Type Here to Get Search Results !

Aborsi Dalam Pandangan Islam



Perkara penting yang harus dikemukakan sebelum membahas aborsi adalah fakta tahapan (periode) pembentukan janin di dalam kandungan ibu, karena pembahasan aborsi berangkat dan dibangun berdasarkan tahapan janin. Oleh karena itu, perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang aborsi juga kembali kepada fakta tahapan pembentukan janin di dalam kandungan ibu.

Tahapan Penciptaan dan Pembentukan Janin
Secara umum, tahapan penciptaan manusia pertama kali adalah ketika nabi Adam alihissalâm diciptakan oleh Allah SWT dari tanah. Menurut sahabat Ibnu Abbâs Radhiyallâh ‘anhu;

“penciptaan manusia terdiri dari tiga jenis tanah yaitu, dari thîn lâzib (saripati tanah liat yang kuat dan bagus), hamain masnûn (tanah hitam lumpur yang dapat dibentuk), dan shalshâl (tanah kering yang halus seperti tembikar)”[1], lihat QS. [23]: 12, [15]: 28, [55]: 14.

Adapun tahapan penciptaan anak cucu Adam, proses pembentukannya dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Mu’minûn [23] ayat 12-14, dan surat Al-Hajj [22] ayat 5, serta dalam hadits Ibnu Mas’ûd yang diriwayatkan oleh imam Ahmad.

Dari ayat-ayat dan hadits di atas, jelas bahwa fase-fase pokok penciptaan dan pembentukan janin di dalam kandungan adalah sebagai berikut:

  • Nuthfah, yaitu sperma laki-laki dan indung telur perempuan apabila bersatu di dalam rahim perempuan, dan itulah fase pertama janin, [23]: 13.Nuthfah ini terbentuk dari tiga proses yaitu; (1) Air terpancar (al-Mâu ad-Dâfiq), [86]: 5-7. (2) Saripati air (as-Sulâlah) [32]: 8. (3) Tercampur (al-Amsyâj) [76]: 2.
  • ‘Alaqoh, yaitu segumpal darah yang membeku yang tercipta dari campuran sperma laki-laki dan sel telur perempuan, [23]: 14.
  • Mudghoh, yaitu segumpal daging yang seukuran kunyahan yang terbentuk dari ‘alaqoh, [23]: 13-14.
Dari tiga fase janin ini, masing-masing memakan waktu 40 hari sebelum beralih ke fase berikutnya. Apabila janin telah mencapai masa 120 hari, maka ditiupkanlah kepadanya ruh dan menjadi ciptaan yang baru, [23]: 14.

  • Pembentukan tulang belulang dan daging, [23]: 14, [2]: 259, [75]: 3-4.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka fase (proses) penciptaan janin dimulai pada hari ketujuh sejak awal bertemunya sperma laki-lak dan indung telur perempuan, dan penciptaannya berlangsung terus-menerus hingga ditiupkan ruh pada fase akhir mudhghah, kemudian memasuki fase pembentukan tulang-belulang dan daging, dan terus berkembang hingga kelahirannya. Perbedaan antara penciptaan dan pembentukan janin tersebut didasarkan pada banyak ayat antara lain pada surat [7]: 11.

Pengertian Aborsi


Secara etimologi (bahasa), aborsi diambil dari bahasa Arab yaitu إِجْهَاض (ijhâdh), isim mashdar dari kata (أجْهَضَ – يُجْهِضُ – إِجْهَاضًا) artinya menggugurkan, maksudnya pengguguran kandungan (janin) (Kamus Al-Munawwir, h.219). Dikatakan (أحهضت الناقة إذ أَلْقَتْ ولدَها) artinya; “unta itu menggugurkan janinnya, ketika membuang anaknya”[2]. Al-Azharî Muhammad Ibnu Ahmad berkata; “disebut (Ijhâdh) khusus untuk unta”.[3]

Yang lain menyebut aborsi diambil dari kata إِسْقَاط (isqâth) isim mashdar dari kata (أسَقَطَ – يُسْقِطُ – إِسْقَاطًا) artinya “penjatuhan”, maksudnya pengguguran janin (Kamus Al-Munawwir, h.641), dikatakan (أسقطت المرأة ولدَها أي ألقته لغير تمام) artinya; “perempuan itu menggugurkan janinnya, yakni membuang anaknya karena belum sempurna”, dan dikatakan (أسقطت الناقة وغيرهاإذا ألقت ولدَها) artinya; “unta dan selainnya menggugurkan janinnya apabila membuang anaknya”[4]. Jadi, Isqâth adalah menggugurkan anak sebelum sempurna atau keluarnya janin dari perut ibunya antara umur 4 bulan dan 7 bulan.

