
Sebagaimana kita ketahui dan kita rasakan, selama puluhan tahun negeri ini tak pernah beranjak dari berbagai persoalan, termasuk ragam bencana alam. Tahun 2025 (yang seolah ditutup dengan bencana alam di mana-mana) hanya menggambarkan sedikit saja luka bangsa. Pasalnya, yang sebenarnya terjadi, kerusakan negeri ini merata di hampir semua lini; lingkungan, pendidikan, moral, hukum, politik, sosial, budaya, dan ekonomi.
Sekularisme Pangkal Kerusakan dan Bencana

Bencana alam dan ekologi sampai kini masih terjadi. Ia datang silih berganti. Sebulan terakhir adalah bencana banjir dan longsor di sejumlah daerah. Bencana kali ini jelas merupakan “teguran keras” yang ke sekian kalinya atas relasi yang timpang antara manusia dan alam. Selain faktor iklim, sangat jelas bencana ini adalah akibat keserakahan manusia dalam bentuk penggundulan hutan secara semena-mena. Akibatnya, dalam 10 tahun terakhir saja, puluhan juta hektar hutan habis dibabat. Entah untuk keperluan tambang, pembukaan perkebunan sawit, dll. Ini belum termasuk puluhan juta hektar hutan yang dibabat selama era Orde Baru dan sepanjang era Reformasi. Yang pasti, telah terjadi eksploitasi berlebihan, tata kelola yang diabaikan serta keserakahan yang dilegalkan melalui kebijakan kapitalistik yang hanya menguntungkan segelintir oligarki dan penguasa.
Allah ﷻ telah menegaskan bahwa berbagai bencana yang terjadi itu adalah akibat tangan-tangan jahat manusia:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
"Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia. (Dengan itu) Allah berkehendak agar manusia merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan-Nya)." (QS. ar-Rum [30]: 41).
Di tengah derita rakyat yang kehilangan rumah dan penghidupan, bencana tidak hanya hadir sebagai peristiwa ekologis, tetapi juga sebagai tragedi yang menyingkap kezaliman struktural terhadap alam di negeri ini. Kekuasaan tak lagi dianggap sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah di Akhirat kelak. Kekuasaan justru hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengeksploitasi alam. Semata-mata demi keuntungan segelintir orang. Nasib rakyat justru sering terabaikan. Mereka bahkan sering dikorbankan. Ribuan korban bencana Sumatra hanyalah salah satu contohnya.
Ideologi Kapitalisme-sekuler yang diterapkan di negeri ini nyata telah menjadikan hukum-hukum Allah disingkirkan dalam pengaturan segala urusan kehidupan. Inilah yang menjadi pangkal kerusakan. Allah telah memperingatkan:
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ
"Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran) maka sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha [20]: 124).
Pada saat yang sama, korupsi tak kunjung reda, memperparah luka bangsa. Ia merembes ke semua lini. Menggerogoti kepercayaan publik. Mematikan harapan akan keadilan. Ratusan triliunan rupiah dana yang semestinya menjadi penyangga kesejahteraan rakyat justru mengalir ke kantong segelintir elit. Sebaliknya, masyarakat dipaksa beradaptasi dengan kesulitan yang kian kompleks. Kejagung mencatat, sepanjang Tahun 2024 saja, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 300-an triliun. Pelakunya adalah para pejabat dan pegawai dari tingkat pusat hingga daerah. Menurut catatan ICW, sepanjang 2019-2024 saja, korupsi melibatkan 6.000-an pelaku (tersangka).
Korupsi tentu bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia sekaligus merupakan pengkhianatan moral yang merusak sendi-sendi kehidupan. Ironisnya, penegakan hukum hanya ada di atas kertas. Ia tak berlaku bagi kaum elit berduit. Ia hanya menyasar rakyat jelata. Para penegak hukum di negeri ini telah mempertontonkan ketidakadilan. Mereka lebih memilih jalan kezaliman. Padahal Rasulullah ﷺ telah memperingatkan:
الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَاثْنَانِ فِي النَّارِ؛ فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ، وَأَمَّا الَّذِي فِي النَّارِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ
"Para hakim itu ada tiga golongan: satu di surga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui kebenaran, lalu memutuskan hukum dengan kebenaran itu, ia di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi menyimpang dalam keputusannya, ia di neraka. Hakim yang memutuskan perkara tanpa ilmu, ia pun di neraka." (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Kerusakan moral generasi muda juga menjadi alarm keras bagi masa depan. Maraknya perjudian online, kekerasan, dan kriminalitas menunjukkan rapuhnya ketahanan nilai dalam keluarga, sekolah, dan ruang publik digital. Remaja tumbuh dalam arus teknologi yang cepat, namun tanpa pendampingan etis yang memadai. Algoritma telah menundukkan generasi bangsa ini sehingga mereka kehilangan arah. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan jumlah transaksi judi pada 2025. Sejak awal 2025 hingga kuartal ke-3, jumlah perputaran dana judi mencapai Rp 155 triliun. Pelakunya juga melibatkan remaja bahkan anak-anak. Padahal jelas judi itu haram, sebagaimana firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٌ مِّنۡ عَمَلِ ٱلَّشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan." (QS. al-Maidah [5]: 90).
