Type Here to Get Search Results !

BENARKAH ALLAH YANG LEBIH KITA CINTAI?


Oleh: Widya Astuti

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah:“Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS. At-Taubah: 24).

Alhamdulillah saat ini kita sudah memasuki bulan Dzulhijjah yaitu bulan terakhir dalam kalender Hijriah. Bulan agung yang biasa kita sebut bulan haji, karena bagi yang menunaikan ibadah haji maka di tanggal 9 Dzulhijjah mereka melaksanakan wukuf di Arafah. Sedangkan yang tidak berhaji dianjurkan melakasanakan puasa sunah Arafah. Selain itu, pada tanggal 10 di bulan Dzulhijjah umat Islam memperingati hari raya Idul Adha yaitu penyembelihan hewan kurban.

Terharu diri ini membaca dan mendengar kisah orang-orang yang berjuang agar mereka bisa berkurban. Masyaallah, luar biasa. Keadaan ekonomi yang bisa dikatakan pas-pasan tak menjadi penghalang bagi mereka dalam menjalankan ketaatan. Ketaatan kepada Allah ﷻ.

Bukti cinta mereka kepada Allah, maka mereka rela mengorbankan harta yang mereka miliki. Meski melalui proses yang tidak mudah. Ada yang menabung setiap bulannya sedikit demi sedikit hingga mereka bisa berkurban. Ada juga yang rela menjual harta yang mereka punya agar mereka bisa berkurban. Kemudian ada juga yang bisa berkurban karena bantuan yang diberikan sanak saudara dan sahabat, bahkan dari orang baik yang sebelumnya tidak dikenal. Masyaallah. Rezeki Allah begitu luas.

Berkurban adalah bukti cinta dan ketaatan kita kepada Allah ﷻ. Sebagaimana seringkali dikisahkan terkait awal mula perintah berkurban yaitu kisah Nabi Ibahim As. yang diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk menyembelih anaknya yang bernama Ismail. Bisa dibayangkan, jika perintah itu tertuju kepada kita. Apakah kita rela mengurbankan anak yang kita cintai, apalagi kehadirannya itu butuh waktu yang lama? Ridakah kia melepas buah hati kita demi menjalankan perintah Allah?

Cinta dan ketaatan Nabi Ibrahim As. kepada Allah ﷻ sangat luar biasa. Beliau rida dengan apa yang diperintahkan kepadanya. Begitu juga dengan anaknya Ismail yang ikhlas karena Allah jika dirinya hendak dikurbankan.

Ya Rabb, bagaimana dengan diri ini? Diri yang masih jauh dari ketaatan. Katanya cinta kepada Allah, diajak dalam hal kebaikan malah berbagai alasan dikemukakan. Mengaku ingin taat, tapi ketika dikasih ujian malah lupa dengan azam yang sebelumnya terucap. Begitu lemahnya iman ini. Sebenarnya apa yang lebih kita cintai? Allah dan Rasul? Atau anak-anak, keluarga, harta, profesi dan jabatan, kemewahan dan kesenangan duniawi lainnya?

Profesi yang kita geluti, sudahkah kita iringi dengan ketaatan kepada Allah? Atau malah terbawa arus kesibukan yang tak kunjung usai sehingga kita lupa beribadah dan menjalankan ketaatan. Tugas demi tugas yang harus dikerjakan, laporan yang sudah mendekati deadline, penelitian, pertemuan demi pertemuan, pekerjaan rumah yang menumpuk, dan lain sebagainya. Jika Allah meminta waktu kita, maka ridakah kita meninggalkan sejenak segala aktivitas kita dan mendahulukan Allah dibandingkan kepentingan kita sendiri?

Belum lagi urusan anak-anak dan keluarga. Kerepotan dalam mengurusi keluarga sudahkah kita iringi dengan ketaatan kepada Allah? Atau malah kerepotan itu sering membuat kita lalai beribadah dan mungkin kita jadikan alasan untuk tidak mengikuti majelis ta’lim dan aktivitas bermanfaat lainnya? Jika Allah meminta waktu kita, maka ikhlaskah kita mengesampingkan sejenak urusan keluarga kita dan memilih mendahulukan Allah? Apalagi jika Allah berkehendak menjemput salah satu anggota keluarga yang kita sayangi, bisakah kita mengikhlaskannya?

Harta yang kita miliki yang senantiasa kita hitung dan mungkin kita banggakan, adakah kita pergunakan di jalan Allah? Membayar zakat, infak atau sedekah? Berbagi dengan sesama? Atau malah habis dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan digunakan untuk hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat? Jika Allah meminjam harta kita, maka ridakah kita untuk memberikannya?

Kemudian kasur empuk yang senantiasa menemani, sudahkah bisa diajak kompromi agar tak selalu merayu diri untuk rebahan berjam-jam? Mana yang banyak dihabiskan, rebahan dengan gadget dan scrool media sosial atau tilawah Al-Qur’an dan ibadah lainnya? Jika ada panggilan salat, bersediakah mengesamping gadget dan kasur empuknya sejenak, kemudian memilih memenuhi pangilan Allah terlebih dahulu?

Masalah, ya hal ini juga sering membuat kita lalai menjalankan ketaatan. Bukannya dengan adanya masalah membuat kita semakin dekat dengan Allah? Membuat diri ini semakin ingin berduaan dan curhat dengan Allah? Mendatangi Ustadz atau Ustadzah dengan tujuan meminta pendapat atau solusi terbaik? Tapi kok kebanyakan dari kita memilih untuk melakukan hal-hal yang sifatnya mubah. Seperti nongkrong sambil ketawa-ketiwi dengan teman-teman, menonton film, healing, main games dan lain sebagainya.

Astagfirullahal’aziim. Ampuni diri ini ya Allah. Ampuni kami. Tak seharusnya kami menduakan-Mu. Tak seharusnya kami melalaikan kewajiban sebagai seorang hamba yaitu menjalankan ketaatan.

Ya Rabb, Engkau yang maha pemaaf. Kami bertaubat Ya Allah. Terimalah taubat kami. Bimbinglah kami untuk senantiasa berada dijalan-Mu. Kami ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi ya rabbana. Ampuni kami.

امين يارب الامين

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.