Type Here to Get Search Results !

TETAPLAH ISTIQAMAH, JANGAN MUDAH GOYAH

Tetap istiqamah dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan memang tidak mudah. Apalagi dalam ketaatan kepada Allah SWT dan dalam perjuangan menegakkan syariah-Nya.

Ejekan. Tekanan. Hingga berbagai ancaman. Baik psikis (seperti teror) maupun fisik (penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan, dsb). Semua itu sering membuat banyak orang tak selalu bisa istiqamah. Mereka bisa goyah. Lalu menyerah. Kalah. Bahkan banyak yang akhirnya berbalik arah.

Demikian pula sebaliknya. Bisikan hawa nafsu. Godaan setan. Pengaruh lingkungan yang buruk. Tawaran kekuasaan dan jabatan. Pujian, sanjungan, rayuan dan berbagai jebakan. Semua itu pun sering membuat banyak orang tak bisa senantiasa istiqamah. Mereka bisa goyah. Lalu menyerah. Hingga akhirnya menjadi pecundang. Itulah realitas yang terjadi dalam politik demokrasi sekular saat ini, yang jauh dari norma dan aturan Islam.

Lihatlah para elit politik kita. Hari ini bicara A. Besok bicara B. Isuk dele sore tempe (pagi kedelai sore tempe). Demikian kata orang Jawa. Tidak aneh jika kemudian ada yang hari ini menjelek-jelekkan tokoh A. Esoknya sudah memuji-muji yang bersangkutan. Hari ini berseberangan. Esoknya sudah saling bergandengan tangan.

Siapapun bisa menilai. Semua itu bukan berangkat dari sebuah ketulusan, tetapi semata-mata karena kepentingan. Mereka hakikatnya sedang mempraktikkan adagium politik sekular yang kotor, ”Tidak ada kawan atau musuh abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi.”

Demi kepentingan kekuasaan, apapun dilakukan. Tak ada lagi rasa malu dan sungkan. Tak ada lagi rasa bersalah dan takut dosa. Halal-haram tak lagi menjadi ukuran. Syariah tak lagi dipandang relevan.

Demikianlah kalau manusia sudah diharu-biru hawa nafsu. Diperdaya harta. Diperbudak syahwat kekuasaan. Semua itu berpangkal pada kecintaan manusia terhadap dunia. Padahal sabda Nabi saw., “Andai dunia ini sebanding harganya dengan sayap seekor lalat saja, niscaya Allah SWT tidak akan membiarkan seorang kafir pun untuk meminum air dari dunia ini barang seteguk pun.” (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah).

Para elit politik, termasuk para tokoh Islam, seolah tidak pernah belajar meneladani generasi salafush-shalih yang tak pernah silau oleh gemerlap dunia, harta dan kekuasaan. Jangankan bermimpi untuk menjadi penguasa atau bernafsu mengejar kekuasaan. Bahkan ditawari jabatan pun sering tak mereka hiraukan.

Semua itu mereka lakukan bukan karena kekuasaan itu haram, tetapi semata-mata karena mereka khawatir akan Hari Pertanggungjawaban. Mereka sangat memahami sabda Nabi saw. kepada Abu Dzar ra. yang pernah meminta amanah jabatan/kekuasaan. Saat itu Nabi saw. menolak sambil memberi nasihat, “Jabatan/kekuasaan itu adalah amanah serta bisa menjadi kerugian dan penyesalan pada Hari Kiamat, kecuali bagi orang yang mengambil amanah kekuasaan itu dengan benar dan menunaikan kewajibannya di dalamnya.” (HR Muslim).

Karena tak pernah berambisi atas kekuasaan, tidak aneh jika generasi salafush-shalih adalah generasi yang tak pernah plin-plan. Mereka selalu istiqamah. Apalagi dalam menyatakan kebenaran. Sebabnya, mereka memang tak pernah terbebani oleh kekhawatiran akan risiko hilang kesempatan meraih jabatan atau kekuasaan.


Wajib Istiqamah


Istiqâmah adalah mashdar dari istaqâma yastaqîmu istiqâmah. Secara bahasa artinya adalah itidâl (lurus). Istiqamah adalah lawan dari iwijâj (bengkok).

Imam an-Nawawi di dalam Riyâdh ash-Shâlihîn mengatakan, “Para ulama berkata, istiqamah adalah luzûm ath-thâah (konsisten dalam ketaatan).

Di dalam Hasyiyah as-Sindi alâ Sunan Ibn Mâjah disebutkan bahwa istiqamah adalah mengikuti kebenaran dan menegakkan keadilan serta menetapi manhaj yang lurus. Tentu dengan melaksanakan semua yang Allah SWT perintahkan dan menjauhi semua yang Dia larang.

Karena itu istiqamah hukumnya wajib. Allah SWT berfirman:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
Karena itu beristiqamahlah sebagaimana kamu diperintah (TQS Hud [11]: 112).

Rasul saw. pun pernah bersabda kepada Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqafi ra.:

قُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ، ثُمَّ استَقِمْ
Katakan, “Aku beriman kepada Allah.” Lalu beristiqamahlah! (HR Ahmad dan Muslim)


Agar Tetap Istiqamah


Para ulama menjelaskan, agar bisa tetap istiqamah, setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama: Beriman secara benar dan lurus. Menyatu antara keyakinan, ucapan dan tindakan (Lihat: QS Ibrahim [14]: 27). Keistiqamahan akan berbanding lurus dengan benar dan lurusnya keimanan. Karena itu paham dan keyakinan yang menyimpang dari Islam seperti materialisme (ateisme) dan sekularisme yang memisahkan keyakinan Islam dari kehidupan harus dibuang jauh-jauh. Keduanya bisa menjadi penyebab utama iman seseorang tidak benar dan tidak lurus.

