Type Here to Get Search Results !

Hidayah, Takdir dan Pilihan

Pendahuluan



          Kita sering melihat dan mendengar fenomena  kaum muslimin saat ini begitu karut-marut bayak umat perempuannya tidak memakai hijab atau jilbab dengan alasan belum mendapat hidayah, ada umatnya juga yang jarang sholat dan berkata juga belum menerima hidayah, selain itu adapun orang yang miskin dari umat Islam yang berkata memang sudah takdirnya dia miskin atau bahkan ada banci dan penjahat yang berkata mereka seperti itu memang itu sudah ditakdirkan, namun benarkah demikian, apa mendapat hidayah, menjadi orang baik dan jahat lalu kaya dan miskin itu takdir ataukah pilihan?

Sudut Pandang


          Kata-kata takdir seringkali membatasi manusia dari melakukan yang terbaik dari dirinya, menjadi yang terbaik, dan merubah sesuatu yang berada di depannya. Kata ini seolah-olah menjadi legitimasi bagi seseorang untuk melakukan aktivitasnya secara minimalis dan menjadi alasan khususnya bagi kaum muslim untuk menghindar dan mengelak dari seruan Tuhan mereka.

Kesalahan pandangan terhadap konsep takdir biasanya dimulai dari tidak tepatnya seseorang mengartikan ketiga hal yang berkaitan dengan Allah, yaitu Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz. Mereka yang berpandangan salah tentang konsep takdir merasa bahwa apa yang mereka lakukan dan yang terjadi di dunia sudah diketahui oleh Allah sebagai yang Maha Tahu, sudah dikehendaki Allah sebagai yang Maha Berkehendak serta sudah tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz.

Sehingga sebagai manusia, makhluk yang terbatas, mereka merasa terpaksa berada dalam kondisi yang memang sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Padahal ketiga hal tersebut, yaitu Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz tidak boleh sekali-kali dicampuradukan dengan pembahasan takdir, karena tidak seorangpun yang mengetahui ilmu Allah, seperti apa Allah berkehendak atas dirinya, dan juga tidak mengetahui apa yang tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz.

Ada sebuah ilustrasi yang sangat masyhur, adalah seorang pencuri yang tertangkap dimasa pemerintahan Islam sedang jaya-jayanya. Sang pencuri ini tengah diproses oleh seorang Hakim. Lalu si pencuri berkata membela diri ”Wahai tuan hakim, sungguh tidak pantas tuan menghukum saya”, dia melanjutkan ”karena apa yang saya lakukan ini sesungguhnya sudah diketahui oleh Allah dan Allah membiarkannya (mengizinkannya), dan sesungguhnya Allah-lah yang berkehendak atas terjadinya pencurian ini, dan kita semua tahu, di Lauh al-Mahfudz sesungguhnya telah tertulis semua aktivitas kita dari mulai dilahirkan sampai kita menemui ajal, termasuk pencurian ini sesungguhnya telah tertulis di kitab tersebut, sehingga tidak pantas tuan hakim menjatuhkan hukuman kepada saya, karena perbuatan ini bukan karena kehendak saya”. Hakim tersebut lalu berfikir tentang hal tersebut, setelah lama berfikir akhirnya ia mengeluarkan keputusan untuk menghukum si pencuri itu. ”Baik, masukkan dia kedalam sel penjara!”, ujarnya. Si pencuri protes kepada tuan hakim dengan penjelasannya yang panjang lebar tadi, yang intinya adalah pencurian itu bukan kehendaknya tetapi kehendak Allah, atau sudah nasibnya. Sang hakim pun berkata dengan tenang ”Sebenarnya saya tidak mau menjatuhkan hukuman kepadamu, tetapi bagaimana lagi, ini juga kehendak Allah, dan di Lauh al-Mahfudz juga sudah tertulis pada hari ini dan waktu ini saya mengeluarkan hukuman penjara bagimu!”

