Type Here to Get Search Results !

Sejauh Mana Pria Boleh Memandang Wanita Yang Hendak Dia Khitbah?




Soal:

Sejauh mana pria yang hendak mengkhitbah wanita boleh melihat selain wajah dan telapak tangannya? Di satu sisi ada larangan melihat wanita secara mutlak, kecuali wajah dan telapak tangannya. Di sisi lain, ada hadis Jabir yang membolehkan melihat wanita pada selain wajah dan telapak tangan bagi yang hendak mengkhitbah dirinya. Bagaimana mengkompromikan kedua hadis ini?

Jawaban:

Mengenai larangan melihat aurat wanita secara mutlak telah dinyatakan dalam al-Quran. Allah SWT berfirman:

قُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah kepada kaum wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya; janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak pada dirinya; hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya; janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita; janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan Bertobatlah kalian kepada Allah, hai kaum beriman, supaya kalian beruntung (QS an-Nur [24]: 31).


Nabi saw. juga bersabda:



إِنَّ الْجَارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلا وَجْهُهَا وَيَدَاهَا إِلَى الْمَفْصِلِ

Sesungguhnya, jika seorang anak perempuan telah haid, tidak boleh tampak dari dirinya, melainkan wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan tangan (HR Abu Dawud).

Kedua nas syariah di atas, baik al-Quran maupun as-Sunnah, dengan tegas menyatakan larangan secara mutlak aurat wanita tampak atau terlihat oleh pria lain. Adapun apa yang boleh ditampakkan oleh wanita itu kepada pria lain, yaitu wajah dan kedua telapak tangan, tentu bukanlah aurat. Karena itu keduanya boleh tampak atau terlihat oleh pria lain.

Mengenai “tampaknya aurat” wanita yang terlihat oleh pria lain, secara umum diharamkan, kecuali bagi orang yang dikecualikan dari keharaman tersebut, yaitu pria yang hendak mengkhitbah wanita itu. Digunakan kata “tampaknya aurat”, bukan “menampakkan aurat”, karena “tampaknya aurat” wanita tersebut bagi pria yang hendak mengkhitbah dia terjadi bukan disengaja oleh wanita yang bersangkutan, misalnya karena pria yang hendak mengkhitbah dia melihat dia dengan sembunyi-sembunyi. Inilah yang dimaksud oleh hadis Jabir ra.:

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ المَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطاَعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكاَحِهَا فَلْيَفْعَلْ. قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِيْ إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا

Jabir bin ‘Abdillah berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian mengkhitbah perempuan, jika dia mampu melihat apa yang mendorong dirinya untuk menikahi perempuan itu, hendaklaih dia melakukannya.” Jabir berkata: Aku pun mengkhitbah seorang anak perempuan, kemudian aku pun mengintip dia hingga aku melihat dari dia apa yang mendorong aku untuk menikahi dan mengawini dia. Lalu aku pun menikahi dia.” (HR Abu Dawud).


Redaksi yang dinyatakan dalam hadis di atas, “Atakhabba’u laha” (Aku mengintip dia), berarti “tampaknya aurat” wanita tersebut bagi pria yang hendak mengkhitbah dirinya tak disengaja oleh wanita itu. Karena itu berdasarkan hadis Jabir ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa wanita maupun walinya sama-sama tidak boleh secara sengaja “menampakkan aurat” wanita kepada pria yang hendak mengkhitbah dirinya atau tidak. Kesimpulan ini sejalan dengan larangan secara mutlak bagi wanita menampakkan auratnya kepada pria asing, baik yang hendak mengkhitbah dirinya atau tidak.

Adapun bagi orang yang hendak mengkhitbah wanita, dia dibolehkan oleh melihat apa yang membuat dirinya tertarik untuk menikahi wanita tersebut tanpa sepengetahuan wanita itu. Hukum melihat wanita bagi pria yang hendak mengkhitbah wanita itu, menurut Imam an-Nawawi, Malik, Abu Hanifah, ulama Kufah yang lain, Ahmad dan Jumhur ulama adalah diajurkan [mustahab].[1]

Sebagian ulama menyatakan bahwa hukum melihat wanita yang hendak dikhitbah adalah makruh. Namun, pendapat ini dianggap menyalahi hadis di atas, juga menyalahi kesepakatan tentang kebolehan melihat wanita karena adanya kebutuhan [jawâz an-nadhr li al-hâjah] seperti saat jual-beli, bersaksi, dan sebagainya. Menurut Imam al-Auza’i, kebolehan melihat wanita berlaku untuk tempat-tempat daging. Adapun Dawud azh-Zhahiri mengatakan, “Boleh melihat seluruh badan (wanita yang hendak dikhitbah).”

