Type Here to Get Search Results !

Pelaksanaan Syariat Islam

PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM




          Sistem kehidupan masyarakat dunia hingga kini masih didominasi dua sistem, yakni sistem Kapitalisme dan Sosialisme. Kedua sistem tersebut dibangun atas dasar materi belaka (materialisme, tanpa nilai ruhiyah). Pada sisi inilah keduanya bertemu, meski dalam segi ide (fikrah) dan metode pelaksanaan (thoriqah) peraturannya kadang berbeda.

Sebagai contoh, sistem kapitalisme memandang individu bebas bertindak dan berbuat apa saja yang diinginkannya untuk meraih kebahagiaan duniawi, tidak mau menerima pengawasan orang lain serta menolak untuk dibatasi dan dibelenggu kebebasannya. Sedangkan sistem sosialisme memandang individu hanyalah bagian dari alat atau sarana produksi yang tidak memiliki kebebasan ataupun pilihan.

Masyarakat pada sistem kapitalisme selalu merubah peraturannya, terpecah-pecah hubungannya, tidak diawasi dan dikoreksi oleh siapapun, karena dalam pandangan sistem ini, masyarakat terbentuk dari sejumlah individu yang ingin bebas sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengawasi dan mengoreksi masyarakat atau individu lainnya. Adapun pada sistem sosialisme, masyarakat bertingkat-tingkat (kelasnya) yang saling bertentanganan,saling mewaspadai, antar satu dengan lainnya, karenanya peran negara dalam sistem ini sangat mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat.

Dalam sistem kapitalisme negara merupakan sarana yang bersifat temporal untuk menjaga dan mempertahankan kebebasan individu. Sedangkan pada sosialisme, negara ibarat tangan besi yang memaksa dan menghancurkan sisa-sisa sistem yang lama untuk mengarahkan masyarakat agak produktif secara bersama-sama, dipimpin oleh negara.

Bagaimana Dengan Sistem Islam ?





          Sistem Islam berbeda dengan kedua sistem tersebut, dan jelas takkan pernah bertemu apalagi berkompromi, baik dalam fikrah maupun thariqahnya. Sistem Islam dengan ketiga asasnya, merupakan sistem tunggal yang khas, yang berbeda dengan sistem-sistem lain yang ada, baik yang lama maupun yang baru.

Adapun ketiga azas pelak- sanaan sistem Islam adalah :

1. Asas Pertama


          Asas pertama pembangun sistem Islam adalah rasa ketaqwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu di masyarakat. Seorang muslim memiliki pandangan mendalam dan jernih yang mencakup pemikiran terhadap alam, manusia dan kehidupan serta apa yang ada pada sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini. Pandangan ini akan menumbuhkan perasaan dan indera seorang mukmin terhadap taqwa, dan menjadikan aqidahnya sebagai pengontrol tingkah lakunya sehingga tidak akan pernah bertentangan dengan aqidahnya. Hal ini terjadi karena mafahim (ide-ide yang nyata atau bukan khayali) tentang kehidupan dan tingkah laku seorang mukmin, terpancar dari aqidahnya.


Seorang mukmin mengetahui secara pasti bahwa Allah SWT selalu mengawasinya. Dia juga menyadari bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dihidupkan kembali oleh-Nya, kemudian akan dihisab terhadap amal perbuatan yang telah dilakukannya. Ia meyakini semua ini secara pasti tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikitpun. Dan keyakinan ini membekas dalam sikap hidupnya sehari-hari di masyarakat.

Contoh kebenaran pernyataan ini banyak sekali dan dapat kita temukan dalam rentetan sejarah Islam yang agung, malah masih bisa ditemukan saat ini walaupun kaum muslimin dalam keadaan terpecah belah dan tidak berjalannya sistem Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW banyak teladan yang amat menakjubkan tentang ketaqwaan para masyarakat dalam melaksanakan sistem Islam. Pada masa itu cukuplah Rasulullah SAW memberi isyarat (berperang), seluruh kaum muslimin yang telah beriman langsung berangkat ke medan perang untuk meraih kemenangan atau syahid, tanpa ada keraguan dan keterlambatan sedikitpun.


