Type Here to Get Search Results !

PENUKARAN UANG UNTUK LEBARAN DENGAN NILAI YANG TIDAK SAMA ADALAH RIBA


Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Pertanyaan :
Menjelang Idul Fitri, biasanya banyak orang di pinggir jalan membuka jasa penukaran uang dengan uang receh baru, namun nilainya bervariasi. Contoh: Rp 100.000 ditukarkan dengan uang koin Rp 1.000 dengan nominal hasil penukaran Rp 95.000 bukan Rp. 100.000. Atau uang kertas Rp 100.000 ditukar dengan uang pecahan Rp 5.000 namun harganya menjadi Rp 105.000 dengan selisih sebesar Rp 5.000. Apakah transaksi yang seperti itu termasuk riba?

Jawaban :

Betul, menukar jenis mata uang yang sama dengan nilai yang berbeda seperti fakta di atas (misalnya rupiah dengan rupiah) termasuk riba yang haram. Ini karena pertukaran mata uang tidak memenuhi persyaratan kesetaraan.

Perhatikan bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk konversi mata uang yang serupa. Hukumnya boleh jika dua syarat itu terpenuhi. Akan tetapi, jika salah satu atau keduanya tidak dipenuhi maka hukumnya haram karena kelebihan/tambahan yang ada adalah riba. Dua syarat itu adalah :

Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam kuantitas (al-kamiyah) atau ukuran/kadar (al-miqdar).

Kedua, harus ada serah terima (at-taqabudh) di majelis akad, yakni harus kontan, tidak boleh ada penundaan pada salah satu dari apa yang dipertukarkan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal. 155; ‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).

Dalil dari ketentuan diatas bersumber dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri ra. , Rasulullah ﷺ bersabda :

الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلاً بمثل، يداً بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي فيه سواء
Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dengan sama (sama beratnya/takarannya) dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka barangsiapa menambah atau minta tambah, maka dia telah berbuat riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR. Muslim, no 1584).

Diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra., bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :

الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلاً بمثل، سواء بسواء، يداً بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم، إذا كان يداً بيد
Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR. Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248)

Dari dua hadis di atas dapat dipahami bahwa dalam penukaran barang-barang ribawi (yaitu emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam) terdapat ketentuan seperti di bawah ini.

Dari hadis Abu Said al-Khudri (hadis pertama), dapat dipahami jika barang yang ditukarkan masih satu jenis (misal emas dengan emas), syaratnya ada dua :

Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam hal beratnya (al-wazan) atau takarannya (al-kail). Hal ini didasarkan pada bunyi hadis “mitslan bi mitslin”, yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) tersebut harus dilakukan dalam jumlah atau ukuran yang sama. Jadi, diharamkan adanya tambahan atau kelebihan (at-tafadhul).

Kedua, harus ada serah terima (taqabudh) di majelis akad, yakni dilakukan secara kontan. Hal ini didasarkan pada bunyi hadis “yadan bi yadin” (dari tangan ke tangan), yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) harus dilakukan secara kontan. Jadi, diharamkan jika terjadi penundaan (al-ta`jil).

Dari hadis Ubadah bin Shamit (hadis kedua) dapat dipahami bahwa jika barang yang ditukarkan tidak satu jenis (misal emas dengan perak), maka boleh ada kelebihan atau tambahan, dan syaratnya hanya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. Ini ditunjukkan oleh lafazh hadis “idza kaana yadan biyadin” (jika hal itu dilakukan secara kontan). (‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).

Dalil-dalil di atas berlaku pula untuk penukaran mata uang (al-sharf), sebagaimana berlaku pada emas dan perak seperti terdapat dalam teks hadis. Ini bukan karena Qiyas, melainkan karena sifat yang ada pada emas dan perak, yaitu sebagai mata uang, juga terdapat pada uang (al-nuqud). (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 264)

Dengan demikian, untuk penukaran uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah, atau dolar AS dengan dolar AS), syaratnya ada dua. Yaitu pertama, harus sama nilainya. Kedua, harus dilakukan secara kontan. Sedangkan untuk penukaran uang yang tak sejenis (misal rupiah dengan dolar AS), syaratnya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal. 155; Abul A’la al-Maududi, Ar-Riba, hal. 114; Sa’id bin Ali al-Qahthani, Ar-Riba Adhraruhu wa Atsaruhu, hal. 23).

