Type Here to Get Search Results !

Jangan Jatuh Cinta



“Apakah pernikahan itu bisa dibatalkan?” Itulah pertanyaan seorang pemuda kepada calon istri saya beberapa hari menjelang aqad nikah kami. Pemuda itu adalah teman kuliah calon istri saya. “Tidak bisa.” Jawab calon istri saya. “Undangan sudah disebar.” Calon istri saya menambahkan argumentasi. “Tolong  dipertimbangkan lagi ya, bla-bla-bla dst…”  Pemuda tersebut melanjutkan argumentasinya. Tapi, tentu saja tetap ditolak.

Setelah kami menikah, handphone istri saya sering menerima panggilan dari nomor seorang pemuda teman remaja masjid dulu. Tapi istri saya tidak pernah mau mengangkatnya. Sebabnya, pemuda itu memang “ada perasaan” sama istri saya. Lama-lama saya jengkel juga mengetahuinya. Maka ketika handphone istri saya menerima panggilan lagi, saya yang mengangkat. Tapi saya “halo-halo” berkali-kali, ternyata tidak ada suara di seberang sana.

Saya pun bertanya kepada istri saya, memang dulu ceritanya bagaimana? Apakah memang dulu membuka “peluang”? Ternyata tidak. Istri saya mengatakan bahwa dulu itu sebenarnya teman biasa sebagaimana mestinya. Teman kuliah ya teman kuliah saja. Tidak ada komunikasi aneh-aneh, tidak ada yang spesial. Teman remaja masjid juga teman biasa saja, tidak ada hal yang aneh.  Kalau bertemu ya hanya ketika ada kegiatan atau ada rapat. Tidak ada pertemuan-pertemuan tambahan yang tidak lazim.

Setelah saya mencoba dalami, ternyata kasusnya bukan hanya dua kasus tersebut. Istri saya pernah juga bertekad untuk berhenti kerja gara-gara “dikejar-kejar” oleh teman di tempat kerjanya.

Beberapa kejadian tersebut barangkali bisa menjadi contoh bagaimana “kegilaan” seseorang yang sudah terlanjur jatuh cinta. Pikirannya menjadi “tidak waras”, dan cenderung berbuat nekat. Saya yakin, masih banyak contoh lain bahkan yang lebih extrim tentang perbuatan orang-orang yang jatuh cinta.

Mungkin, kebanyakan manusia di muka bumi ini memang seperti itu. Jatuh cinta, kemudian melakukan berbagai macam upaya dan perjuangan untuk mendapatkan orang yang dicintainya. Mungkinkah anda juga demikian? Ngaku saja !

Saya sendiri memilih bersikap berbeda dengan kebanyakan manusia di bumi ini. Saya berkomitmen untuk tidak mau jatuh cinta. Jatuh cinta, itu bisa menjadi awal malapetaka. Terlepas siapapun yang anda jatuhi, mau orang baik-baik atau orang yang tidak baik.

Jatuh Cinta, Enak Nggak Sih?


Pernahkah anda melompat dari ketinggian satu meter? Bagaimana rasanya? Sakit? Saya pernah bahkan berkali-kali melompat dari ketinggian satu meter, bahkan sering juga lebih dari satu meter. Mendarat di tanah yang keras, bahkan lantai yang keras. Tapi, ternyata saya tidak apa-apa. Tidak ada badan yang sakit, apalagi cedera.

Tetapi di waktu yang lain, saya pernah jatuh dari ketinggian hanya sekitar setengah meter, tapi ternyata sakitnya luar biasa.

Mengapa demikian? Apakah anda tahu bedanya?

Pada kasus pertama. Saya sengaja melompat dari ketinggian satu meter. Saya telah melakukan persiapan, perkiraan, juga “ancang-ancang”. Maka ketika badan saya jatuh di lantai, saya sudah mempersiapkan bagian kaki untuk menjejak lantai terlebih dahulu. Diikuti gerakan kaki yang sedikit melipat dan mengayun (tidak kaku). Badan pun sedikit dicondongkan ke bawah. Hasilnya, saya bisa mendarat dengan mulus, tanpa sakit dan tanpa cedera.

Pada kasus kedua. Saya tidak sengaja jatuh dari ketinggian setengah meter. Saya tentu saja tidak persiapan, tidak ada perkiraan, juga tanpa “ancang-ancang”. Maka ketika badan saya jatuh, saya tidak mempersiapkan bagian tubuh mana yang akan mengenai lantai. Ketika bagian tubuh yang terkena lantai adalah tulang ekor, itu sakitnya luar biasa. Bahkan itu sangat berbahaya.

Nah, ternyata ada perbedaan yang signifikan antara (sengaja) menjatuhkan diri dengan (tidak sengaja) jatuh.

Sengaja itu cenderung aman. Sementara tidak sengaja cenderung berbahaya. Memang tidak bisa dikatakan orang yang melompat pasti selamat sementara yang tidak sengaja pasti celaka. Tapi saya yakin jika dipersentase, maka orang yang persiapan lebih banyak yang selamat.

Begitu pula dengan jatuh cinta. Sengaja menjatuhkan cinta itu cenderung selamat, sementara jatuh cinta (tanpa rencana) itu cenderung beresiko celaka. Beberapa contoh di awal tulisan ini bisa menjadi contoh orang-orang yang celaka karena jatuh cinta tanpa rencana.

Saat seseorang jatuh cinta, maka pada saat itulah perasaan cinta itu berada di atas pemikirannya. Misalnya, Yono jatuh cinta kepada Yani. Maka mulai saat itulah Yono akan memikirkan berbagai macam cara agar Yani mau menerima cintanya. Memang Yono berpikir, tetapi pikiran itu mengikuti perasaannya. Itu adalah posisi terbalik. Seharusnya, perasaan itu mengikuti pemikiran.

Manusia di dunia ini kalau dikelompokkan berdasar apa yang ia ikuti, maka bisa dibagi menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama, manusia penafsu. Manusia yang masuk kelompok ini adalah manusia yang berkeinginan dulu, baru berpikir. Sejatinya, manusia yang masuk kelompok ini bukanlah manusia yang sebenar-benarnya. Ia lebih tepat disebut manusia “jadi-jadian”. Manusia seperti ini mirip binatang. Yaitu mengikuti perasaannya. Tetapi sesungguhnya, tidak sama dengan binatang. Manusia seperti ini lebih rendah dari binatang.

Kelompok kedua, manusia pemikir. Manusia yang masuk kelompok ini adalah manusia yang berpikir dulu, baru perasaannya menyesuaikan pemikirannya. Ia bisa benci sesuatu karena sesuatu itu jelek menurut pemikirannya. Tapi ia juga bisa cinta sesuatu karena sesuatu itu baik menurut pemikirannya.

Saya tentu saja tidak mau celaka. Saya mau selamat. Dan alhamdulillah saya telah melalui proses taaruf, khitbah, hingga aqad nikah dengan selamat.  Semoga anda juga memilih jalan yang sama dengan saya.



Penulis: Farid Ma’ruf
Sumber: www.faridmaruf.wordpress.com

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.