Type Here to Get Search Results !

Hukum Bercanda Dengan Lawan Jenis



Canda (gurauan) dalam bahasa Arab disebut mizah atau mumazahah. Al-Jailany dalam Syarah Al-Adabul Mufrad, mendefinisikan canda adalah berbicara secara ramah dan menciptakan kegembiraan terhadap orang lain (Ath-Thahthawi, Senyum dan Tangis Rasulullah, hlm. 116). Hukumnya mubah menurut An-Nawawi (An-Nawawi, Al-Adzkar, hlm.279). Dalilnya, hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa para shahabat bertanya,” Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anda telah mencandai kami.” Rasulullah saw. menjawab “Sesungguhnya tidaklah aku berbicara, kecuali yang benar.” (HR Tirmidzi, al-Adzkar, hlm. 279).


Jadi, bercanda itu hukumnya mubah, asalkan sesuai syari’ah. Itu secara umum. Lalu bolehkah bercanda dengan lawan jenis yang bukan mahram? Jawabnya, boleh (mubah) sepanjang sesuai syariah. Dalilnya, karena Rasulullah pernah mencandai seorang gadis yatim di rumah Ummu Sulaim. Rasul berkata kepada gadis yatim itu, ”Engkau masih muda, tapi Allah tidak akan membuat keturunanmu nanti tetap muda. “ Ummu Sulaimah lalu berkata,”Hai Rasulullah, Engkau berdoa kepada Allah bagi anak yatimku, agar Allah tidak membuat keturunannya tetap muda. Demi Allah, ya memang dia tidak muda selama-lamanya.” (HR. Ibnu Hibban, dari Anas bin Malik RA) (Ath-Thahthawi, Senyum dan Tangis Rasulullah, hlm. 134; Nasy’at Al-Masri, Senyum-senyum Rasulullah, hlm. 65-66).


Jadi, bercanda dengan lawan jenis non-mahram, juga mubah berdasarkan dalil di atas. Baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya seperti via e-mail, chatting, atau kirim-kiriman SMS. Tetapi, meski mubah secara syar’i, wajib diperhatikan beberapa rambu syariahnya. Di antaranya :




  • Pertama, materi canda :

  1. Tidak mengolok-ngolok/mempermainkan ajaran Islam
  2. Tidak menyakiti perasaan
  3. Tidak mengandung kebohongan, ghibah (menggunjing), dan kecabulan
  4. Tidak melampaui batas, yakni tidak membuat melalaikan kewajiban dan tidak menjerumuskan pada yang haram (‘Aadil bin Muhammad Al-‘Abdul ‘Aali, Pemuda dan canda, hlm. 38-44)







  • Kedua, pihak wanita tidak boleh genit, baik dalam perkataan tulisan, maupun dalam tingkah laku.


  • Ketiga, wajib menutup aurat dan menjaga pandangan (ghadhdhul bashar), dan tidak boleh berkhalwat (menyendiri berdua).

وَقُل لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمٰنُهُنَّ أَوِ التّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرٰتِ النِّسَآءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ An Nuur:31 ﴿ Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

  • Keempat, jika dalam kehidupan umum (seperti kampus), wajib dipenuhi syaratnya :

  1. Dalam rangka melakukan aktivitas yang dibolehkan syariah (seperti belajar mengajar) (misalnya : Bapak dosen yang mengajar di kelas sedikit melucu agar suasana cair/sebagai ice breaker red. KI)
  2. Interaksi itu mengharuskan pertemuan (ijtima’) antara pria dan wanita. Jika tidak mengharuskan pertemuan alias bisa dikerjakan masing-masing maka tidak boleh ada interaksi, sehingga tidak boleh ada canda. Misalnya, aktivitas makan-makan di kantin, dll. Ini semua tidak boleh dilakukan secara bersama. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’I fi al-islam, hal. 40). Wallahu a’lam. 



Jadi, sebaiknya sangat berhati-hati untuk bercanda dengan lawan jenis. Baik di dunia nyata ataupun di dunia maya (email, chatting, SMS) karena bisa jadi akan menuju kepada perbuatan haram. Kalau memang ingin bercanda, masih banyak obyek lain yang halal, misalnya dengan teman sesama jenis, atau dengan istri.







Sumber: Rubrik Konsultasi Fikih, Majalah Sobat Muda, Edisi 2 / Tahun I Oktober 2004 diasuh oleh Ust. Muhammad Shiddiq al-Jawi, www.konsultasi.wordpress.com, dan syariahpublications.com

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.