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa menukar uang kertas Rp 100.000 dengan uang ribuan koin sejumlah 95 adalah Riba. Karena nilainya berbeda. Dalam kasus ini, penjual uang menerima Rp 5.000 sebagai nilai keuntungannya, hal ini tidak diragukan lagi merupakan riba dan haram hukumnya.

Demikian juga, tidak sah menukarkan uang kertas seratus ribu ditambah lima ribu rupiah uang kertas (total senilai Rp 105.000) dengan uang ribuan koin (Rp 1.000) sejumlah 100, karena nilainya tidak sama. Dalam hal ini penjual koin juga mendapat keuntungan sebesar Rp 5.000 dan jelas-jelas merupakan riba yang haram.

Namun yang berdosa bukan hanya penjual receh, melainkan termasuk juga yang menukarkan. Karena menurut hadis, baik pemberi maupun penerima sama-sama telah melakukan transaksi riba. Perhatikanlah sabda Nabi ﷺ :

فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي فيه سواء
Barangsiapa menambah (yaitu dari pihak pemberi/pembeli) atau minta tambah (yaitu dari pihak penerima/penjual), maka ia telah melakukan riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR. Muslim, no 1584).

Dari Abdullah bin Mas’ud ra., Rasulullah ﷺ bersabda :

الربا ثلاثة وسبعون باباً أيسرها مثل أن ينكح الرجل أمه
Riba memiliki 73 macam pintu (tingkatan dosa). Dosa riba yang paling ringan adalah seperti seorang laki-laki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Beliau berkata : Ini adalah hadis shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim meski keduanya tidak meriwayatkan hadis tersebut, dan penilaian kesahihan hadis ini disetujui oleh Imam Dzahabi. Dinilai shahih pula oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, II/27).

Ingatlah bahwa riba adalah dosa besar. Na`uzhu billah mindzalik. Sabda Nabi ﷺ :

اجتنبوا السبع الموبقات قالوا: يا رسول الله، وما هن؟ قال: الشرك، والسحر، وقتل النفس التي حرّم الله إلا بالحق، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم، والتّولّي يوم الزّحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات
Jauhilah olehmu tujuh perkara yang membinasakan.” Para shahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apa itu?” Rasulullah menjawab, “Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina kepada perempuan mukmin yang baik-baik.” (HR. Bukhari no 2015, Muslim no 89)

Dari Abdullah bin Hanzhalah ra. bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :

درهم ربا يأكله الرجل وهو يعلم أشدُّ من ستٍّ وثلاثين زنية
Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, padahal dia tahu, lebih besar dosanya dari 36 kali berzina.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad, V/225. Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata,”Sanad hadis ini shahih menurut syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim)”. Lihat Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah, II/29).

Oleh karena itu, kita semua harus menghindari segala macam bentuk riba, termasuk riba dari penukaran uang maupun yang tidak bernilai uang.

Sudah saatnya bagi umat Islam untuk menghapuskan riba yang merupakan dosa besar. Karena jika hal ini tidak dilakukan, Allah ﷻ melalui Nabi-Nya memperingatkan dengan lantang bahwa suatu bangsa yang penuh dengan riba akan mendapat azab dari Allah. Sabda Rasulullah ﷺ menyebutkan :

إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلّوا بأنفسهم عذاب الله
Jika telah merajalela zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka untuk menerima azab Allah.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Dinilai shahih oleh Imam al-Hakim, dan penilaian ini disetujui oleh Imam Dzahabi).

Sampai kapan kita harus terus menderita karena azab Allah, baik dari segi kemiskinan, kelaparan, kehinaan, gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, atau azab Ilahi lainnya?

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak (manusia) kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.