Type Here to Get Search Results !

MENAHAN DIRI DARI NAFSU BERKUASA?


Oleh: Yuyun Rumiwati

Manusia secara fitrah Allah ﷻ berikan potensi gharizatul baqo' (naluri eksistensi diri). Salah satu penampakan dari naluri ini diantaranya, keinginan untuk berkuasa, cinta harta, suka diakui dan sebagainya.

Adanya potensi naluri ini, bukan berarti manusia bebas menuruti keinginan atau hawa nafsunya. Allah telah menurunkan risalah Islam untuk mengatur pemenuhan naluri ini.

Salah satu sifat naluri ini adalah semakin tersulut untuk dipenuhi saat ada rangsangan untuk memenuhinya. Salah satu contoh saat manusia di kelilingi teman-teman yang rakus harta dan kuasa, maka keinginan untuk tersulut seperti itu juga meningkat.

Padahal sifat dari naluri ini tidak harus dipenuhi. Tentu beda dengan kebutuhan jasmani semisal makan, minum, buang air besar kecil dan lainnya dorongannya dari dalam. Maka pemenuhannya pun urgen, pada titik tertentu jika tidak dipenuhi akan menyebabkan kerusakan pada manusia. Bayangkan saat manusia menahan diri dari dari makan minum selam 2 bulan berturut-turut bisa lemes, dehidrasi dan lainnya.

Tentu berbeda dengan dorongan naluri untuk berkuasa dan cinta jabatan manusia bisa menahan diri dari nafsu ini. Bahkan Allah ﷻ berfirman

وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوٰىۙ
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, (QS. An-Nazi'at: 40).

Rasa takut pada Allah ﷻ dan kesadaran iman bahwa semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat bisa menjadi pengendali diri manusia dari ambisi dunia yang terlalu tinggi.

Kondisi ini akan sulit dilakukan, terlebih saat dunia yang berkuasa adalah sistem kapitalisme sekularisme. Sistem yang memfokuskan standar kebahagian dengan pencapaian materi. Maka tidak heran jika banyak manusia melakukan segala cara untuk memuaskan keinginan nafsunya.

Maka tidak heran saat kita lihat wacana pengunduran pemilu, presiden tiga periode. Subtansi dari semua apa? Tidak bisa dipungkiri untuk memperpanjang kekuasaan dan jabatan. Meski ada alasan karena pandemi. Padahal alasan ini tidak bisa diterima oleh akal mengingat pilkada pun banyak dilakukan di masa pandemi di tengah situasi sulit.

Belum lagi, baru-baru ini ritual yang dilakukan di titik nol, tempat akan dibangunnya ibukota baru. Dengan alasan untuk mempersatukan seluruh negeri ini, di bawalah tanah dari tiap daerah di Indonesia.

Tentu hal di atas sulit dinalar secara sehat. Namun, apapun bisa dilakukan oleh manusia di sistem demokrasi sekulerisme untuk memenuhi keinginannya.

Maka berangkat dari fakta di atas, untuk mengembalikan pada martabat manusia yang tinggi, tidak ada cara lain selain memahamkan apa arti hidup itu sendiri. Ternyata ada tujuan Allah ﷻ menciptakan manusia dengan peranannya sebagai Abdullah (hamba Allah) dan khalifatul ard (pengelola bumi) tentu harus taat dengan cara dan aturan Allah ﷻ. Bukan dibiarkan bebas semamu manusia yang serba terbatas.

Maka Islam yang sempurna hadir dengan seperangkat aturan, salah satunya memandang bahwa kekuasaan dan jabatan adalah amanah. Amanah yang harus diemban sesuai aturan Allah ﷻ (syariat). Jika diabaikan akan berdampak pada kesempitan hidup manusia di dunia pun kesusahan di akhirat.

Maka kekuasaan yang membawa keberkahan dan keselamatannya adalah kekuasaan yang diatur dalam satu sistem yang dicontohkan Nabi. Sistem yang menerapkan aturan Allah ﷻ secara kaffah dengan istilah Khilafah Islamiyah.

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.