Type Here to Get Search Results !

AI MASUK KURIKULUM: TEROBOSAN PENDIDIKAN ATAU ANCAMAN BARU DARI SISTEM SEKULER?


Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, baru saja mengumumkan langkah besar: mulai tahun ajaran baru, mata pelajaran Artificial Intelligence (AI) akan masuk dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. “Beberapa hari lalu kita ratas dengan Pak Menteri Pendidikan juga. Nanti di tahun ajaran baru kita mulai memasukkan kurikulum AI, pelajaran AI di SD, SMP, SMA, SMK juga,” ujar Gibran di kampus Binus University (2/5/2025), seperti dikutip dari YouTube Kompas TV.

Bagi sebagian orang, ini terdengar progresif—Indonesia dianggap mulai berpacu dengan zaman, tak mau tertinggal dari negara-negara maju dalam bidang teknologi. Tapi jika kita amati lebih dalam, benarkah ini sebuah lompatan kemajuan? Atau justru kita sedang berlari menuju jurang yang lebih dalam karena menanggalkan arah dan nilai?


Ilmu Tanpa Kendali: Bahaya di Balik Semangat Inovasi

Dalam sistem kapitalisme sekuler yang hari ini mencengkeram dunia pendidikan, AI tidak lebih dari sekadar alat—alat untuk mempercepat produksi, memaksimalkan keuntungan, atau memperkuat kendali kekuasaan. Ilmu dipisahkan dari agama. Tak ada lagi pertanyaan: halal atau haram, membawa pahala atau dosa. Yang ada hanyalah: apakah ini efisien, menguntungkan, dan bisa dijual?

Begitulah wajah pendidikan sekuler: memuja ilmu pengetahuan tanpa ruh, tanpa nilai ilahiyah. Maka tak heran jika AI, sebagaimana teknologi lainnya, sering digunakan bukan untuk menyejahterakan manusia, tetapi malah memperdalam krisis moral, menambah kesenjangan sosial, dan memperkuat dominasi segelintir elite atas mayoritas umat manusia.


Bukti Sudah Ada: AI di Era Sekuler, Siapa yang Diuntungkan?

Kita tak perlu menebak-nebak. Cukup lihat bagaimana AI sudah digunakan saat ini. Media sosial yang digerakkan algoritma AI menciptakan dunia maya penuh polarisasi, hoaks, dan adiksi. Remaja kehilangan arah, identitas, bahkan kesehatan mentalnya terganggu karena terjebak dalam algoritma yang mengeruk perhatian dan data mereka demi keuntungan para raksasa digital.

Belum lagi eksploitasi ekonomi digital—rakyat diminta “melek teknologi” dan “berinovasi”, tapi platformnya dimiliki asing, datanya dikendalikan korporasi global, dan keuntungannya mengalir ke luar negeri.

Apakah ini kemajuan? Atau bentuk baru penjajahan gaya digital?


Islam Punya Jawaban: Ilmu Berakidah, Teknologi Bermoral

Islam tidak anti teknologi. AI bukan barang haram. Namun Islam menolak ilmu yang bebas nilai dan tak tunduk pada syariat. Dalam peradaban Islam, ilmu dikembangkan bukan demi prestise atau profit, tapi untuk ibadah kepada Allah dan memakmurkan bumi sesuai hukum-Nya.

Kurikulum Islam tidak akan mengajarkan AI dalam ruang kosong nilai. Sebaliknya, Islam akan menjadikan akidah sebagai asas setiap ilmu. Anak didik bukan hanya diajarkan cara membuat program canggih, tapi juga diajarkan kapan boleh dan tak boleh menggunakan AI, siapa yang boleh mengakses, serta bagaimana AI itu diarahkan untuk kemaslahatan umat, bukan kerusakan dunia.


Saatnya Kita Bertanya: Untuk Siapa Kurikulum Ini?

Kebijakan ini harus dikritisi. Sebab menambahkan pelajaran AI tanpa mengganti arah pendidikan sama saja seperti menaruh bom di tangan anak-anak tanpa mengajarkan mana tombol aman dan mana tombol ledak.

Apa gunanya menguasai AI jika digunakan untuk memperkuat hegemoni budaya barat? Apa gunanya teknologi jika hanya mempercepat alienasi manusia dari nilai-nilai ilahiyah?

Solusi bukan sekadar kurikulum baru. Kita butuh sistem baru. Sistem pendidikan Islam yang berpijak pada akidah, mengintegrasikan seluruh ilmu dengan syariat, dan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama.


Penutup: AI Harus Diatur oleh Wahyu, Bukan Nafsu

Mari sadari satu hal penting: masalah kita hari ini bukan minimnya teknologi, tapi minimnya arah. Bukan kurang canggih, tapi kehilangan nilai. Maka, bukan AI yang jadi masalah—tetapi sistem sekuler yang menanggalkan wahyu sebagai penuntun ilmu.

Sudah saatnya umat Islam memperjuangkan sistem pendidikan yang berlandaskan Islam secara kaffah. Sistem yang menjadikan anak-anak kita bukan sekadar pintar, tapi juga bertakwa. Sistem yang bukan hanya melahirkan programmer hebat, tapi juga mujahid intelektual yang menjadikan AI sebagai alat dakwah dan peradaban, bukan alat penjajahan baru.

Karena dalam Islam, ilmu adalah cahaya—bukan senjata untuk membutakan, tapi pelita untuk menerangi jalan menuju ridha Allah ﷻ.

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”

Darul Iaz

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.