
Mungkin banyak diantara kita yang masih bertanya dan tidak mengetahui bagaimana pandangan Islam terhadap cara menasihati atau mengkritik seorang pemimpin, bolehkah secara terang-terangan atau mungkin perbuatan itu diharamkan dan seharusnya menasehatinya dengan cara sembunyi-sembunyi? nah oleh karena itu berikut pemaparan terkait mengkeritik pemimpin, semoga bermanfaat.
Hukumnya jaiz (boleh) mengkritik pemimpin secara erbuka, tidak haram. Dalilnya adalah kemutlakan dalil-dalil amar ma'ruf nahi mungkar kepada penguasa. Muhammad Abdullah Al-Mas'ari, Muhasabah al-Hukkam, hal. 60; Ziyad Ghazzal,Masyru' Qanun Wasa'il Al-I'lam fi Ad-Daulah Al-Islamiyah, hal.25).
Dalil-dalil  tersebut  antara  lain 
sabda  Nabi  SAW, ”Pemimpin  para  syuhada 
adalah  Hamzah  bin  Abdil Muthallib dan seseorang yang berdiri
di hadapan seorang imam yang zalim lalu orang itu memerintahkan yang ma'ruf
kepadanya dan melarangnya dari yang munkar, lalu imam itu membunuhnya.” (HR  Tirmidzi  dan  Al-Hakim).
Juga berdasarkan sabda Nabi SAW, ”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa (sulthan) atau pemimpin (amiir) yang zalim.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Juga berdasarkan hadits Ubadah bin Ash-Shamit tentang baiat kepada imam yang di dalamnya ada redaksi, ”dan kami akan selalu mengucapkan kebenaran di mana pun kami berada, kami tidak takut (karena Allah) terhadap celaan orang yang mencela.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Juga berdasarkan sabda Nabi SAW, ”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa (sulthan) atau pemimpin (amiir) yang zalim.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Juga berdasarkan hadits Ubadah bin Ash-Shamit tentang baiat kepada imam yang di dalamnya ada redaksi, ”dan kami akan selalu mengucapkan kebenaran di mana pun kami berada, kami tidak takut (karena Allah) terhadap celaan orang yang mencela.” (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Mengomentari dalil-dalil tersebut, Syaikh Muhammad 
Abdullah  Al-Mas'ari  berkata  bahwa  nash-nash
tersebut  bersifat  mutlak,  yakni  tidak 
membatasi  cara tertentu  dalam  menasihati 
penguasa,  sehingga  dapat disampaikan secara rahasia atau terbuka.
(Muhammad Abdullah Al-Mas'ari, ibid., hal. 60).
Selain dalil-dalil ini, kebolehan mengkritik pemimpin 
secara  terbuka  juga  diperkuat  oleh  praktik 
para shahabat  yang  sering  mengkritik  para 
khalifah  secara terbuka. Diriwayatkan dari Nafi' Maula Ibnu Umar RA,
ketika menaklukkan Syam, Khalifah Umar bin Khaththab tidak membagikan tanah
Syam kepada para mujahidin. Maka Bilal RA memprotes dengan berkata, ”Bagilah
tanah itu atau kami ambil tanah itu dengan pedang!” (HR Baihaqi, no 
18764,  hadits  sahih).
Hadits ini menunjukkan Bilal mengkritik Khalifah Umar secara terbuka di hadapan umum. (Ziyad Ghazzal, Masyru' Qanun Wasa'il Al-I'lam fi Ad-Daulah Al-Islamiyah, hal.24)
Hadits ini menunjukkan Bilal mengkritik Khalifah Umar secara terbuka di hadapan umum. (Ziyad Ghazzal, Masyru' Qanun Wasa'il Al-I'lam fi Ad-Daulah Al-Islamiyah, hal.24)
Diriwayatkan dari 'Ikrimah RA, Khalifah Ali bin Thalib RA
telah membakar kaum zindiq. Berita ini sampai kepada Ibnu Abbas RA, maka
berkatalah beliau, ”Kalau aku, niscaya tidak  akan  membakar 
mereka  karena  Nabi  SAW  telah bersabda, ”Janganlah kamu
menyiksa dengan siksaan Allah (api),” dan niscaya aku akan membunuh mereka
karena sabda Nabi SAW, "Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia." (HR
Bukhari). Dalam hadits ini jelas Ibnu Abbas mengkritik Khalifah Ali bin Thalib
secara terbuka. (Ziyad Ghazzal, Masyru' Qanun Wasa'il Al-I'lam fi Ad-Daulah
Al-Islamiyah, hal.25).
Berdasarkan  dalil-dalil  di  atas, 
boleh  hukumnya mengkritik pemimpin secara terbuka di muka umum, baik di
media massa seperti di internet, koran, majalah, maupun saat demonstrasi, di
pasar, di kampus, dan sebagainya.
Sebagian  ulama  mengharamkan 
mengkritik  pemimpin secara terbuka berdasar hadits Iyadh bin Ghanam,
bahwa Nabi SAW berkata, ”Barangsiapa hendak menasihati penguasa akan suatu
perkara, janganlah dia menampakkan perkara itu secara terang-terangan, tapi
peganglah tangan penguasa itu dan pergilah berduaan dengannya. Jika dia
menerima nasihatnya, itu baik, kalau tidak, orang itu telah menunaikan
kewajibannya pada penguasa itu.” (HR Ahmad).  Menurut  Syaikh 
Muhammad  Abdullah  Al-Mas'ari, hadits ini dha'if karena sanadnya
terputus (inqitha') dan ada periwayat hadits yang lemah, yaitu Muhammad bin
Ismail bin 'Iyasy. (Muhasabah al-Hukkam, hal. 41-43). Wallahu a'lam.

Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi

 
 
 