Menurut para pakar bahasa, jika aborsi diartikan “keguguran janin yang terjadi sebelum memasuki bulan keempat dari usia kehamilannya”, disebut al-Ijtihâdh (almaany.com)[5]. Sedangkan jika diartikan “keguguran yang terjadi pada usia kandungan antara empat sampai tujuh bulan setelah fisiknya terbentuk secarasempurna dan telah ditiupkan ruh sehingga tidak dapat melanjutkan hidupnya”, disebut al-Isqâth (almaany.com)[6].

Berdasarkan pemaparan di atas, nampak bahwa aborsi baik berasal dari kata ijhâdh maupun berasal dari kata isqâth memilki pengertian yang sama yaitu sama-sama menggugurkan kandungan sebelum sempurnanya janin. Akan tetapi terdapat perbedaan antara kedua kata ijhâdh dan isqâth, yaitu sebagai berikut;

  1. Ijhâdh sering digunakan terkait Unta (binatang), bahkan sebagian mengkhususkan hanya pada unta. Sedangkan Isqâth sering digunakan terkait orang (manusia).
  2. Ijhâdh mencakup janin yang sudah tampak penciptaannya dan yang belum tampak, sebahagian menkhususkan telah ditupkan ruh pada janin tetapi keluar dalam keadaan tidak hidup. Sedangkan isqâth mencakup semuanya akan tetapi lebih sering digunakan sebelum penciptaan sempurna.



Jadi dapat disimpulkan bahwa aborsi (ijhâdh atau isqâth) menurut bahasa adalah menggugurkan janin sebelum sempurna penciptaannya, atau sebelum sempurna masa kehamilan. Baik sebelum ditiupkan ruh maupun sudah, dan baik janinnya laki-laki maupun perempuan. Maka tidak disebut ijhâdh kecuali janin dikeluarkan sebelum masa kelahirannya dan dalam keadaan tidak hidup.[7]

Adapun pengertian aborsi secara terminologi adalah pengguguran kehamilan sebelum sempurna penciptaannya atau sebelum sempurna masa kehamilannya, pada perempuan atau binatang, sengaja atau tidak, dan baik dilakukan sendiri atau dilakukan orang lain.[8] Menurut para ulama, aborsi diartikan sebagaimana yang diistilahkan ahli bahasa, dan hanya dari kalangan Syafi’iyah saja yang menggunakan istilah ijhâdh, sedangkan yang lain menggunakan istilah isqâth. Selain itu, para ulama memasukan aborsi dalam bab jinâyât (pidana).

Jenis-jenis, Cara dan Penyebab Aborsi


Seiring dengan kemajuan dan perkembangan sarana hidup manusia, baik di bidang teknologi, telekomunikasi, sosmed dan lain sebagainya -terlepas sarana tersebut digunakan untuk kebaikan hidupnya atau tidak, dengan cara sesuai norma agama atau tidak-, akan memunculkan berbagai cara untuk melakukan aborsi -dengan maksud tujuan yang beragam pula-. Akhirnya, diketahui berbagai macam jenis aborsi yang terjadi dewasa ini.

