Type Here to Get Search Results !

ANTARA MEMBAKAR AL-QURAN DAN MENGABAIKAN HUKUM-HUKUMNYA


Penghinaan terhadap al-Quran lagi-lagi terulang. Kali ini pelakunya adalah tokoh ekstremis anti Islam pendiri gerakan sayap kanan Denmark, Rasmus Paludan. Dia secara demonstratif membakar Kitab Suci umat Muslim. Tindakannya dilandasi oleh kebenciannya pada Islam sekaligus demi menyuarakan kebebasan berbicara. Paludan juga berjanji akan membakar al-Quran terus-menerus pada setiap hari Jumat sampai Swedia diterima menjadi anggota NATO. Penistaan terhadap al-Quran yang dia lakukan kali ini mendapatkan izin dari pemerintah Swedia. Bahkan dia mendapatkan pengawalan polisi baik di Swedia maupun saat dia melakukannya di Denmark. Aksi Paludan bukan yang pertama. Tahun 2019 dia membakar al-Quran yang dibungkus daging babi.


Demokrasi dan Islamofobia


Aksi pembakaran al-Quran di Swedia adalah tanda makin meningkatnya kebencian pada ajaran Islam di dunia. PBB pada tahun 2021 menyebutkan tingkat kebencian terhadap Islam terus meningkat. Tercatat 4 dari 10 orang di Eropa memiliki pandangan negatif terhadap Muslim. Ini hasil survei antara 2018 dan 2019. Sebuah survei terhadap orang Amerika pada 2017 menemukan bahwa 30 persen di antaranya menganggap Muslim dalam pandangan negatif.

Hal ini terjadi sejak propaganda war on terrorism dan deradikalisasi ajaran Islam yang dilancarkan Barat pimpinan AS pasca tragedi 9/11 di tahun 2001. AS menuduh al-Qaeda berada di balik serangan tersebut. Memang banyak yang meragukan keruntuhan gedung WTC akibat serangan teroris dan mengungkap kejanggalannya. Namun, akibat kampanye ini terjadi peningkatan kebencian pada Islam dan kaum Muslim. Ironinya, hal ini justru diadopsi para pemimpin negeri Muslim.

Aksi pembakaran al-Quran di Swedia juga tentu merupakan bagian dari yang dijamin demokrasi, yakni kebebasan berbicara. Meski dikritik oleh pemerintah Swedia, izin tetap dikeluarkan dengan alasan hak warga di alam demokrasi. Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson berkata, “Kebebasan berekspresi adalah hal mendasar dalam demokrasi. Namun, apa yang sesuai hukum belum tentu patut.

Persis seperti pembelaan pemerintah Prancis terhadap Majalah Charlie Hebdo dalam kasus penghinaan terhadap Rasulullah pada tahun 2020. "Di Prancis ada kebebasan menghujat yang melekat pada kebebasan hati nurani. Saya di sini untuk melindungi semua kebebasan ini. Di Prancis, orang bisa mengkritik presiden, gubernur, penistaan," kata Presiden Prancis Emmanuel Macron.

Namun, kebebasan dalam demokrasi yang dipropagandakan Barat sering tidak berlaku untuk umat Muslim. Di Prancis, misalnya, berlaku larangan cadar bagi Muslimah di tempat-tempat umum. Kaum Muslim pun sulit mendapat izin untuk membangun masjid. Swedia sampai hari ini juga melindungi kaum Yahudi dan ajarannya dari kritik dan serangan.

Karena itu ajaran demokrasi memang bertolak belakang dengan Islam. Dalam Islam, setiap ucapan dan perbuatan Muslim wajib terikat pada hukum syariah karena berlaku hisab Allah ﷻ atasnya. Tidak ada prinsip kebebasan termasuk menista agama baik terhadap agama Islam maupun selain Islam.


Membakar al-Quran Kejahatan Besar


Tindakan membakar al-Quran dengan tujuan menghinakannya adalah dosa besar. Jika pelakunya Muslim maka ia telah kafir. Qadhi Iyadh menyatakan, “Ketahuilah siapa yang merendahkan al-Quran atau terhadap mushaf, sesuatu yang ada dalam al-Quran, atau mencela keduanya…maka ia telah kafir berdasarkan Ijmak kaum Muslim.” (Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ, 2/110).

Jika pelakunya kafir dzimmiy dan orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum Muslim, maka tindakannya telah membatalkan perjanjiannya, dan hilang pula jaminan keamanan bagi si pelaku sehingga dapat dijatuhi hukuman mati. Demikianlah pendapat dari Imam asy-Syafii (Ash-Shârim al-Maslûl ‘alâ Syâtim ar-Rasûl, hlm. 13).

Terhadap negara-negara kafir yang mendukung dan melindungi para pelaku penistaan al-Quran, kaum Muslim seharusnya memutus hubungan diplomatik dengan mereka, lalu mengancam untuk menyerang segala kepentingan mereka. Dalam sejarah, Khalifah Sultan Abdul Hamid II mengultimatum Inggris dan Prancis yang pada saat itu berkehendak memberikan izin pementasan drama yang menghina Rasulullah ﷺ. Pemerintah Prancis dan Inggris pun ketakutan lalu membatalkan pementasan drama itu.