Ilustrasi diatas memberikan kita kejelasan, bahwa si pencuri mencoba mencampuradukkan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz dalam pembahasan takdir, sehingga pembahasan takdir menjadi kacau. Dan sampai sekarangpun masih banyak kelompok atau individu yang salah memahami konsep takdir, sehingga termasuklah mereka kedalam kaum fatalis, yaitu kaum yang menganggap bahwa manusia seperti daun yang terombang ambing di permukaan air, dengan kata lain, manusia tidak mempunyai pilihan untuk mengarahkan hidupnya. Kaum fatalis ini menganggap masuknya manusia kedalam surga ataupun kedalam neraka sesungguhnya telah ditentukan sejak awal, dan manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya.

Sehingga, jika kita menginginkan untuk berfikir efektif dan produktif, hendaknya kita tidak boleh mencampuradukkan pembahasan takdir dengan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz. Tidak kita sangsikan bahwa Allah pasti mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada dunia yang diciptakan-Nya, ia juga mengetahui semua perbuatan hamba-Nya, baik yang telah kita perbuat, yang sedang kita buat maupun yang akan kita perbuat. Dan kita pun tahu bahwa apa pun yang menjadi kehendak Allah pastilah terjadi diatas muka bumi ini. Kita pun yakin bahwa semua perbuatan kita dari lahir hingga mati sesungguhnya telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Tetapi, semua itu tidak berarti kita tidak bisa memilih apa yang kita perbuat. Sebagai contoh, Allah sudah mengetahui dan berkehendak Anda membaca artikel ini. di Lauh al-Mahfudz pun sudah tertulis, pada tanggal ini jam sekian Anda membaca sampai pada pembahasan takdir ini. Tetapi Anda juga ingat bahwa ketika berada di website www.dibalikislam.com ini Anda bisa memilih dengan bebas apakah artikel ini ataukah artikel lain yang Anda baca. Dengan kata lain, Anda memiliki pilihan untuk melakukan sesuatu, memilih sesuatu dan menjadi sesuatu. Kehendak bebas atau kesempatan memilih yang diberikan Allah kepada manusia inilah yang akhirnya melahirkan konsekuensi logis, yaitu pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-perbuatan yang dipilih olehnya. Pertanggungjawaban ini di akhirat kita sebut dengan prosesi hisab. Di dunia pun, sudah sewajarnya bila kita dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipilihnya.

Pada seorang individu, selain perbuatan-perbuatan atau kejadian-kejadian yang bisa dipilih dan berada di dalam kendali manusia untuk memilihnya, ada juga kejadian-kejadian dimana manusia tidak mempunyai pilihan atasnya, dan dipaksakan terjadi atas manusia itu, serta sudah ditetapkan atas manusia, baik dia suka maupun tidak, misalnya manusia pasti akan mati, wanita memiliki kemampuan melahirkan, pria memiliki kecenderungan kepada wanita, matahari terbit dari timur dan terbenam di barat, bencana alam yang terjadi dan lain-lain. Dalam hal ini, Allah tidak memberikan ruang kepada manusia untuk memilih, sehingga apapun yang terjadi, manusia tidak perlu atau tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi, karena hal itu tidak dapat dipilihnya. Di dunia pun anda tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas hal yang tidak bisa anda pilih. Misalnya, tidak seorang pun bertanya kepada Anda, kenapa anda adalah seorang pria? atau bertanya kepada Anda, mengapa matahari terbit dari timur? Mengapa manusia akan mati?. Sekali lagi, dalam hal yang tidak bisa kita pilih, kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi pada diri kita maupun orang lain.

Pilihan dan Takdir


          Sederhananya adalah, kejadian-kejadian yang terjadi pada manusia bisa dikelompokkan dalam dua bagian:

1)Bagian pertama adalah kejadian yang terjadi pada diri manusia yang dapat dipilih.
2)bagian kedua adalah kejadian yang terjadi pada diri manusia yang tidak dapat dipilih, atau dipaksa terjadi atasnya.

