
Negara, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, bertindak sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang memiliki kewenangan penuh untuk memanfaatkan hutan demi kemakmuran rakyat, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Namun, bocoran data permohonan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang tersebar di 26 provinsi mengungkap bahwa sedikitnya 152 perusahaan sedang mengantre untuk mendapatkan konsesi atas 4,82 juta hektare kawasan hutan di Kementerian Kehutanan (Tempo, 2 Juni 2025).
Hukum Konsesni Hutan Dalam Pandangan Islam
Pemanfaatan hasil hutan atau konsesi hutan, sebagaimana biasanya, sarat dengan kepentingan pihak-pihak tertentu saja dan seringkali menimbulkan masalah di kemudian hari. Pada tahun 2023, deforestasi atau kehilangan hutan mencapai 292.374 hektare, menempatkan Indonesia di peringkat keempat dunia. Salah satu penyebabnya adalah konsesi kehutanan. Belum lagi, banyak terjadi perselisihan dengan warga adat lokal yang telah mendiami wilayah adat tersebut karena merasa kehidupannya terusik.
Konsesi hutan memang mampu memberikan nilai ekonomi dan sangat menarik bagi siapa pun, terlebih bagi perusahaan-perusahaan swasta. Bagaimana tidak, dengan luas hutan Indonesia yang tersebar di banyak provinsi—menjadikannya berada di urutan kedelapan dunia dengan total luas hutan mencapai 915.276,6 km² pada tahun 2021—kekayaan ini mampu memberikan keuntungan maksimal bagi siapa saja yang telah memperoleh izin usaha pemanfaatan hutan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika saat ini terdapat 152 perusahaan yang mengantre permohonan perizinan pemanfaatan hutan di Kementerian Kehutanan.
Negara yang seharusnya menjadi penguasa dan pengelola hasil hutan yang melimpah dan memanfaatkannya untuk mensejahterakan rakyat, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3, yaitu bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun saat ini, peran negara seolah hanya sebatas sebagai “penjual kebijakan” yang mengandalkan pemasukan dari pajak hasil konsesi hutan tersebut. Inilah corak negara kapitalis: alih-alih memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat sesuai amanah konstitusi, kekayaan justru diberikan kepada perusahaan-perusahaan.
Lain halnya dalam pandangan Islam, hutan merupakan salah satu bentuk harta kepemilikan umum. Oleh karena itu, negara wajib menguasai dan mengelolanya, serta mengembalikan manfaatnya kepada rakyat sebagai pemilik harta umum tersebut. Karena itu, tidak diperbolehkan jika pengelolaan dan pemanfaatan hutan diserahkan kepada pihak swasta atau individu tertentu, sebagaimana hadits Nabi ﷺ dari jalur Ibnu Abbas, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud)
Artinya memberikan konsesi hutan kepada perusahaan tanpa prinsip syariah menyalahi aturan dan zhalim terhadap rakyat yang notabene pemilik harta tersebut.
Solusi Islam Memanfaatkan Hutan
Hutan merupakan salah satu bentuk harta kepemilikan umum, dan setiap individu berhak memanfaatkannya. Negara tidak dibenarkan memberikan izin hanya kepada pihak-pihak tertentu dari kalangan rakyat untuk memiliki atau mengelolanya secara eksklusif.
Oleh karena itu, negara wajib membuat kebijakan atau aturan berdasarkan prinsip dasar syariah, yaitu perlindungan lingkungan dan kemaslahatan umum. Artinya, pemanfaatan hutan tidak boleh menimbulkan bahaya bagi manusia maupun lingkungan secara keseluruhan. Pemanfaatannya harus dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, dengan selalu mempertimbangkan manfaat jangka panjang bagi umat manusia dan alam.
Selain itu, negara harus memiliki data hutan yang lengkap dan rinci, meliputi luas wilayah hutan, jenis-jenis pohon, umur pohon, serta keanekaragaman hayati di dalamnya. Negara juga harus mengklasifikasikan jenis-jenis hutan—seperti hutan lindung, hutan industri, dan hutan adat—agar kebijakan yang diambil, termasuk pemberian izin usaha, tidak salah sasaran. Apabila suatu saat kebutuhan kayu meningkat untuk bahan baku, pengambilannya harus dilakukan dengan sistem tebang pilih dan tebang tanam, sehingga tidak merusak hutan maupun kehidupan yang bergantung padanya, serta mampu mencegah bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Negara juga harus melakukan pembinaan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya manfaat hutan bagi kehidupan manusia dan lingkungan secara keseluruhan. Dengan demikian, akan tumbuh kesadaran individu untuk merawat, melestarikan, dan menjaga hutan beserta kehidupan di dalamnya.
Sebagai bentuk pengawasan terhadap hak-hak masyarakat dan pengelolaan hutan, negara harus memberlakukan sanksi tegas terhadap siapa saja yang melakukan perusakan hutan yang membahayakan manusia dan lingkungan. Sanksi ta'zir ini tentu ditentukan oleh seorang khalifah. Dengan adanya sanksi yang tegas, diharapkan dapat mencegah setiap individu dari tindakan yang merusak hutan.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Oleh: Syahroni, SEAktivis Pekerja Islam Ideologis