
Hingga kini, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset masih terus mengalami tarik-ulur di DPR. Publik sudah lelah mendengar alasan klasik: “masih perlu pendalaman,” “butuh sinkronisasi,” “belum ada kesepahaman antar-fraksi,” “tidak sesuai dengan karakter hukum di Indonesia,” “menunggu persetujuan rakyat,” dan lain-lain. Semua alasan ini pada hakikatnya adalah cermin adanya tarik-menarik kepentingan.
Banyak kalangan menilai bahwa RUU ini tidak kunjung disahkan karena menyentuh urat nadi kepentingan elit. Sebabnya, jika RUU ini benar-benar disahkan dan dijalankan secara konsisten, ia akan menjadi instrumen hukum yang ampuh untuk merampas aset hasil korupsi, termasuk aset yang disamarkan melalui praktik pencucian uang atau dialihkan ke tangan keluarga dan kerabat.
Di sinilah muncul ketakutan DPR maupun Pemerintah: RUU Perampasan Aset bisa menjadi “senjata makan tuan.” Mereka khawatir justru banyak pejabat, pengusaha, atau kelompok oligarki yang selama ini menjadi sponsor politik akan ikut terseret. Akhirnya, pembahasan selalu ditunda, bahkan sengaja terus diperlambat.
Namun, ada juga kekhawatiran bahwa RUU ini bisa menjadi alat represif negara yang justru menyasar rakyat. Misalnya, aset rakyat yang tidak jelas administrasinya bisa dianggap ilegal, lalu disita atas nama negara. Padahal banyak rakyat yang menguasai lahan atau aset secara turun-temurun, hanya saja mereka tidak atau belum memiliki sertifikat resmi. Karena itu, syarat yang harus ditegakkan ialah: RUU Perampasan Aset harus benar-benar diarahkan untuk menyita aset hasil korupsi dan tindak pidana, bukan menyasar harta masyarakat yang sah.
Lebih dari itu, RUU ini juga semestinya menyentuh aset-aset besar milik oligarki yang menguasai sumber daya alam (SDA) milik rakyat melalui praktik kongkalingkong dan korupsi berjamaah dengan elit politik.
Islam: Tegas, Adil, dan Transparan

Islam memiliki aturan yang tegas, adil, dan transparan dalam urusan harta. Islam melarang keras segala bentuk perolehan harta secara batil. Allah ﷻ berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا۟ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَا إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil. Jangan pula kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kalian dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui (itu dosa)” (QS. al-Baqarah [2]: 188).
Ayat ini menegaskan larangan segala bentuk upaya meraih harta dengan jalan yang haram. Misalnya saja korupsi, suap-menyuap, muamalah ribawi (termasuk pinjol), segala bentuk judi (termasuk judol), dan lain-lain. Islam pun menegaskan larangan segala bentuk manipulasi hukum demi merampas harta orang lain. Inilah yang sering terjadi dalam sistem demokrasi saat ini. Hukum dijadikan alat untuk melegalkan kezaliman.
Terkait larangan korupsi, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai dalam suatu pekerjaan, lalu kami beri dia suatu gaji, maka yang dia peroleh selain dari gaji adalah harta haram” (HR. Abu Dawud).
Terkait larangan suap-menyuap, Rasulullah ﷺ juga bersabda:
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi).
Karena itulah, korupsi, suap, dan segala bentuk pengkhianatan terhadap amanah harta rakyat adalah perbuatan terlaknat. Dalam Islam, harta haram itu wajib disita dan dikembalikan kepada pemiliknya atau dikelola negara demi kepentingan umat.
Meneladani Ketegasan Khalifah Umar ra.

Dalam Islam, sejak awal sudah ada mekanisme pencegahan korupsi: Pertama, pejabat negara digaji secara layak agar tidak tergoda korupsi. Kedua, harta mereka diaudit sebelum dan sesudah menjabat. Ketiga, setiap harta tambahan pejabat yang tidak wajar disita oleh negara. Keempat, para pejabat dipantau langsung oleh Khalifah. Khalifah juga bisa menugaskan para pengawas untuk memantau kekayaan para pejabat. Inilah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.
Sejarah mencatat bahwa Khalifah Umar ra. adalah teladan luar biasa dalam menegakkan keadilan, termasuk dalam urusan harta pejabat negara. Khalifah Umar ra. tidak segan-segan menyita harta pejabat negara yang dipastikan berasal dari penyalahgunaan jabatan. Terkait itu, Khalifah Umar menegaskan, “Siapa saja yang kami angkat sebagai pejabat negara, lalu memperoleh harta, maka ia hanya boleh memiliki harta yang ia peroleh sebelum menjabat. Adapun apa yang bertambah setelah itu, maka ia adalah ghulûl (haram), dan wajib disita (oleh negara).” (Abu Yusuf, Kitâb al-Kharâj, hlm. 107).
Karena itulah Khalifah Umar ra. tidak segan-segan untuk menyita harta Khalid bin al-Walid ra. yang dipastikan merupakan hadiah dari seseorang kepada dirinya yang kala itu menjadi pejabat negara. Khalifah Umar ra. menilai hadiah itu sebagai ghulûl (pengkhianatan). Harta sitaan itu lalu dimasukkan ke Baitul Mal (Kas Negara) (Ibn Saad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, 4/322).
Abu Hurairah ra., setelah menjabat gubernur Bahrain, pernah juga membawa pulang uang sebanyak 12 ribu dirham. Khalifah Umar ra. marah dan berkata, “Engkau tidak mempunyai harta sebelum ini. Lalu mengapa engkau tiba-tiba datang membawa 12 ribu dirham?!” Khalifah Umar ra. lalu menyita dan memasukkan seluruh harta itu ke Baitul Mal (Kas Negara) (Ibn Saad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, 4/90).
Khalifah Umar ra. juga pernah memeriksa harta Saad bin Abi Waqqaṣh ra. Sebagian hartanya lalu disita oleh Khalifah Umar ra. karena dianggap tidak wajar, lalu dimasukkan ke Baitul Mal (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 222).
Semua riwayat ini menunjukkan bahwa Khalifah Umar ra. tidak pernah ragu menyita harta para pejabat negara. Karena itu, pada masa Kekhilafahannya, tidak ada ruang bagi para pejabat negara untuk memperkaya diri lewat jabatan.
Pentingnya Merampas Aset Oligarki

