Type Here to Get Search Results !

KEPEMIMPINAN DIKTATOR

Salah satu peristiwa penting di Tanah Air yang cukup banyak menyita perhatian adalah pembahasan Omnibus Law. Omnibus Law adalah semacam UU ‘sapujagat’. Pasalnya, Omnibus Law menggabungkan beberapa peraturan yang substansi pengaturannya berbeda menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum (UU). Pemerintahan Presiden Jokowi mengidentifikasi sedikitnya ada 74 UU yang terdampak dari Omnibus Law. Salah satunya, yang paling banyak memicu protes kaum buruh, adalah sektor ketenagakerjaan, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Di sektor ketenagakerjaan, Pemerintah berencana menghapus, mengubah dan menambah pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan (money.kompas.com, 18/02/2020).

Yang menjadi soal, banyak pengamat mensinyalir Omnibus Law tak lebih merupakan UU ‘pesanan’ dari para pengusaha atau para pemilik modal. Faktanya, Omnibus Law ini, oleh banyak pengamat, disinyalir banyak memberikan kemudahan kepada para pengusaha dan pemilik modal untuk lebih leluasa menguasai sumber-sumber kekayaan alam negeri ini. Sebaliknya, Omnibus Law ini tidak banyak berpihak kepada kesejahteraan rakyat, termasuk para buruh. Misal, dengan dalih demi kemudahan investasi, ditengarai ada pasal-pasal dalam Omnibus Law yang menghapus sertifikasi halal dan perda syariah, penghapusan upah minimum, penghapusan aneka cuti (seperti cuti nikah, haid, melahirkan, ibadah dan cuti keluarga wafat), penghapusan izin lingkungan dan amdal, dll.

Lebih dari itu, Omnibus Law ini dituding memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada Presiden. Di antaranya, Presiden berwenang mengubah UU hanya melalui PP (Peraturan Pemerintah). Setelah ketahuan oleh publik, pasal tentang kewenangan Presiden tersebut diklaim hanya ‘salah ketik’. Namun demikian, hal itu tidak menutupi kecurigaan bahwa melalui Omnibus Law ini ke depan Presiden akan makin otoriter. Apalagi pembahasan Omnibus Law yang menentukan nasib ratusan juta rakyat negeri ini terkesan diam-diam dan dirahasiakan oleh Pemerintah. Tidak melibatkan publik sama sekali.


Indonesia Dikuasai Cukong?


Jika benar tudingan bahwa Omnibus Law merupakan ‘pesanan’ para pengusaha dan pemilik modal, maka hal demikian hanya membenarkan pengakuan Ketua MPR-RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), baru-baru ini. Intinya dia menyebut bahwa Indonesia sudah lama dikuasai oleh para pemilik modal (cukong, red.). Ia menyebut pemodal cukup merogoh ongkos Rp 1 Triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia. Menurut Bamsoet, nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik di Indonesia.

“Semahal-mahalnya Rp 1 Triliun sudah bisa menguasai partai politik. Ini pengalaman. Boleh dibantah atau tidak, tapi inilah kenyataan sistem yang masih dipertahankan,” ungkapnya, Senin (17/2) di Jakarta.

Ia pun menerangkan perselingkuhan penguasa dengan pemilik modal bisa saja mewakili kepentingan asing. Bahkan yang lebih parah, pemilik modal melalui orang-orangnya bisa mempengaruhi kebijakan partai politik.

“Jika partai politik dikuasai maka dia akan menguasai Parlemen. Jika dia kuasai Parlemen maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumberdaya alam kita. Dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur dan walikota, karena sistem yang kita punya,” tambahnya.

Menurut Bamsoet pula, perselingkuhan penguasa dengan pemilik modal dan kepentingan asing membuat distribusi keadilan sosial maupun ekonomi menjadi jomplang. Akibatnya, hanya segelintir orang yang menikmati kue pembangunan, sedangkan yang lain terpinggirkan (Mediaindonesia.com, 17/02/2020).

Dalam bahasa yang lebih lugas, Bamsoet seolah ingin mengatakan parpol dan para pejabat kita sesungguhnya tidak lebih hanya sekadar proxy, boneka dari para pemilik modal. Mereka adalah orang-orang yang dimodali untuk menjalankan agenda kepentingan para pemilik modal. Urusannya tidak jauh-jauh dari penguasaan sumberdaya alam dan ekonomi melalui politik kekuasaan. Salah satunya melalui pembuatan Omnibus Law. Wajar jika Omnibus Law lebih banyak berpihak kepada para pemilik modal ketimbang pada kepentingan rakyat banyak.


Diktator Minoritas


Dari paparan singkat di atas, jelas bahwa sistem demokrasi selama ini hanya melahirkan oligarkhi serta perselingkuhan penguasa dan pengusaha (para pemilik modal). Dampaknya, demokrasi sesungguhnya hanya melahirkan diktator minoritas. Mereka adalah sekelompok kecil penguasa dan para pemilik modal tersebut. Merekalah sejatinya yang memaksakan pemberlakuan UU dan kebijakan semata-mata untuk memenuhi ambisi dan kepengtingan mereka. Bukan demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Jauh sebelum Omnibus Law digagas, sudah banyak UU yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR yang merugikan rakyat banyak serta hanya menguntungkan segelintir penguasa dan pemilik modal. Sebut, misalnya, UU Migas, UU Minerba, UU SDA, UU Penanaman Modal, dll. Melalui UU semacam inilah, para pemilik modal swasta dan asing bisa leluasa menguasai kekayaan alam negeri ini yang notabene milik rakyat, seperti minyak bumi, gas, emas, perak, hutan, lahan perkebunan, dll.


