Type Here to Get Search Results !

TINGKATAN MANUSIA


Oleh: Enny Ummu Almira

Allah menciptakan makhluk berbeda-beda, bukan hanya dalam hal tumbuhan, hewan dan manusia, tapi dari manusia itu sendiri berbeda-beda.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلِكُلٍّ دَرَجٰتٌ مِّمَّا عَمِلُوْا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِغَا فِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ
"Dan masing-masing orang ada tingkatannya, (sesuai) dengan apa yang mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan." (QS. Al-An'am 6 Ayat 132)

Yang di bahas di sini adalah khusus manusia. Manusia di ciptakan berbeda-beda, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, beda warna kulit, bentuk rambut, dan yang paling spesifik adalah beda sidik jari dan DNA.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." ( QS. Al Hujarat Ayat 13)

Untuk itulah Allah yang Maha Tau juga memberikan pasangan atau jodoh dari jenis yang sama, bukan sesama jenis kelamin tapi dari kecenderungan agar nyambung saat menjalani rumah tangga.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar Rum Ayat 21)

Namun demikian dalam Islam, Allah tidak memandang fisik, harta maupun jabatan untuk menentukan kemuliaan seseorang melainkan dari ketaqwaannya. Seandainya orang yang mulia adalah yang paling cantik, maka kasihan yang mempunyai fisik terbatas, pun jika yang mulia adalah yang paling tinggi kedudukan maka orang yang rakyat jelata tidak akan bisa mulia. Begitulah Allah Maha Adil mengukur kemuliaan dan kebahagiaan seseorang dari ketakwaannya.

Berikut adalah klasifikasinya:

Pertama, Al-Sabiqun (Golongan “Juara”)

(1) Muhsinin (Ihsan)
Dicintai Allah ﷻ sebanyak 5 (lima) kali. Ihsan lebih tinggi dari adil, yaitu melakukan kewajiban melebihi standar normal dan menuntut hak di bawah standar normal.

(2) Muttaqin (Takwa)
Dicintai Allah ﷻ sebanyak 3 (tiga) kali. Taqwa adalah menjaga diri dari hal yang menyakiti, terutama siksa, dengan meninggalkan perkara haram. Terlebih meninggalkan makruh dan sedikit perkara mubah.

(3) Muqsithin (Adil)
Dicintai Allah ﷻ sebanyak 3 (tiga) kali. Qisthun adalah keadilan yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Semisal ketika berposisi sebagai “wasit” yang mengadili dua pihak yang bertikai.


Kedua, Ashhabul-Yamin (Golongan “Lulus”)

(1) Muththahhirin (Bersuci)
Dicintai Allah ﷻ sebanyak 2 (dua) kali. Thaharah adalah bersuci secara jasmani (najis dan hadas) serta secara ruhani (meninggalkan maksiat dan melakukan amal shalih).

(2) Shabirin (Sabar)
Dicintai Allah ﷻ sebanyak 1 (satu) kali. Sabar adalah menahan diri ketika dalam keadaan terpojok (serba sulit) demi mencapai keluhuran.

(3) Mutawakkilin (Tawakkal)
Dicintai Allah ﷻ sebanyak 2 (satu) kali. Tawakkal adalah mempercayakan suatu urusan kepada Allah ﷻ.


Ketiga, Ashhabusy-Syimal (Golongan “Gagal”)

(1) Kafirin (Kafir)
Tidak dicintai Allah ﷻ sebanyak 3 (tiga) kali. Kafir adalah orang yang tertutup hatinya, sehingga perbuatannya selalu bertentangan dengan nilai-nilai keimanan. Puncaknya adalah tidak menerima ajaran Islam sebagai agamanya. Termasuk atheis dan agnostik.

(2) Zhalimin (Zhalim)
Tidak dicintai Allah ﷻ sebanyak 3 (tiga) kali. Zhalim adalah orang yang hatinya gelap, sehingga perbuatannya selalu tidak tepat, entah serba lebih atau serba kurang; baik dalam relasi dengan Allah ﷻ (kafir, syirik, munafik); dengan sesama manusia (merampas hak orang lain); maupun dengan diri sendiri (tidak memenuhi kewajiban pribadi).

(3) Mu’tadin (Melampaui Batas)
Tidak dicintai Allah ﷻ sebanyak 3 (tiga) kali. Mu’tadin adalah sikap permusuhan (membangkang) yang ditunjukkan dengan cara melanggar aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah ﷻ.

(4) Kha’inin (Berkhianat)
Tidak dicintai Allah ﷻ sebanyak 3 (tiga) kali. Khianat adalah melanggar janji dan amanah secara diam-diam. Sepadan dengan Munafik yang merupakan pelanggaran ajaran agama secara diam-diam.