Mazhab Maliki, Ahmad dan jumhur ulama menyatakan, bahwa tidak disyaratkan untuk melihat wanita yang hendak dikhitbah adanya kerelaan dari wanita tersebut. Sebaliknya, hal itu boleh dilakukan saat wanita itu tidak tahu, dan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Meski demikian, Imam Malik sendiri menyatakan, makruh melihat wanita itu ketika dia tidak tahu, khawatir melihat auratnya. Hanya saja, riwayat dari Malik tentang melihat wanita harus dengan seizin wanita tersebut dianggap lemah. Pasalnya, izin yang diberikan Nabi saw. untuk melihat wanita yang hendak dikhitbah bersifat mutlak, tanpa syarat.[2]

Berdasarkan penjelasan di atas, bisa ditegaskan bahwa tidak ada nas yang membolehkan wanita menampakkan auratnya kepada pria yang hendak mengkhitbah dia, baik dengan atau tanpa mahram-nya. Namun, tidak berarti ini mengharamkan “tampaknya aurat” wanita tersebut bagi pria yang hendak mengkhitbah dirinya. Pasalnya, di dalam hadis Jabir di atas, Nabi saw. menyatakan, “Jika dia mampu melihat..” yang kemudian dijelaskan oleh Jabir dengan, “Aku mengintip dia.”

Karena itu jika pria hendak mengkhitbah seorang wanita, lalu dia mengintip wanita yang hendak dia khitbah itu, tanpa sepengetahuan-nya, dan melihat apa yang membuat dirinya tertarik untuk menikahi wanita itu, maka dia boleh melakukannya. Namun, kebolehan ini tidak berarti berlaku bagi wanita dan orangtuanya untuk secara sengaja menampakkan aurat wanita yang hendak dikhitbah kepada pria yang hendak mengkhitbah dirinya, baik dengan atau tanpa persetujuan mereka.

Dengan demikian, bagi pria yang hendak mengkhitbah seorang wanita, bisa disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  • Boleh memandang yang bukan aurat wanita tersebut, yaitu wajah dan kedua telapak tangannya, tanpa seizin dari wanita itu, seperti di jalan, masjid, sekolah dan tempat umum lainnya; atau dengan seizinnya, seperti ketika di rumahnya dengan didampingi orangtuanya. Boleh memandang yang bukan aurat, yaitu wajah dan kedua telapak tangan wanita tersebut, yaitu dengan sepengetahuannya atau tidak; dengan kata lain, dengan seizin wanita tersebut atau tidak.
  • Haram memandang selain wajah dan kedua telapak tangan wanita tersebut meski dengan izin wanita atau orangtuanya. Jika wanita itu sengaja menampakkan auratnya di depan pria yang hendak mengkhitbah dia, lalu pria tersebut memandangi dirinya, itu adalah haram.
  • Ini berbeda dengan tampaknya aurat wanita tersebut bagi pria yang hendak mengkhitbah dia tanpa sepengetahuan dirinya, seperti dengan mengintip atau sembunyi-sembunyi. Inilah satu-satunya yang dikecualikan dari kebolehan memandang aurat wanita yang tampak, dari wanita yang hendak dikhitbah.
  • Selain itu tidak ada pengecualian, seperti berduaan, buka-bukaan, dan seterusnya. Semua itu tetap haram.[3]

Penulis: KH. Hafidz Abdurrahman

Catatan kaki:

  1. Muhammad Syamsu al-Haq al-‘Adhim Abadi, ‘Awn al-Ma’bûd: Syarh Sunan Abî Dâwud, Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H/1995 M, hlm. 77.
  2. Ibid, hlm. 77.
  3. Al-‘Alim al-Jalil ‘Atha’ bin Khalil Abu Rasytah, Ensiklopedia Jawab-Soal, al-Azhar Fresh Zone, Bogor, cet. II, 2014, hlm. 124-129.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.