
Oleh: Murli Ummu Arkan
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِا لْعُرْفِ وَاَ عْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
"Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 199)
Dalam hidup berinteraksi dengan masyarakat tidak menutup kemungkinan pasti ada perselisihan, perbedaan dan pertentangan. Hal ini adalah wajar karena manusia adalah makhluk terbatas yang banyak kekurangannya.
Manusia itu unik, berbeda karakter dan sifatnya. Namun, karakter dan sifat butuh disandarkan pada aturan Sang Ilahi.
Manusia diciptakan oleh Allah diberikan potensi naluri, salah satu contohnya naluri untuk mempertahankan diri.
Maka tidak heran, jika ada individu-individu yang menyerang, menyinggung, mendzolimi seseorang, orang itu akan muncul rasa marahnya. Inilah penampakan dari ghorizatun baqa' yaitu marah saat ada yang mengganggu atau terasa terganggu. Akhirnya perselisihan, pertentangan, dan hubungan sosial rusak.
Naluri ini perlu disandarkan pada aturan Sang Ilahi. Jika tidak maka akan mudah untuk menuruti hawa nafsu. Akhirnya akan mudah marah dan tidak muhasabah diri. Merasa paling benar sendiri.
Hal ini terkadang terjadi dalam lingkungan keluarga, saudara, tetangga, masyarakat, maupun negara.
Maka dari itulah Allah ﷻ memberikan Wahyu berupa Kalam Ilahi agar manusia bisa menjadikannya pedoman untuk bisa hidup dalam garis kebenaran.
Meski begitu, bukan berarti manusia bisa sempurna sehingga bisa lepas dari dosa dan kesalahan. Karena Dzat yang paling sempurna adalah Allah ﷻ.
Terlebih saat berkomunikasi, jika lisan tidak dijaga maka akan menimbulkan perselisihan, perdebatan, dan bahkan pertengkaran.
Syukurlah jika kita mempunyai rasa muhasabah diri. Artinya kita mau untuk mengoreksi diri sendiri. Selama ini sudah benarkah menjalani hidup? Jika belum benar harus diakui dan mau untuk memperbaiki diri.
Terkadang Allah ﷻ juga akan memberikan kita teguran dari seseorang. Ada yang mengkritisi, memberi saran, atau ada yang menyinggung perasaan kita. Bisa jadi semua itu adalah bentuk teguran dari Allah ﷻ agar kita muhasabah diri.
Mungkin saat perkataan orang lain menyinggung kita, Allah ﷻ menginginkan kita untuk bermuhasabah. Benarkah yang dikatakan itu?
Jadi jika kita tersinggung dengan orang lain muhasabahlah dulu. Dan maafkanlah perkataannya jika dirasa kata-katanya hanya menyinggung pribadi kita. Namun jika Allah ﷻ, Rasulullah ﷺ, Kitabullah yang dilecehkan maka kita sebagai umat muslim wajib untuk marah dan mengingatkannya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِا لْعُرْفِ وَاَ عْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
"Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A'raf 7: Ayat 199)
Selama pribadi kita yang terdholimi InsyaAllah memaafkan lebih baik. Namun bukan berarti kita membiarkan, tapi harus juga mengingatkan pada kebaikan. Jika dia menolak kebaikan itu maka sebenarnya dia tenggelam dalam kebodohannnya.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”