RUU Perampasan Aset seharusnya tidak boleh hanya berhenti pada koruptor perorangan. Negara seharusnya juga menyita aset-aset oligarki (korporasi) yang selama ini menguasai sumber daya milik rakyat. Sebabnya, praktik perampokan oleh oligarki jauh lebih sistematis dan dampaknya jauh lebih menghancurkan dibandingkan dengan korupsi konvensional.
Selama ini, oligarki menguasai sumber daya alam (SDA) seperti emas, perak, minyak, gas, batubara, nikel, hutan, hingga laut melalui perizinan dan undang-undang yang mereka sendiri ikut rancang bersama para politisi. Dengan cara ini, apa yang sebenarnya merupakan milik umum (al-milkiyyah al-‘âmmah) beralih ke tangan segelintir orang. Padahal Rasulullah ﷺ telah menegaskan:
المُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاثٍ: فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ
“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak bersama) dalam tiga perkara: padang gembalaan, air, dan api” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Hadis ini menjadi dasar hukum fiqih bahwa segala sumber daya vital yang menjadi kebutuhan pokok rakyat banyak tidak boleh dimiliki individu maupun swasta, apalagi asing. Hanya negara yang berhak mengelola itu semua untuk kepentingan rakyat secara adil.
Perampasan SDA oleh oligarki sering dilakukan dengan cara legal, yakni melalui undang-undang yang mereka buat bersama DPR. UU Minerba, UU Migas, UU Cipta Kerja, dan berbagai regulasi investasi, pada praktiknya membuka pintu lebar bagi penguasaan SDA oleh korporasi besar.
Dengan payung hukum ini, perusahaan raksasa bisa menguasai jutaan hektar hutan, mengeruk tambang emas, batubara, dan nikel, serta mengeksploitasi migas dan laut tanpa kendali. Negara justru menjadi pelayan kepentingan korporasi. Sebaliknya, rakyat hanya menerima kerusakan lingkungan, konflik agraria, dan harga kebutuhan pokok yang mahal.
Selain perampasan legal oleh oligarki, banyak pula praktik perampasan ilegal yang dilakukan dengan cara suap, korupsi perizinan, manipulasi laporan produksi, dan sebagainya. Bahkan sering terjadi penguasaan lahan (termasuk lahan milik rakyat) oleh oligarki secara liar. Tindakan ini jelas termasuk dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا طُوِّقَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
“Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka pada Hari Kiamat dia akan dikalungi dengan tujuh lapis bumi” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, dalam sistem Islam, negara memiliki kewajiban untuk menarik kembali seluruh SDA yang termasuk kategori milik umum, lalu semua itu dikelola untuk kemaslahatan rakyat. Negara Islam (Khilafah) tidak akan membiarkan oligarki swasta, apalagi asing, menguasai SDA milik rakyat. Semua itu akan dikelola langsung oleh negara. Hasilnya masuk Baitul Mal, lalu didistribusikan untuk kesejahteraan rakyat.
Penutup
Kelemahan RUU Perampasan Aset bukan hanya pada tarik-ulurnya, tetapi pada sistem dasarnya. Sistem demokrasi menjadikan hukum tunduk pada kepentingan manusia. Selama sistem ini dipertahankan, hukum akan selalu bisa dipelintir, ditarik-ulur, dan dimanipulasi.
Maka dari itu, solusi sejati bagi bangsa ini bukanlah undang-undang setengah hati yang rawan dipelintir dan dimanipulasi, tetapi penerapan syariah secara kâffah dalam institusi pemerintahan Islam (Khilafah). Dengan itulah harta umat akan aman, keadilan tegak, dan korupsi (termasuk penguasaan SDA oleh oligarki) benar-benar bisa dibasmi sampai ke akar-akarnya.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 412