Isyarat Nabi saw.


Tentang kepemimpinan diktator, Nabi Muhammad saw. telah bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
Masa Kenabian ada di tengah-tengah kalian. Masa itu akan tetap ada selama Allah berkehendak. Kemudian Allah mengangkat masa itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada masa Khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah. Masa itu akan tetap ada selama Allah berkehendak. Kemudian Allah mengangkat masa itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada masa kekuasaan ‘yang menggigit’. Masa itu akan tetap ada selama Allah berkehendak. Kemudian Allah mengangkat masa itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada masa kekuasaan (diktator). Masa itu akan tetap ada selama Allah berkehendak. Kemudian Allah mengangkat masa itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Lalu akan ada lagi masa Khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah.” Kemudian Nabi saw. diam (HR Ahmad).

Berkaitan dengan kepemimpinan diktator (al-mulk al-jabri) dalam hadis di atas, Syaikh Hisam al-Badrani menjelaskan bahwa kepemimpinan diktator (al-mulk al-jabri) bermakna kepemimpinan yang menegakkan hukum-hukum kufur di negeri-negeri kaum Muslim. Ini jelas sekali didasarkan pada dalalah (pengertian) nas-nas syariah mengenai definisi al-mulk al-jabri (Al-Badrani, An-Nizham as-Siyasi Ba’da Hadm al-Khilafah, hlm. 38).

Banyak Hadis Nabi saw. yang menjelaskan ciri-ciri/sifat-sifat dari kepemimpinan diktator ini. Di antaranya:

Pertama, tidak mempunyai kapabilitas untuk memimpin masyarakat banyak. Pemimpin seperti ini oleh Nabi saw. disebut dengan ruwaybidhah. Kepemimpinan ruwaybidhah ini sangatlah berbahaya dan sangat destruktif bagi umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Pemimpin seperti ini dapat menjungkirbalikkan segala nilai dan tatanan: orang jujur dikatakan pembohong, pembohong dikatakan orang jujur; pengkhianat dipercaya, orang yang bisa dipercaya malah dianggap pengkhianat (HR Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, hadis nomor 4036).

Kedua, tidak mengikuti petunjuk dan Sunnah Rasulullah saw. Faktanya, pada zaman modern ini, yang dijalankan oleh pemimpin diktator bukanlah syariah Islam (Sunnah Rasulullah saw.), melainkan sistem demokrasi-sekular yang berasal dari kaum kafir Barat (Yahudi dan Nasrani). Kepemimpinan seperti ini disebut oleh Nabi saw. dengan istilah imarah as-sufaha’ (kepemimpinan orang-orang bodoh). Siapa saja yang mengikuti kepemimpinan orang-orang bodoh ini, kelak di Akhirat tidak akan diakui Nabi saw. sebagai umatnya dan tidak akan dibolehkan menjumpai beliau di telaganya (HR Ahmad, Al-Musnad, 3/111, hadis nomor 14.481).

Ketiga, bertindak kejam dan biadab, bahkan tidak segan membunuh rakyatnya sendiri jika mereka tidak mau tunduk kepada dirinya. Pemimpin seperti ini, dalam sebagian atsar dari para Sahabat, disebut dengan imarah ash-shibyaan (kepemimpinan kanak-kanak), yakni kepemimpinan dari orang-orang yang belum sempurna akalnya sebagaimana halnya anak-anak (HR Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, hadis nomor 37546).


Menyikapi Kepemimpin Diktator


Bagaimana menyikapi kepemimpin diktator (al-mulk al-jabri) yang mencengkeram dan menindas umat? Sikap yang tepat di antaranya: Pertama, menjauhkan diri dari mereka (HR Muslim, hadis nomor 1847).

Kedua, tidak mendengar dan mentaati mereka. Nabi saw. bersabda:

عَلَى اْلمرْءِ المسْلِمِ السَّمْعُ وَ الطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَ كَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرُ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلاَ سَمِعَ وَ لاَ طَاعَةَ
Orang Muslim wajib mendengar (pemimpin) dalam hal apa saja yang dia senangi dan dia benci, kecuali kalau dia diperintah untuk berbuat maksiat. Jika dia diperintah untuk berbuat maksiat, maka pemimpin tersebut tidak boleh didengar dan ditaati (HR Muslim).

Ketiga, tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka (HR Ahmad, Al-Musnad, 3/111, hadis nomor 14.481).

Keempat, melakukan muhasabah (kontrol dan koreksi) serta amar makruf nahi mungkar terhadap mereka. Sesuai sabda Nabi saw., inilah ‘jihad’ yang paling utama (HR Abu Dawud, hadis nomor 3781; Ibnu Majah, hadis nomor 4001).

Kelima, berdoa kepada Allah SWT agar selamat dari kepemimpinan mereka yang zalim dan kejam, sebagaimana doa Nabi saw. kepada Kaab bin ‘Ujrah dalam hadis tentang imarah as-sufaha’ di atas (HR Ahmad).


Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Tidak ada ketaan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (HR Ahmad).

Kaffah - Edisi 130

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.