(5) Musrifin (Berlebihan)
Tidak dicintai Allah ﷻ sebanyak 2 (dua) kali. Israf adalah melewati batasan yang ditetapkan, semisal mubadzir dalam membelanjakan harta benda.

(6) Mufsidin (Merusak)
Tidak dicintai Allah ﷻ sebanyak 2 (dua) kali. Mufsidin adalah orang yang mengubah atau merusak sesuatu dari susunan aslinya (sistemnya).

(7) Mukhtal-Fakhur (Sombong-Angkuh)
Tidak dicintai Allah ﷻ sebanyak 2 (dua) kali. Mukhtal adalah membanggakan diri sendiri dan mengabaikan hak-hak orang lain; sedangkan Fakhur adalah membanggakan diri atas apa yang berada di luar dirinya, seperti jabatan dan harta.

(8) Mustakbirin (Sombong)
Tidak dicintai Allah ﷻ sebanyak 1 (satu) kali. Takabbur adalah sikap merasa “besar”, sehingga memandang dirinya apa yang sebenarnya tidak dimiliki. Baik disebabkan oleh kelebihan fisik, materi, ilmu, dan lain-lain.

(9) Farihin (Angkuh)
Tidak dicintai Allah ﷻ sebanyak 1 (satu) kali. Farihin adalah berlebihan dalam mengekspresikan kenikmatan duniawi yang diperolehnya, sehingga berpotensi membuat orang lain tidak rela.

Sedangkan dari analisis terhadap ayat-ayat lain yang tidak memuat terma “Allah Mencintai” (Allahu Yuhibbu) dan “Allah Tidak Mencintai” (Allahu la Yuhibbu), dapat diperoleh simpulan berikut:


Pertama, Al-Sabiqun (Golongan “Juara”) dan atau Ashhabul-Yamin (Golongan “Lulus”)

(1) Mukhbitin (Tunduk)
Orang yang hatinya sudah lunak, sehingga menampilkan sikap hidup rendah hati (tawadhu’).

(2) Syakirin (Syukur)
Orang yang mengekspresikan rasa terima kasih atas kenikmatan yang diperoleh melalui hati, lisan dan perbuatan; terutama dengan tidak “menyakiti” Dzat yang telah memberinya nikmat.

(3) Abrar (Baik Sosial)
Orang yang melakukan amal-amal shalih yang bernuansa kebaikan-sosial, semisal bersedekah.

(4) Khasyi’in (Khusyu’)
Khusyu’ adalah ekspresi jasmani yang mencerminkan rasa rendah diri kepada Allah ﷻ (tadharru’). Khusyu’ berdimensi fisik, Tadharru’ berdimensi hati.

(5) Mu’minin (Iman)
Orang yang sudah menjadi “pelaku” amalan Islami secara istiqamah, dikarenakan kemantapan iman.

(6) Muslimin (Islam)
Orang yang masih “melakukan” amalan Islami kurang istiqamah, dikarenakan belum mantapnya iman.

(7) Tawwabin (Taubat)
Orang yang memohon ampunan atas dosa atau kesalahan yang dilakukan. Ibarat orang yang mandi setelah terkena noda.

(8) Awwabin (Inabah)
Orang yang memohon ampunan atas dosa atau kesalahan yang “belum” dilakukan. Ibarat orang yang mandi meskipun belum terkena noda.

(9) Ahli Kitab (Yahudi-Nasrani “Beriman”)
Orang yang meyakini ajaran Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS berdasarkan Taurat dan Injil yang masih “belum” terdistorsi.


Kedua, Ashhabusy-Syimal (Golongan “Gagal”)

(1) Musyrikin (Syirik)
Orang yang menyekutukan Allah ﷻ. Biasanya mengacu pada golongan non-muslim yang menganut paham politeisme, animisme-dinamisme, dan lain-lain.

(2) Munafiqin (Munafik)
Bagaikan orang yang berdiri dengan satu kaki di dalam rumah (Islam) dan satu kaki di luar rumah (Islam), sehingga sikapnya cenderung oportunis (mencari untung). Agama hanya dijadikan sebagai alat untuk kepentingan atau kemanfaatan pribadi maupun kelompok.

(3) Fasiqin (Fasik)
Bagaikan “kulit buah yang dikelupas”. Dia termasuk buah (Islam), namun bukan bagian dari buah tersebut (Islam) ketika dikonsumsi. Mengaku Islam, namun enggan mengerjakan rukun Islam (“Islam KTP”).

(4) Mukadzdzibin (Dusta)
Bisa bermakna orang yang berdusta; bisa pula bermakna orang yang mendustakan, yakni tidak mempercayai ajaran agama Islam.

(5) Ahli Kitab (Yahudi-Nasrani “Kafir”)
Orang yang meyakini ajaran Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS berdasarkan Taurat dan Injil yang “sudah” terdistorsi.

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.