Berdasarkan perspektif fiqih, aborsi digolongkan menjadi lima macam, di antaranya:

  1. Aborsi spontan (al-isqâth al-dzâty), yaitu janin gugur dengan sendirinya secara alamiah tanpa adanya pengaruh dari luar. Biasanya disebabkan oleh kelainan kromosom yang tidak memungkinkan mudhghah tumbuh normal, kalaupun tidak gugur, akan tumbuh dengan cacat bawaan. Hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh infeksi, kelainan rahim atau kelainan hormon.
  2. Aborsi darurat atau pengobatan (al-isqâth al-dharûry/al-‘ilâjiy), yaitu aborsi dilakukan karena ada indikasi fisik yang mengancam nyawa ibu bila tidak digugurkan.
  3. Aborsi tidak disengaja (isqâth al-khatha’), yaitu keguguran yang dialami oleh seorang ibu karena tindakan orang lain tanpa disengaja. Seperti pemburu yang melepaskan tembakan atas binatang buruannya tetapi meleset mengenai seorang ibu yang sedang hamil. Jika janin keluar dalam keadaan meninggal ia wajib membayar denda (diyat) atau kompensasi atas kematian janin yang dibayarkan kepada keluarganya.
  4. Aborsi menyerupai kesengajaan (isqâth syibh ‘amd), aborsi yang dilakukan karena menyerupai kesengajaan. Seperti seorang suami yang menyerang isterinya yang sedang hamil hingga mengakibatkan keguguran.
  5. Aborsi sengaja dan terencana (isqâth al-‘amd), yaitu aborsi yang dilakukan secara sengaja oleh seorang perempuan yang sedang hamil, baik dengan cara minum obat-obatan yang dapat menggugurkan kandungannya maupun dengan cara meminta bantuan orang lain (seperti dokter, dukun dan sebagainya) untuk menggugurkan kandungannya.

Jadi aborsi persfektif fiqhi didasarkan pada pelaku yaitu;

  1. aborsi spontan tanpa ada campur tangan manusia,
  2. aborsi darurat karena pengobatan,
  3. aborsi tidak disengaja,
  4. aborsi menyerupai kesengajaan, dan
  5. aborsi yang disengaja dan direncanakan.

Adapun cara-cara aborsi yang dilakukan oleh ibu untuk menggugurkan janinnya, dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:

  1. Cara-cara aktif, seperti minum obat melebihi dosis, ibunya sengaja lompat-lompat, tindakan kejahatan terhadap ibu, dan sebagainya.
  2. Cara-cara pasif, seperti ibu tidak mau meng-konsumsi obat atau makanan bergizi, padahal keengganan itu berpengaruh buruk terhadap janin.
  3. Cara-cara medis, seperti menginjeksi zat prostegelamizin yang membunuh janin dengan cara menyuntikkannya pada pembuluh darah, urat, rahim, melakukan operasi baik currete atau membersihkan rahim, maupun operasi medis menyerupai Caesar untuk mengeluarkan janin dari rahim ibunya.

Sedangkan alasan yang menjadikan seseorang melakukan aborsi sangat beragam, baik pengguguran janin (aborsi) atas permintaan dari pihak ibu, maupun dari pihak lainnya. Di antara ragam penyebab tindak aborsi yang paling sering dan banyak dilakukan adalah;

  1. Karena kemiskinan, baik memang sudah miskin atau takut penghasilan yang tidak memadai;
  2. Karena kehamilan yang tidak dikehendaki akibat perbuatan zina;
  3. Karena kekhawatiran ibu atas anaknya yang sedang disusuinya terhenti mendapatkan ASI;
  4. Karena takut janin tertular penyakit yang diderita ibu atau ayahnya; dan lain sebagainya. Tentu semua kekhawatiran tersebut di atas bukanlah alasan untuk membolehkan aborsi, hal ini berdasarkan firman Allah di dalam surat [6]: 151, [17]: 31.

Hukum Aborsi dan Sanksi atas Pelakunya


Perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam perkara ini hanya pada aborsi yang dilakukan sebelum peniupan ruh pada janin, dan mereka tidak ada perbedaan pendapat tentang keharaman aborsi setelah peniupan ruh pada janin.