Pada bagian pertama, kita bisa memilih perbuatan atau kejadian sesuai keinginan kita, karena itulah kejadian itu akan dimintai pertanggungjawaban.

Hal ini berarti, menjadi rajin ataupun menjadi malas, menjadi orang yang amanah atau yang khianat, menjadi seorang pemarah atau penyabar, menaati perintah Allah atau membangkangnya adalah sesuatu yang dapat kita pilih.

Setiap Orang bisa saja memiliki definisi tersendiri terhadap arti hidup ini. Tetapi pergertian hidup yang sebenar-benarnya hanya ALLAH yang Mengetahuinya. Ini adalah salah satu rahasia yang dipegang kuat-kuat oleh ALLAH dan tidak akan pernah diketahui oleh semua makhluk-NYA. Tetapi bagi manusia, ALLAH telah membocorkan sedikit rahasia-NYA mengenai kenapa sebenarnya dunia ini diciptakan. Tetapi kalau ALLAH menciptakan hidup ini untuk tujuan baik, kenapa ALLAH juga menciptakan musibah dan malapetaka untuk Ummat Manusia?

Sedangkan pada bagian kedua, kita dipaksa menerima kejadian itu dan tidak diberikan pilihan, inilah yang kita sebut takdir. Dan terhadap takdir atau ketetapan yang diberikan kepada kita, baik atau burauknya itu menurut kita, maka kita wajib mengimaninya, dan yakin bahwa itu yang terbaik untuk kita yang berasal dari Allah swt. Prakteknya dalam kehidupan sehari-hari, jika sesuatu terjadi atas kita ataupun terhadap orang lain, dan itu tidak dapat dipilihnya, maka kita tidak boleh protes atau mengeluh secara berlebihan, serta tidak boleh menyalahkan diri sendiri atas kejadian itu. Karena itu semua berasal dari Allah, dzat yang maha memberi ketetapan, dan apa yang diberikan oleh-Nya pasti baik.

Kesimpulan


          Setelah pembahasan ini, kita menyadari bahwa tidak sepatutnya kita menyalahkan takdir atas kejadian-kejadian yang sebenarnya bisa kita pilih. Apa yang terjadi di masa yang lalu mungkin beberapa diantaranya termasuk dalam hal yang bisa kita pilih.

Menjadi pribadi yang bodoh, pintar, malas, rajin, miskin, kaya, khianat, amanah, sholeh ataupun tidak sebagian besar itu terjadi karena pilihan kita dan kerena latihan dan pengulangan yang sering kita lakukan sadar ataupun tidak dipaksa ataupun suka rela sehingga menjadi kebiasaan (habits) yang secara otomatis kita lakukan dan bahkan sampai ada yang barkata "orang kalau sudah biasa kaya susah miskin begitupun orang miskin susah kaya" nah inipun karena mental yang telah bertahun-tahun menjadikannya pribadi si kaya dan miskin si rajin dan malas si pandai dan bodon lalu lain sebagainya.

Kebiasaan (habits) sendiri itu pilihan dan setiap pilihan terdapat kosekuensinya masing-masing lalu dari semuanya juga diperlukan latihan dan pengulangan serta waktu yang lama untuk membentuk kebiasaan yang berlaku untuk hal baik atau hal buruk sekalipun mau sadar ataupun tidak dipaksa maupun tidak semua akan membuat kebiasaan, yang membantu atau menghancurkan kita tergantung apa kebiasaan itu yang secara otomatis membantu kita dalam membuat pilihan-pilihan yang kita tentukan. Jadi apa takdir anda? apa pilihan anda? apa latihan dan pengulangan anda? dan apa usaha anda untuk menjemput hidayah Allah?

Penulis Materi: Diaz Hamzah
Sumber: dikutip dari buku "Beyond the Inspiration" dan "Habits" karangan "Felis Y.Siauw"

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.