Type Here to Get Search Results !

DUNIA MENYILAUKAN


Oleh: Muslihah

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

بسم الله الرحمن الرحيم
اِقْتَرَبَ لِلنَّا سِ حِسَا بُهُمْ وَهُمْ فِيْ غَفْلَةٍ مُّعْرِضُوْنَ
"Telah semakin dekat kepada manusia perhitungan amal mereka, sedang mereka dalam keadaan lalai (dengan dunia), berpaling (dari akhirat)."(QS. Al-Anbiya 21: Ayat 1)

Tidak sedikit manusia yang berpaling dari nikmat akhirat karena terlena dengan dunia. Berbagai sebab menjadikan mereka demikian. Ada yang memang tidak ada maklumat yang sampai ke mereka, dengan kata lain akibat kebodohan. Ada yang dengan sengaja lebih memilih kesenangan duniawi.

Orang yang terjerumus karena kebodohan mereka, contohnya adalah orang yang sejak kecil tidak menerima informasi bahwa dalam agama (Islam) yang mereka anut, juga mengatur muamalah, jual beli, sewa menyewa, pegadaian, utang piutang dan lain-lain. Sejak kecil mereka sekolah di negeri, SD Negeri, SMP Negeri, SMA Negeri, kuliah pun di universitas negeri.

Orang tua tidak mengajarkan tentang agama, hanya menomorsatukan akademisi anak, tidak ada upaya agar anak-anak mereka memahami hukum agama. Dalam benak orang tua jika anak sukses dalam sekolah ia akan sukses dalam bekerja dan sukses pula dalam bermasyarakat. Ibarat kata semakin tinggi pendidikan akan semakin sukses dalam meraih kekayaan dan jabatan. Semakin kaya dan semakin tinggi jabatan maka akan semakin mendapat penghormatan masyarakat. Memang begitulah fakta yang terjadi pada umumnya di masa kini.

Sayangnya ada juga mereka yang sejak kecil di sekolahkan di madrasah, dengan harapan anak akan menjadi orang sholih di masa depan, saat mereka menikah, bergaul dengan pasangan yang kadang tidak sabar dengan kesulitan dan perjuangan. Di sisi lain harus berpisah dengan orang tua dan memutuskan sendiri solusi dalam menghadapi problematika hidup, serta tuntutan (pengaruh) masyarakat di sekelilingnya, menjadikan ia lebih memilih sengaja melanggar aturan agama.

Ini mengingatkan aku kepada seorang teman yang lahir dari keluarga terhormat dan disegani. Kakeknya seorang tuan tanah dan satu-satunya orang yang bergelar haji di desa saat itu. Ia tumbuh dalam keluarga yang taat apalagi rumahnya tidak jauh dari masjid. Ayah, ibu, kakek dan neneknya rajin shalat jamaah di masjid. Di hadapannya teladan ketaatan dalam beribadah makhdah. Ia juga belajar mengaji di pesantren yang ada di desa, saat sore hari.

Sayangnya saat mengarungi bahtera pernikahan dan harus hidup mandiri, ia tidak sabar dalam mengelola rizki (uang) yang diperoleh sang suami. Ia memilih menggadaikan rumah ke bank, demi mendapat modal besar untuk usaha. Ia membuka toko di depan rumahnya. Kebetulan rumah menghadap jalan raya, sangat strategis untuk usaha. Maka sejak itu hingga sang anak dewasa tidak pernah lepas dari hutang bank (riba). Nauzubillah.

Lebih parah lagi saat diingatkan ia seperti sudah tidak mampu lagi keluar dari lumpur hisap dunia ribawi. Ya, tentu saja. Jika saja ia sabar dalam menerima rezeki yang Allah ﷻ beri (qanaah), tentu sejak awal ia tidak akan mengambil hutang riba. Tapi ia sengaja mengambilnya dengan pertimbangan bahwa tidak ada saudara atau kerabat yang peduli, apakah ia kesulitan ekonomi atau bahkan tidak mampu makan menghidupi anak-anaknya.

Di sisi lain, ia melihat saudara dan kerabat yang sudah sukses ekonominya, memiliki rumah dan mobil bagus. Jadilah ia memutuskan mengambil hutang bank, dengan harapan nanti jika sudah sukses berhenti dari jerat riba.

Semua itu tidak lepas dari sistem kapitalis saat ini. Dari hulu sampai ke hilir umat disodori kemilau indah duniawi tanpa rem akidah sama sekali. Umat ditunjukkan bahwa dengan sistem kapitalis akan memudahkan hidup berekonomi, mudah ambil pinjaman, mengembalikan pun mudah dengan bunga ringan sesuai kemampuan ekonomi. Begitu pula dengan mengambil utang mobil atau kendaraan. Setiap kebutuhan (baca: keinginan) akan dengan mudah dipenuhi dengan jalan utang dan kredit.

Sementara dalam Islam seseorang boleh melakukan utang dengan beberapa syarat, yaitu dipastikan mampu membayar dan tanpa selisih antara jumlah utang dan bayarnya. Jika salah satu dari syarat itu tidak terpenuhi, maka sebaiknya seseorang tidak berutang.

Lalu bagaimana menutupi kebutuhan hidupnya? Dalam Islam antara kebutuhan dan keinginan jelas beda. Setiap kebutuhan manusia pasti dapat terpenuhi, meski mungkin harus dengan bersusah payah dan membutuhkan kesabaran. Sayangnya di masa kini banyak orang yang tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Hal itu menjadikan ia terjerumus ke dalam muamalah yang tidak sesuai dengan syariat Islam.

Semoga umat semakin tercerahkan bahwa syariat Islam pasti membawa kebahagiaan dan ketentraman.

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.