Type Here to Get Search Results !

Diskusi: Semua Agama Itu Sama



          Di media sosial baik di Twitter maupun Facebook, para liberalis, baik dari kalangan Jaringan Islam Liberal (JIL) atau Jemaat Islam Nusantara (JIN) kerap menuliskan status yang memancing amarah ummat Islam. Sekali waktu memang perlu mengomentari namun jika keseringan seperti melempar buah pisang kepada monyet.

          Berikut dialog imajiner antara mahasiswa cerdas dengan profesor yang JIL detected, dikutip dari buku Kemi karya Adian Husaini.

  • Mahasiswa: “Apa artinya sebagai orang Islam, saya tidak boleh meyakini hanya agama saya yang benar? Apa menurut Prof. semua agama yang benar?”
  • Profesor: “Masing-masing agama wajar meyakini agamanya yang benar. Tapi juga harus pikirkan, pemeluk agama yang lain yang juga meyakini hal yang demikian. Kita, kaum akedimisi atau pemuka agama harus mengembangkan cara pandang inklusif, yaitu melihat agama-gama pada posisi yang sama sehingga kebenaran agama bersifat relatif, bergantung dari cara pandang terhadap agama.”
  • Mahasiswa: “Apa artinya sebagai muslim, Prof. sudah tidak meyakini hanya Islam yang benar? Bagaimana dengan ayat “Innad diina ‘indallahi al-Islam?””
  • Profesor: “Ya, saya harus bersikap objektif. Secara objektif, saya berdiri pada posisi netral, saya melihat agama-agama pada posisi yang sama. Tidak melebihkan satu dengan yang lain.”
  • Mahasiswa: “Berarti secara pemikiran, Prof. bukan muslim lagi?”
  • Profesor: “Saya tetap muslim, tetapi saya bersikap netral ketika melihat agama-agama lain, Jadi, saya tidak eksklusif!”
  • Mahasiswa: “Kalau muslim pasti eksklusif cara berpikirnya, sebab akidahnya berbeda dengan yang lain.”
  • Profesor: “Itu cara berpikir sempit! Coba luaskan cakrawala berpikir kita. Kita keluar dari gurus ufuk. Lihatlah agama-agama yang ada dari titik pandang ketinggian yang sama. Kita akan melihat, agama-agama yang ada ternyata menyembah Tuhan yang sama, hanya cara menyembah dan menyebut nama Tuhannya yang berbeda-beda. Hakikatnya sama saja.”
  • Mahasiswa: “Saya tanda kepada Prof. sebagai seorang muslim, apakah menurut Prof. Yesus itu mati di tiang salib atau tidak?”
  • Profesor: “Menurut orang Islam Yesus tidak mati di tiang salib. Menurut orang Kristen, Yesus mati di tiang salib, masing-masing punya dasar sendiri.”
  • Mahasiswa: “Saya tanya Prof. bukan menurut orang lain.”
  • Profesor: “Lho, saya kan akademisi, saya harus bersikap arif dan netral, tidak melibatkan diri pada satu klaim tertentu.”
  • Mahasiswa: “Itu artinya Prof. tidak bersikap dalam menentukan sesuatu yang jelas-jelas ditentukan dalam al-Quran, surat an-Nisa ayat 157 bahwa Nabi Isa tidak dibunuh dan tidak disalib. Kalau orang Islam kan harusnya membenarkan berita al-Quran itu. Menurut saya, aneh kalau orang ngaku Islam tapi tidak percaya dengan isi al-Quran.”
  • Profesor: “Ya, itu bukan saya tidak bersikap. Sikap saya jelas, sikap yang sangat terbuka, inklusif dan tidak eksklusif.”
  • Mahasiswa: “Kalau begitu, menurut Prof. semua agama adalah benar?”
  • Profesor: “Ya benar menurut pemeluknya masing-masing.”
  • Mahasiswa: “Kalau Prof. sendiri memeluk agama apa?”
  • Profesor: “Saya Islam.”
  • Mahasiswa: “Menurut Prof. agama apa yang benar?”
  • Profesor: “Menurut saya Islam benar menurut pemeluk Islam, Kristen menurut orang Kristen dan seterusnya.”
  • Mahasiswa: “Yang saya tanya Prof., bukan menurut agama masing-masing.”
  • Profesor: “Saya kan sudah menyatakan bahwa saya berdiri pada titik netral pada semua agama. Meskipun saya juga Islam.”
  • Mahasiswa: “Makin jelas bahwa Prof.berdiri di luar Islam.”
  • Profesor: “Dalam hal melihat agama-agama lain ya saya netral.”
  • Mahasiswa: “Kalau begitu kita tidak akan bertemu karena berangkat dari posisi dan titik pandang yang berbeda. Saya melihat agama-agama lain dari sudut pandang Islam. Saya sama luar dalam. Di dalam saya Islam, di luar saya juga Islam. Saya tidak abu-abu.”
  • Profesor: “Sudahlah. Nanti kamu pikirkan pemikiran dan sikap kamu itu. Sikap merasa benar sendiri dengan agama kita, itu sudah saya tinggalkan sepuluh tahun yang lalu. Saya juga semula bersikap seperti kamu, setelah saya mengalami pergaulan luas, saya akhirnya menyadari bahwa keyakinan saya itu keliru.”
  • Mahasiswa: “Saya ingin ketegasan Prof., apakah semua agama benar?”
  • Profesor: “Pertanyaan kamu balik seperti semula. Saya juga akan menjawab seperti semula bahwa semua agama sebenarnya merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan yang sama.”
  • Mahasiswa: “Prof. menggunakan logika John Hick yang sebenarnya sudah dibantah oleh ilmuwan agama. Melihat agama pada posisi yang netral adalah sebuah idelogi juga, yakni ideologi netral agama. Itu namanya posisi teologi abu-abu, yakni posisi teologis yang berdiri di luar semua agama. Posisi teologis abu-abu ini bukan Islam, bukan Kristen, bukan Hindu, bukan Budha atau agama-agama yang lain. Inilah posisi agama baru. Juga logika netral agama akan merukunkan agama-agama dan mendamaikan dunia juga sebenarnya mimpi. Sebab, posisi teologis abu-abu itu menambah daftar konflik baru karena memunculkan agama baru. Orang beragama yang yakin dengan agamanya pasti tidak akan mau melepaskan keyakinannya. Kecuali orang-orang yang memang sudah ada penyakit dalam hatinya, yang dalam al-Quran disebut sebagai orang munafik!”
  • Profesor: “Jadi, kamu menganggap saya munafik?!”
  • Mahasiswa: “Prof.sendiri yang bisa menilai, apakah munafik atau bukan.”






Penulis: Paramuda
Sumber: BersamaDakwah

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.