Begitulah sikap para pemimpin Dunia Islam yang seharusnya, bukan bermain retorika tanpa aksi nyata. Karena tegas dalam membela Islam, tak ada satu pun pihak yang berani menistakan agama ini. Inilah pentingnya kaum Muslim memiliki kepemimpinan layaknya perisai pelindung agama sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Orang-orang akan berperang di belakangnya dan berlindung kepada dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).


Mengabaikan Hukum al-Quran


Sampai hari ini kaum Muslim masih meyakini bahwa penistaan terhadap al-Quran adalah kejahatan dan dosa besar. Namun sayang, banyak yang belum menyadari bahwa mengabaikan hukum-hukum al-Quran juga merupakan kemungkaran dan dosa besar. Allah ﷻ mengingatkan siapa saja yang enggan berhukum pada al-Quran:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Siapa saja yang tidak berhukum pada apa yang telah Allah turunkan, mereka itu adalah kaum kafir (TQS al-Maidah [5]: 44).

Setelah mengimani al-Quran, setiap Muslim dituntut untuk melaksanakan hukum-hukumnya. Jangan seperti kaum Bani Israil yang mengabaikan hukum-hukum yang terdapat dalam Taurat sehingga Allah menyamakan mereka seperti keledai yang membawa buku. Allah ﷻ berfirman:

مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرٰىةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ اَسْفَارًاۗ بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepada mereka Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim (TQS al-Jumu’ah [62]: 5).

Tema ayat ini memang berkaitan dengan kaum Yahudi. Namun, ayat ini juga berlaku untuk siapa saja. Demikian sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Qayyim, “Allah ‘Azza wa Jalla menggambarkan manusia yang telah ditugasi mengemban Kitab Suci-Nya untuk diyakini, dicermati, diamalkan dan didakwahkan. Namun ternyata mereka menyelisihinya. Mereka sekadar menghapalnya tanpa tadabbur (penghayatan), tidak mengikuti petunjuknya, tidak pula berhukum dengannya dan mengamalkannya. Sungguh mereka itu ibarat keledai yang membawa kitab-kitab, namun tidak memahami isi yang terdapat di dalamnya. Nasib mereka persis sama seperti nasib keledai. Perumpamaan ini, sekalipun mengetengahkan contoh kaum Yahudi, tetapi maknanya mencakup siapapun yang mengemban kitab suci al-Quran, tetapi tidak mengamalkannya, tidak menunaikan kandungan al-Quran atau memperhatikannya sebagaimana mestinya.” (I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, 1/127, Maktabah Syamilah).

Sebagian dari umat berdalih kalau hukum-hukum al-Quran tidak perlu dilaksanakan secara tekstual, namun yang utama tujuan utama hukum Islam yakni mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan (jalb al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid) dapat terlaksana. Misalnya hukum penjara sah untuk menggantikan hukum potong tangan bagi pencurian, hukum qishâsh, dsb. Ada juga yang menyatakan bahwa zakat adalah ruh dari pajak, sehingga zakat dan pajak adalah serupa.

Ada juga yang berani mengganti hukum Islam, seperti dari yang halal menjadi haram atau sebaliknya, seperti mengganti hukum waris antara lelaki dan perempuan menjadi sama. Menghalalkan bunga bank dengan dalih itu bukanlah riba. Bahkan sampai menghalalkan perzinaan selama dilakukan dengan sukarela (consent).

Faktanya, kemaslahatan justru makin menjauhi umat. Sebaliknya, kerusakan demi kerusakan terus terjadi akibat menyelewengkan hukum-hukum al-Quran. Penistaan terhadap agama juga makin berani. Padahal Allah ﷻ telah mengingatkan agar jangan sampai seperti kaum Bani Israil yang mengutak-atik kitab suci mereka untuk menghindari hukum-hukum Allah ﷻ (Lihat: QS Ali ‘Imran [3]: 78).

Wahai kaum Muslim! Jika emosi kita terusik menyaksikan al-Quran dinistakan, mengapa kita tidak marah melihat hukum-hukum al-Quran diabaikan? Mengapa kita sudah merasa puas melihat al-Quran hanya dijadikan bacaan, hapalan dan hiasan, sementara hukum-hukumnya ditelantarkan bahkan dimusuhi? Orang yang berjuang untuk mengamalkan ayat-ayat al-Quran difitnah? Lalu bagaimana bisa kita menyetujui penelantaran dan perubahan terhadap hukum-hukum yang dikandung al-Quran? Bukankah ini merupakan dosa besar pula? Allah ﷻ berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sungguh jawaban kaum Mukmin itu, jika mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan. "Kami mendengar dan kami patuh." Mereka itulah kaum yang beruntung (TQS an-Nur [24]: 51).


Hikmah:

Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahulLâh berkata:

فِي جَهَنَّمَ وَادٍ لَا يَسْكُنُهُ إِلَّا الْقُرَّاءُ الزَّوَّارُونَ لِلْمُلُوكِ
Sungguh di Neraka Jahanam ada sebuah lembah tidak ada penghuninya melainkan para qurrâ’ (pembaca al-Quran) yang suka mengunjungi para penguasa. (Ibnu Abdil Barr, Jâmi’ Bayân al-‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/284).

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 280

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.