta dalam sejarah dunia. Mereka juga mendirikan rumah-rumah panti jompo, juga rumah-rumah untuk orang-orang yang tersesat. Mereka pun melakukan pelunasan utang warga yang dililit utang, melakukan pembebasan tawanan Muslim, serta subsidi nikah. Pada periode 120-126 H, Kekhilafahan Umayah menganggarkan dana sebanyak 10 ribu dirham untuk penanganan bencana dan pemerdekaan budak.

Sebaliknya, Islam mengancam para penguasa yang menelantarkan kebutuhan rakyat, apalagi menghalangi hak-hak mereka. Sabda Rasulullah ﷺ:

مَا مِنْ إِمَامٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ خَلَّتِهِ وَحَاجَتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
Tidak seorang pemimpin pun yang menutup pintunya dari orang yang membutuhkan, orang yang kekurangan dan orang miskin, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari kekurangan, kebutuhan dan kemiskinannya (HR at-Tirmidzi).


Pungutan Harta Zalim


Syariah Islam menetapkan bahwa pajak bukanlah sumber penghasilan untuk Negara, apalagi dijadikan urat nadi ekonomi Negara. Islam sudah menetapkan sumber-sumber pendapatan Negara (Khilafah). Di antaranya dari harta kepemilikan umum (seperti pertambangan), zakat dan sedekah, ghanîmah, kharaj, harta yang tak ada ahli warisnya, dsb.

Al-‘Allamah Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh menyatakan bahwa sumber-sumber pendapatan yang telah ditentukan syariah Islam bisa mencukupi APBN Negara Khilafah. Karena itu Khilafah tidak membutuhkan lagi pungutan pajak, baik secara langsung atau tidak langsung (An-Nabhani, Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 242).

Siapa pun, termasuk penguasa, yang melakukan pungutan harta tanpa haq, tidak sesuai syariah, diperingatkan oleh Nabi ﷺ:

مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
“Siapa saja yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya (secara tidak benar, red.) maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan dia masuk surga.” Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu arak (kayu untuk siwak).” (HR Ahmad).

Khusus untuk pemungut pajak, ada ancaman dari Nabi ﷺ Sabda beliau:

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ
Sungguh para pemungut pajak (diazab) di neraka (HR Ahmad).

Namun, Negara Khilafah dibolehkan mengambil pungutan/pajak dari kaum Muslim yang kaya untuk menunaikan berbagai kepentingan yang menjadi hajat umat ketika Baitul Mal atau Kas Negara mengalami kekurangan (defisit). Misalnya, untuk membiayai penanganan bencana alam; untuk fakir miskin; untuk kemaslahatan umat yang mendesak seperti pembangunan rumah sakit, jalan, jembatan, sekolah-sekolah; untuk keperluan jihad fi sabilillah, gaji pegawai negara, tentara, dsb (Syaikh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah Al-Khilâfah, hlm. 162-168).

Pungutan ini bersifat sementara dan hanya diambil dari kelebihan harta kaum Muslim yang kaya. Bukan diambil dari seluruh rakyat, baik secara langsung ataupun tidak langsung, seperti pajak pertambahan nilai (PPN). Nabi ﷺ bersabda:

خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى
Sedekah terbaik adalah yang berasal dari orang kaya (HR al-Bukhari).

Terlihat perbedaan yang jelas pajak dalam Islam dengan pajak dalam sistem Kapitalisme. Islam menciptakan sistem ekonomi yang memudahkan urusan rakyat. Tidak membebani apalagi mencekik leher mereka. Bahkan pungutan jizyah yang diwajibkan atas ahludz-dzimmah (warga negara non-Muslim) juga diberi dispensasi manakala mereka mengalami kesusahan hidup. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. menghapus kewajiban jizyah atas seorang lelaki tua yang miskin, Beliau bahkan memerintahkan Baitul Mal untuk memberikan bantuan keuangan kepada orang tersebut.

Demikianlah, Islam menciptakan sistem kekuasaan dan para penguasa yang benar-benar me-ri’âyah (mengurusi) umat. Dengan dorongan takwa, para penguasa Islam bekerja keras untuk melindungi dan menjamin kehidupan rakyat. Sebabnya, mereka tahu bahwa jabatan mereka bisa menjadi bencana bagi mereka pada Hari Akhir jika mereka menelantarkan amanah, mengabaikan urusan rakyat, apalagi sambil memperkaya diri sendiri. Nabi ﷺ bersabda:

مَا مِنْ حَاكِمٍ يَحْكُمُ بَيْنَ النَّاسِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَلَكٌ آخِذٌ بِقَفَاهُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَإِنْ قَالَ أَلْقِهِ أَلْقَاهُ فِي مَهْوَاةٍ أَرْبَعِينَ خَرِيفًا
Setiap pemimpin yang memimpin rakyatnya pada Hari Kiamat nanti pasti akan didatangkan. Kemudian malaikat mencengkeram tengkuknya dan mengangkat dia sampai ke langit. Kalau ada perintah dari Allah, “Lemparkanlah!” Malaikat itu pun akan melemparkan dirinya ke bawah yang jaraknya adalah empat puluh tahun perjalanan (HR Ibnu Majah).

Alhasil, tak ada alasan untuk tidak menerapkan syariah Islam. Itu merupakan kewajiban seluruh kaum Muslim sekaligus merupakan hak Allah ﷻ yang wajib mereka tunaikan. Penerapan syariah Islam akan memberikan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Masihkah, kita mau menunda-nundanya?


Hikmah:

Allah ﷻ berfirman:

وَاِذَآ اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا
Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami memerintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah). Akan tetapi, jika mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu, sepantasnya berlaku bagi mereka perkataan (hukuman) Kami, kemudian Kami menghancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (TQS al-Isra’ [17]: 16).

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”

Kaffah Edisi 284

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.