Pertama; Hukum Abaorsi Setelah Ditiupkan Ruh. Para ulama sepakat tentang keharaman aborsi jika dilakukan setelah peniupan ruh, yaitu setelah janin berusia 120 hari dari awal kehamilan, karena aborsi dihukumi setelah peniupan ruh terhadap janin. Pengharaman ini termasuk jika keberadaan anak “masih dianggap” dapat membahayakan ibunya, karena kematian ibunya dianggap belum pasti sementara aborsi sudah pasti membunuh janin.[9] Hal ini dikembalikan kepada kondisi ibu, jika dapat dipastikan dengan keyakinan dan melalui medis bahwa keberadaan janin di dalam kandungan membahayakan nyawa ibunya, maka harus diambil tindakan aborsi.[10] Dalilnya:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قاَلَ ;حَدَّثَناَ رَسُوْلُ اللّهِ rوَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ ; إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّه أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً ، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذاَلِكَ ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذاَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِماَتٍ ; رِزْقِه ، وَأَجَلِه ، وَعَمَلِه ، وَهَلْ هُوَ شَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
– الحديث رواه أحمد -
Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata: “Bahwa Rasulullah SAW telah bersabda kepada kami -beliau jujur dan terpercaya-; “Sesungguhnya setiap orang di antara kalian benar-benar berproses kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari berwujud air mani; kemudian berproses lagi selama 40 hari menjadi segumpal darah; lantas berproses lagi selama 40 hari menjadi segumpal daging; kemudian malaikat dikirim kepadanya untuk meniupkan ruh ke dalamnya; lantas (sang janin) itu ditetapkan dalam 4 ketentuan: ditentukan (kadar) rizkinya, ditentukan batas umurnya, ditentukan amal perbuatannya, dan ditentukan apakah tergolomg orang celaka ataukah orang yang beruntung.” (HR. Ahmad)

Adapun pelaku aborsi ini, setelah peniupan ruh dianggap telah melakukan kriminal dan atasnya sanksi ghurrah (diyat janin) yang harus dibayar karena telah melakukan pembunuhan terhadap manusia dan menghilangkan nyawa.[11]

Kedua; Hukum Abaorsi Sebelum Ditiupkan Ruh. Para ulama dari berbagai kalangan berbeda pendapat tentang aborsi yang dilakukan sebelum peniupan ruh, atau sebelum janin berusia 120 hari sejak kehamilannya, bahkan dari kalangan madzhab pun berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut dalam masalah ini dapat dijelaskan sebagai berikut;

  1. Haram hukumnya, pendapat ini disandaran kepada madzhab Al-Mâ Imam ad-Dardîr mengatakan: “Tidak boleh menggugurkan (mengeluarkan) mani yang sudah terbentuk di dalam rahim meskipun belum cukup 40 hari”, Ad-Dasûqî mengatakan: “yang dimaksud oleh Imam ad-Dardîr adalah haram”.[12] Menurut Ibnu Rusyd, Imam Mâlik mengatakan: “Setiap yang dibuang (digugurkan) oleh perempuan adalah jinâyah (kriminal) baik berupa segumpal darah atau daging, yang sudah diketahui bahwa itu adalah janin maka baginya ghurrah (sanksi)”, bahkan menurut Imam Mâlik sebaiknya dikenakan kaffârah (denda) dang ghurrah sekaligus.[13]
  2. Hukumnya makruh secara mutlak, pendapat ini disandarkan kepada madzhab Al-Hanafiyah. Imam Ali bin Musa dari ulama Hanafiyah, dan Ibnu ‘Abidîn menukil darinya, ia berkata bahwa: “Dimakruhkan (hukumnya) membuang (menggugurkan) sebelum ditiupkan ruh, karena air mani yang telah terbuahi di dalam rahim berpontensi hidup, maka statusnya sama dengan hidup”.[14] Madzhab Al-Mâlikiyah juga memakruhkan jika janin sebelum 40 hari.[15] Imam ar-Ramlî dari kalangan ulama Asy-Syâfi’iyah berkesimpulan bahwa makruh hukumnya pengguguran janin sebelum peniupan ruh hingga mendekati waktu peniupan ruh dan haram hukumnya waktunya telah mendekati peniupan ruh karena hal itu termasuk kriminal.[16]
  3. Hukumnya mubah secara mutlak, pendapat ini disandarkan kepada sebagian ulama Al-Hanafiyah. Mereka berpendapat bahwa hukumnya mubah (boleh) menggugurkan kehamilan selama belum ditiupkan ruh pada janin.[17] Imam Al-Lakhmî dari ulama Al-Mâlikiyah dan Abu Ishâq al-Marwazî dari kalangan Asy-Syâfi’iyah, mengatakan hukumnya mubah sebelum umur janin 40 hari.[18] Juga pendapat madzhab Al-Hanâbilah yang membolehkan menggugurkan pada fase awal (40 hari) kehamilan karena perempuan dibolehkan minum obat untuk menggugurkan sperma (fase awal), tetapi tidak untuk segumpal darah.[19]
  4. Hukumnya mubah karena ada udzur (alasan syar’iy). Pendapat ini sebenarnya adalah pendapat madzhab Al-Hanafiyah, Ibnu ‘Abidîn menegaskan bahwa tidak boleh menggugurkan janin tanpa ada udzur (alasan), alasan yang dimaksud adalah alasan terpaksa (dharûrat) yaitu terhentinya air susu ibunya setelah hamil dan bapaknya tidak mampu menyewa ibu susuan dan khawatir akan kebinasaan.[20]