Kedua: Menjaga keikhlasan semata-mata karena Allah SWT dan selalu berusaha terikat dengan syariah (QS al-Bayyinah [89]: 5). Selama seseorang beramal dan berjuang ikhlas semata-mata karena Allah SWT dan demi meraih ridha-Nya, bukan karena orientasi duniawi (seperti harta, kekuasaan, jabatan, dll), ia akan tetap bisa istiqamah. Sebabnya, setan tidak akan bisa menggoda hamba-Nya yang ikhlas (QS al-Hijr [15: 39-40)

Ketiga: Mengkaji, menghayati dan mengamalkan seluruh isi al-Quran (Lihat: QS an-Nahl [16]: 102; QS al-Furqan [25]: 32). Sebabnya, seseorang tidak mungkin berlaku lurus tanpa memahami dan mengamalkan isi al-Quran.

Keempat: Teman dan lingkungan yang salih. Allah SWT menyatakan dalam al-Quran bahwa salah satu sebab utama yang menguatkan para Sahabat adalah keberadaan Rasulullah saw. di tengah-tengah mereka. Allah SWT juga memerintahkan agar kita selalu bersama dengan orang-orang yang baik (Lihat: QS at-Taubah [9]: 119). Di sinilah pentingnya berjamaah. Para ulama memperingatkan bahwa setan lebih mudah memperdaya orang yang sendirian dan jauh dari orang yang berjamaah.

Kelima: Mengkaji dan menghayati kisah-kisah orang shalih terdahulu sehingga bisa dijadikan teladan dalam beristiqamah. Dalam al-Quran banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul dan orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah saw. dan kaum Mukmin (Lihat: QS Hud [11]: 11).

Contohnya kita bisa mengambil kisah tentang sikap istiqamah Nabi Ibrahim as. saat dibakar oleh para penentangnya (QS al-Anbiya’ [21]: 68-70). Ibnu ‘Abbas ra. berkata, “Akhir perkataan Ibrahim as. ketika dilemparkan ke dalam kobaran api adalah, ‘HasbiyalLâhu wa ni’ma al-Wakîl (Cukuplah Allah sebagai Penolong dan sebaik-baik Tempat bersandar).’” (HR al-Bukhari). Akhirnya, Ibrahim as. pun selamat.

Oleh karena itu, para salafush-shalih sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah orang shalih terdahulu untuk diambil sebagai teladan. Basyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan, “Betapa banyak orang-orang shalih yang telah wafat membuat hati menjadi hidup saat mengingat mereka.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, II /333).

Keenam: Memperbanyak doa kepada Allah SWT agar diberi keistiqamahan. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdoa kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian (Lihat: QS Ali ‘Imran [3]: 146-148; QS al-Baqarah [2]: 250; QS Ali Imran [3]: 8). Doa yang paling sering Nabi saw. panjatkan adalah, “Ya Muqallib al-qulûb, tsabbit qalbî ‘alâ dînik (Duhai Zat Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).” (HR at-Tirmidzi).

Imam Hasan al-Bashri juga mengajari kita untuk banyak memohon keistiqamahan kepada Allah SWT dengan doa, “AlLâhumma Anta Rabbunâ, farzuqnâ al-istiqâmah (Ya Allah, Engkau adalah Tuhan kami, berilah kami keistiqamahan).” (Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, hlm. 245).


Istiqamah dalam Perjuangan Dakwah


Para pengemban dakwah tentu wajib selalu istiqamah di jalan perjuangan dakwah (QS asy-Syura [42]: 15). Selain keenam perkara di atas, agar istiqamah di jalan perjuangan dakwah, para pejuang dan pengemban dakwah harus: Pertama, lurus dalam pemikiran. Caranya dengan hanya mengambil dan mengikuti pemikiran Islam seraya mencampakkan pemikiran di luar Islam. Pemikiran tentang syariah, sistem pemerintahan Islam (Khilafah), jihad dll harus diambil, diamalkan dan diperjuangkan. Sebaliknya pemikiran seperti sekularisme, demokrasi, HAM, pluralisme, liberalisme, feminisme dll mesti dicampakkan.

Kedua, lurus dalam sikap dan tindakan. Pengemban dakwah dan para pejuang Islam, misalnya, tidak boleh dipengaruhi oleh penerimaan ataupun penolakan manusia. Tidak dipengaruhi oleh panjang atau pendeknya masa perjuangan. Juga tidak dipengaruhi oleh keuntungan dan kerugian yang menimpa perjuangan dakwah. Akan tetapi, semua perkara harus selalu dihubungkan dengan surga dan neraka; dengan ridha dan murka Allah SWT.

Untuk itu pengemban dakwah dan pejuang Islam wajib selalu terikat dengan Islam. Terikat dengan ide (fikrah) dan metode (thariqah)-nya tanpa ada pemisahan. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Beliau, misalnya, menolak perjanjian dengan penguasa Quarisy yang didasarkan pada “toleransi” dengan peraturan-peraturan yang rusak. Beliau pun menolak “rekonsiliasi”dengan pihak lawan jika dengan itu harus meninggalkan permusuhan dan peperangan terhadap kebatilan.

Ketiga, lebih mencintai akhirat ketimbang dunia karena ia yakin bahwa akhirat (surga) lebih baik daripada dunia dan seisinya (QS adh-Dhuha [93]: 4).


Hikmah:

Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلاَ يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ
Tidaklah lurus keimanan seorang hamba sehingga lurus hatinya dan tidaklah lurus hatinya sehingga lurus lisannya. (HR Ahmad dan al-Baihaqi).

Kaffah - Edisi 098

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.