Kisah Ma’iz Al Aslami dan al Ghomidiyah, radliyallahu ‘anhuma merupakan teladan yang tepat sekali untuk menggambarkan betapa tingginya rasa ketaqwaan pada diri para shahabat. Ma’iz adalah seorang mukmin sejati, demikian pula Al Ghomidiyah. Suatu ketika Al Ghomidiyah ini datang ke hadapan baginda Nabi SAW dan mengaku telah berbuat zina, seraya meminta supaya baginda Nabi menjatuhkan hukuman atau had terhadapnya sesegera mungkin. Nabi SAW menangguhkannya hingga ia melahirkan (anak yang dikandungnya), dan kemudian ditangguhkannya lagi sampai selesai melaksanakan kewajiban menyusui anaknya, namun demikian selama itu, ia masih terus meminta agar hukum syara’ diberlakukan pada dirinya yaitu hukum rajam.

Begitu pula halnya dengan Ma’iz ra, ia telah melakukan seperti yang diperbuat oleh wanita mukminah tadi. Rasulullah telah memberinya kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti, namun demikian ia tetap meminta kepada baginda Nabi agar sudi mensucikan dirinya dan menegakkan hukum Allah SWT padanya (atas perbuatannya). Demikian gambaran ketinggian aqidah dan akhlak individu masyarakat Islam, yang pada akhirnya menjadi asas pertama penopang kehidupan masyarakat Islam. Dalam kasus mulia tersebut Nabi SAW memberi komentar terhadap Al-Ghomidiyah:


“Dia (wanita itu) telah bertaubat dengan sesungguhnya, yang bila ditimbang (taubatnya itu) dengan seluruh penduduk bumi, pasti dika- lahkannya”.(HR.Abu Dawud, No.4446; Tirmidzi, No1459)

Kemudian tentang Ma’iz beliau berkomentar :

“Dia sekarang telah berenang di sungai surga” (HR.Ibnu Hibban, No. 4384, 4385)

          Pada masa sekarangpun, masih banyak teladan yang menunjukkan tingginya nilai taqwa individu dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Mayoritas umat Islam masih tetap tegar menjauhi minum khamr, perbuatan-perbuatan keji, riba dan harta yang diperoleh dengan cara yang haram, sekalipun penguasa beserta sistem kufur yang berlaku dewasa ini memberinya peluang dan kemudahan untuk itu. Semua ini sudah cukup menjadi bukti bahwa ketaqwaan individu menjadi salah satu asas pokok kehidupan masyarakat Islam.

2. Asas Kedua


          Asas kedua dalam penegakan sistem Islam adalah adanya sikap saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi tingkah laku penguasa, pada masyarakat. Masyarakat Islam terbentuk dari individu-individu yang dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan peraturan yang mengikat mereka sehingga menjadi masyarakat yang khas dan solid (persatuannya).

Masyarakat seperti ini jelas berbeda dengan masyarakat kapitalisme yang terpecah-pecah oleh rasa individualistis dan selalu berubah, berbeda dengan masyarakat sosialisme yang saling bertentangan dan mengalami fase kehidupan yang keras dan penguasa yang absolut untuk mencapai masyarakat tanpa kelas yang diidamkan. Masyarakat Islam memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk perasaan taqwa dalam diri individu.

Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar sebagai penegak keadilan, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk (berbuat) tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al- Maidah: 8)

Lebih dari itu masyarakat Islam memiliki kepekaan indera yang amat tajam, terhadap berbagai gejolak masyarakat, apalagi terhadap adanya kemungkaran yang mengancam keutuhan masyarakat. Dari sisi inilah maka amar ma’ruf nahi munkar menjadi bagian yang paling esensial sekaligus yang membedakan masyarakat Islam dengan masyarakat lainnya.

Allah SWT berfirman:


وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


“(Dan) Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyeru berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran: 104)


كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ


“Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran: 110)

Oleh karena itu ketaqwaan individu itu dapat dipengaruhi dan dibina oleh pandangan masyarakat. Dalam naungan masyarakat inilah, individu yang berbuat maksiat tidak berani terbuka, bahkan tidak berani melaksanakannya. Bahkan kalaupun ia tergoda juga untuk melakukannya ia akan berusaha. menyembunyikannya. Dengan sadar ia akan kembali kepada kebenaran dan bertaubat atas kekhilafannya.