Berdasarkan beberpa hukum aborsi dari berbagai kalangan ulama madzhab sebagaimana disebutkan di atas, dapat diringkas bahwa hukumnya setelah peniupan ruh ke dalam janin adalah haram secara aklamasi (ijma’ ulama). Baik dengan cara meminum obat, melakukan gerakan-gerakan yang keras, maupun tindakan medis; baik dilakukan oleh pihak ibu, ayah, maupun dokter. Sebab, abortus merupakan tindakan pelanggaran terhadap jiwa manusia yang terpelihara darahnya.[21] Allah SWT berfirman:

… وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ …
 (١٥١)
“…dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar…” (QS. Al-An’âm [6]: 151)

Tindakan ini termasuk tindakan kriminal yang mewajibkan diyat (tebusan) yang ukurannya sama dengan diyat ghurrah budak lelaki maupun perempuan, yang nilainya sepersepuluh (10%) diyat membunuh manusia dewasa. Dalilnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, berkata;

قَضَى رَسُولُ اللَّهِ r فِي جَنِينِ امْرَأَةٍ مِنْ بَنِي لَحْيَانَ سَقَطَ مَيِّتًا بِغُرَّةٍ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ
“Bahwa Rasulullah SAW pernah menetapkan atas janin perempuan dari Banî Lahyân yang janinnya keguguran dengan ghurrah (tebusan) diyat budak lelaki atau perempuan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Standar bentuk minimal janin yang gugur dan mewajibkan diyat ghurrah, adalah setelah nampak jelas bentuknya sebagaimana wujud manusia, seperti telah memiliki jari, tangan, kaki, atau kuku.

Adapun hukum pengguguran sebelum janin ditiupkan ruh adalah, (1) jika dilakukan setelah berumur 40 hari sejak awal kehamilan, dimana proses penciptaan dimulai, maka hukumnya juga haram. Dalilnya hadits Imam Muslim yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ ثِنْتَانِ وَأَرْبَعُونَ لَيْلَةً، بَعَثَ اللهُ إِلَيْهَا مَلَكًا، فَصَوَّرَهَا وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجِلْدَهَا وَلَحْمَهَا وَعِظَامَهَا، ثُمَّ قَالَ: يَا رَبِّ أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى؟ فَيَقْضِي
...
( رواه مسلم )
“Jika nuthfah (zigote) telah berlalu 42 malam, Allah akan mengutus padanya seorang malaikat. Maka malaikat itu akan membentuknya, mencipta pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian Malaikat berkata, ”Wahai Tuhanku, apakah dia ditetapkan laki-laki atau perempuan?” Maka Allah memberi keputusan…”. (HR. Muslim)

Dalam riwayat yang lain disebutkan: 40 malam (arba’ina lailatan). Jadi, pengguguran janin pada saat permulaan proses penciptaannya, maka hukumnya sama dengan pengguguran janin yang telah ditiupkan ruh padanya, yaitu haram. Hal itu karena ketika dimulai proses pembentukan janin dan sudah tampak sebagian anggota tubuhnya, dipastikan janin itu adalah janin yang hidup dan sedang menjalani proses untuk menjadi seorang manusia sempurna.