Tren kriminalitas pada tahun 2025 juga tergolong tinggi. Pusat Studi Kejahatan Nasional (Pusiknas) kembali merilis data tindak kejahatan hingga Agustus 2025. Hasilnya cukup mengejutkan, tetapi sekaligus meneguhkan tren lama: wilayah padat penduduk, urban, dan menjadi pusat aktivitas ekonomi masih menjadi episentrum (pusat) kriminalitas. Selama Januari–Agustus 2025 saja tercatat 335 orang dilaporkan terkait kasus kriminal di Indonesia.
Seluruh kasus di atas hanyalah sedikit potret masalah yang timbul akibat penerapan sistem demokrasi-sekuler di negeri ini.
Saatnya Kembali ke Jalan Allah

Dengan demikian, bangsa ini, utamanya kaum Muslim di negeri ini, seharusnya segera menyadari betapa tahun demi tahun sistem demokrasi-sekuler yang diterapkan di negeri ini hanya memproduksi ulang berbagai persoalan yang sama, yang bahkan makin menambah kerusakan di berbagai aspek kehidupan. Pergantian pemimpin juga terbukti tidak pernah menghadirkan perbaikan. Pasalnya, meski gonta-ganti pemimpin, sistem yang diterapkan adalah sistem yang sama, yang telah terbukti rusak dan hanya menciptakan ragam kerusakan. Itulah sistem demokrasi-sekuler.
Sistem demokrasi-sekuler menempatkan kedaulatan hukum di tangan manusia. Bukan pada wahyu. Akibatnya, benar dan salah menjadi relatif. Fleksibel mengikuti kepentingan. Hari ini satu kebijakan dipuji sebagai solusi. Esok hari terbukti sebagai kezaliman yang dilegalkan. Inilah politik tanpa rasa takut kepada Allah. Politik yang kehilangan dimensi akhirat.
Padahal Allah telah menegaskan bahwa sistem hukum jahiliyah buatan manusia tidak layak diterapkan. Hanya hukum Allah yang layak dan wajib diterapkan. Demikian sebagaimana firman-Nya:
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمًا لِّقَوۡمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi kaum yang yakin?" (QS. al-Maidah [5]: 50).
Karena itu saatnya kaum Muslim negeri ini memiliki kemauan dan keberanian untuk menegakkan hukum-hukum Allah dalam mengatur negara ini. Hukum Allah bukan sekadar simbol normatif, melainkan sistem nilai yang pasti menjamin keadilan, amanah serta perlindungan kepada manusia dan alam.
Membuang sistem hukum jahiliyah berarti menolak dominasi hawa nafsu manusia. Penggantinya adalah hukum yang berpijak pada wahyu Allah, yakni syariah Islam. Hanya dengan menjalankan syariah Islam negara dapat diandalkan sebagai pelayan umat, bukan alat penindasan. Hanya dengan syariah Islam pula ketertiban dan keadilan yang hakiki bagi semua bisa dihadirkan.
Penegakan hukum-hukum Allah atau syariah Islam ini tentu harus total (kâffah). Tidak boleh parsial (setengah-setengah). Semua itu hanya mungkin bisa dijalankan dalam sebuah institusi pemerintahan Islam. Hal ini jelas pernah dicontohkan langsung oleh Baginda Rasulullah saw. dengan mendirikan Daulah Islam (Negara Islam) di Madinah al-Munawwarah. Negara Islam ini kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dalam bentuk Kekhilafahan Islam. Kekhilafahan Islam ini pun terus dipertahankan dan dilanjutkan oleh generasi selanjutnya (era Umayah, ‘Abbasiyah, dan Utsmaniyah) selama tidak kurang dari 13 abad lamanya.
Inilah hakikat kembali ke jalan Allah ﷻ secara sempurna. Hal ini sejalan dengan firman Allah ﷻ:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلَّشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوًٌ مُّبِينٌ
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian." (QS. al-Baqarah [2]: 208).
Hikmah:
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
"Apa saja yang Rasul perintahkan kepada kalian, laksanakan. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkan. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya." (QS. al-Hasyr [59]: 7).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 425