Karena itu, penganiayaan terhadap janin tersebut sama saja dengan penganiayaan terhadap jiwa seorang manusia yang terpelihara darahnya. Penganiayaan tersebut dipandang sebagai pembunuhan terhadap janin dan pelakunya berkewajiban membayar diyat berupa ghurrah budak laki-laki atau perempuan. Allah SWT jelas-jelas telah mengharamkan tindakan ini, sebagaimana firman-Nya:

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ
(٨)
بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
(٩)
“Ketika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa mereka dibunuh?” (QS. At-Takwîr [81]: 8-9)

Atas dasar ini, seorang ibu, ayah, atau dokter haram melakukan abortus setelah janin berumur 40 hari sejak awal kehamilan. Siapa saja yang melakukan tindakan itu, berarti ia telah melakukan tindakan kriminal dan melakukan dosa. Ia wajib membayar diyat atas janin yang digugurkannya itu, yakni diyat ghurrah.

Kesimpulannya; aborsi tidak boleh dilakukan, baik pada fase pembentukan janin (40 hari) maupun setelah peniupan ruh pada janin, kecuali jika para dokter yang adil (bukan orang fasik, pen.) menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibunya akan mengakibatkan kematian ibunya, sekaligus janin yang dikandungnya. Dalam kondisi semacam ini, aborsi dibolehkan demi memelihara kehidupan ibunya.[22]

Akar Masalah dan Solusi Aborsi


Sesungguhnya praktek aborsi merupakan indikator mewabahnya kebejatan moral di masyarakat sebagai buah dari sistem Kapitalisme yang diterapkan. Ideologi Kapitalisme dengan asas sekulerisme (fashl ad-dîn ‘an al-hayâh), yaitu pemisahan aturan agama dari kehidupan. Di dalam kehidupan sehari-hari ajaran agama diabaikan, ditinggal, bahkan dicampakkan, lalu mengambil hukum aturan yang berasal dari Barat, yaitu kebebasan berekspresi atau bertingkah-laku yang telah menjadikan kehidupan sosial masyarakat menjadi rusak, karena standar kebebasan menjadi andalan mereka. Baik di pedesaan maupun di perkotaan, mereka jauh dari nilai-nilai dan ajaran agama.[23]

Pada tahun 2013 yang lalu, diperkirakan sebanyak 3 juta aborsi terjadi setiap tahun di Indonesia. Perlu diingat bahwa kasus aborsi yang terjadi bukan sekadar persoalan ekonomi dan medis, maupun kesehatan masyarakat, namun sangat terkait erat dengan paham kebebasan bertingkah laku yang berkembang di masyarakat, yang didukung seperangkat aturan sekuler yang membebaskan setiap orang untuk berbuat apapun termasuk melakukan seks bebas yang berujung pada aborsi. Alhasil, masyarakat semakin sakit karena ditimpa berbagai problem sosial seperti; perselingkuhan, seks bebas, dan aborsi itu sendiri.

Sudah begitu, masyarakat semakin tidak peduli karena cenderung terjangkiti sikap individualistik dan materialistik. Kondisi ini diperparah oleh kampanye pornografi dan pornoaksi melalui media seperti tayangan televisi, surat kabar, majalah, dan akses internet.

Di sisi lain, pemerintah absen dalam membina ketakwaan masyarakat dan terkesan membiarkan menjamurnya lokasi prostitusi dan bahkan ingin dilegalkan dengan nama lokalisasi prostitusi yang berujung banyaknya aborsi. Kalau pun pelaku aborsi ditangkap, tidak akan menyelesaikan persoalan karena secara faktual sistem hukum yang berlaku gagal memberi efek jera dan efek cegah di masyarakat.

Jadi, akar masalah banyaknya terjadi aborsi adalah akibat penerapan sistem sosial yang sekuler yang bersumber dari ideologi Kapitalisme.

Adapun solusi Islam terhadap maraknya praktek aborsi adalah solusi tuntas yang dapat mencabut dan mengatasi akar masalahnya yaitu dengan mencampakkan sistem sosial yang sekuler, yang berasal dari ideologi Kapitalisme, dan menggantinya dengan sistem sosial Islam, yang berasal dari ideologi Islam.

Pada tataran praktis, negara wajib untuk menutup setiap pintu kemaksiatan dengan melarang seks bebas termasuk pacaran, menutup total lokalisasi, melarang media yang memuat konten pornografi dan pornoaksi. Dengan demikian, maka permasalahan aborsi bisa diselesaikan.

Pada tataran ideologi, aborsi dan segala pemicunya hanya dapat dihentikan dengan cara menerapkan seluruh aturan (syari’at) Islam di dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai Khilafah Islamiyah berdasarkan metode kenabian. Karena, hanya dengan tegaknya syari’at Islam melalui institusi Khilafah yang dapat secara nyata mewujudkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
...
(٢٤)
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu…” (QS. Al-Anfâl [8]: 24)

[1] Tafsîr Ibnu Jarîr ath-Thabarî, (7/511), Ma’ânî al-Qur’an li al-Farrâ’, (2/88).
[2] Ibnu Fâris, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Pasal Jîm Hâ Dhâ, h. 228.
[3] Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, Juz 7, Pasal Jîm Hâ Dhâ, h. 131.
[4] Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, Juz 7, Pasal Syîn Qâf Thâ’, h. 316.Lihat juga di mu’jam dan Qamus yang lain, pada pasal Syîn Qâf Thâ’.
[5] Ibrâhîm Mushthafâ, al-Mu’jam al-Wasîth, Dâr ad-Dakwah, juz 1, h. 143. Lihat juga di mu’jam dan Qamus yang lain, pada pasal Jîm Hâ Dhâ.
[6] Assosiasi Ahli Bahasa, al-Mu’jam al-Wasîth, Kairo: Majma’ al-Lughah t.th, Cet. 2, h. 441.
[7] Dr. Ibrâhîm bin Muhammad Qâsim bin Muhammad Rahîm, Ahkâm al-Ijhâdh fî al-Fiqh al-Islâmî, (Brîthaniâ: Silsîlah Isdhârah al-hikmah, 2002), Cet.I, h. 79.
[8] Prof. Dr. Muhammad Rawwâs Qal’ahjî, Mu’jam Lughah al-Fuqhâ’, pasal ijhâdh.Dan Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Juz 2, (Kuwait; Dâras-Salâsil, 1427H), Cet.II, Pasal ijhâdh, h.56.
[9] Ibnu ‘Abidîn, ad-Durr wa Hâsyiyah Ibn ‘Abidîn, 1/602.
[10] Al-Maktabah asy-Syâmilah, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiya, Juz 2, (Kuwait: Dâr as-Salâsil, 1427 H), Cet. I, h. 56.
[11] Dr. Wahbah bin al-Mushthafâ az-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Juz 4, (Dimasyq : Dâr al-Fikr, t.t.,), Cet. IV, h. 196.
[12] Al-Maktabah asy-Syâmilah, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiya, h. 58., ad-Dasûqî, asy-Syarh al-Kabîr bi Hâsyiyah ad-Dasûqî, 2/266-267.
[13] Al-Maktabah asy-Syâmilah, Al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiya, h. 58., Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahîd, 2/453.
[14] Ibnu ‘Abidîn, Hâsyiyah Ibn ‘Abidîn, 2/380.
[15] Ad-Dasûqî, asy-Syarh al-Kabîr bi Hâsyiyah ad-Dasûqî, 2/266-267.
[16] Ar-Ramlî, Nihâyah al-Muhtâj, 8/416.
[17] Ibnu al-Hammâm, Fath al-Qadîr, 2/495., Ibnu ‘Abidîn, Hâsyiyah Ibn ‘Abidîn, 2/380.
[18] Al-Lakhmî, Hâsyiyah al-Rahûnî ‘alâ Syarh az-Zarqânî, 3/264, Cet.I.,
[19] Kutub al-Hanâbilah, al-Furû’, 6/191, al-Inshâf, 1/386, Ghâyah al-Muntahâ, 1/81, ar-Raudhah al-Murabba’, 2/316, Kasysyâf al-Qannâ’, 6/54.
[20] Ibnu ‘Abidîn, Hâsyiyah Ibn ‘Abidîn, 2/380.
[21] Asy-Syaikh al-Qadhîal-‘Allâmah Taqiyuddîn an-Nabhânî, an-Nizhâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâm, (Bairût: Dâr al-Ummah, 2003), Cet. IV, h. 165.
[22]an-Nabhânî, an-Nizhâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâm, h. 166.


Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.