Dimasa Nabi SAW kaum munafik sekalipun, tidak berani menampakkan apa yang mereka sembunyikan. Pada zaman kekhilafahan Abbasiyah ada orang-orang fasik, dalam jumlah sedikit, mendatangi rumah-rumah kaum Nashrani (kafir dzimmi) secara diam-diam hanya untuk meminum seteguk khamr. Hal ini terjadi bukan karena takut terhadap penguasa (sanksi) saja, tetapi mereka takut menghadapi pengawasan masyarakat. Tekanan keras dari masyarakat inilah, yang manjadi faktor kuat untuk mendorong sekelompok kecil penyeleweng tersebut bersembunyi.

Karenanya, pengawasan masyarakat dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar merupakan asas kedua yang menopang kehidupan masyarakat Islam. Dengan asas ini makin kokohlah bangunan masyarakat Islam sehingga mampu membawa kepada kemulyaan umat.

3. Asas Ketiga


          Asas ketiga pembangun masyarakat Islam adalah keberadaan negara atau pemerintahan sebagai pelaksana hukum syara. Kedudukan negara dalam Islam, tidak lain selalu memelihara masyarakat dan anggota-anggotanya serta bertindak selaku pemimpin yang mengatur dan mementingkan urusan rakyatnya. Keberadaan terpenting sebuah negara atau pemerintahan dalam masyarakat Islam adalah untuk menerapkan hukum-hukum syara’ dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Maka dalam negara Islam, kedaulatan (penentu nilai benar-salah) itu adalah milik syara’ saja, sedangkan kekuasaan (penentu siapa yang akan melaksanakan nilai baik-benar) adalah milik ummat. Artinya ummat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melaksanakan pemerintahan, dengan tetap berdasar kepada hukum syara', sedangkan kekuasaan melaksanakan hukum diserahkan kepada manusia untuk memilih pemimpinnya dalam melaksanakan hukum tersebut.


Dalam sistem Islam, negara mempunyai bangunan yang kokoh dan menyatu dengan tingkah laku individu dan sikap masyarakat. Hal ini terjadi karena umat merupakan penyangga negara, dan negara berwenang penuh untuk menerapkan hukum-hukum syara’ secara adil dan menyeluruh.
Suatu saat diajukan kepada Nabi SAW seorang pencuri wanita untuk diadili dan dijatuhkan hukumam atau had potong tangan terhadapnya. Beliau tidak menerima permohonan grasi dari Usamah bin Zaid untuk wanita tersebut, bahkan menegur Usamah seraya berkata :


“Apakah kamu mengajukan keringanan atau grasi terhadap salah satu hukuman dari Allah SWT?, demi Allah kalau saja Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti akan aku potong tangannya” (HSR.Bukhari, Muslim dari ‘Aisyah. Lihat “Jaami’ul Ushul”,Ibnu Atsir. Hadits No. 1879)

Abu Bakar As Shiddiq ra, khalifah pertama, berkata dalam pidatonya selepas dibai’at kaum muslimin :

“Orang yang lemah diantara kalian adalah kuat menurut pandanganku sampai aku berikan haknya kepadanya. Orang yang kuat menurut kalian adalah lemah menurut pandanganku sampai aku ambil hak tersebut darinya”. (HR Az-Zuhri dari Anas. Lihat “Al- Bidayah Wan- Nihayah” Ibnu Katsir VI : 340).


Oleh karena itu ketika muncul kemurtadan, sesaat setelah Rasul wafat, dan kejahatan merajalela serta menunjukkan tanda-tanda membahayakan stabilitas negara khilafah yang masih muda itu, segera Abu Bakar mengambil tindakan menumpasnya tanpa ragu-ragu. Sampai akhirnya para murtaddin itu kembali kepada Islam. Kemudian Allah SWT menghinakan para pemimpin kafir yang mengibarkan bendera kemurtadan lalu kembalilah Islam menjadi kuat dan mulia.


Dengan demikian, negara merupakan asas tegak dan kokohnya masyarakat Islam. Negara atau pemerintahan mengawasi dan mengontrol masyarakat, individu dan pelaksanaan seluruh hukum Islam. Kepadanyalah Allah memberikan amanah untuk menerapkan syari’at Islam. Kepala negara (khalifah) beserta aparatnya yang menjalankan amanah itu. Bahkan sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab mulai dari hal yang sekecil-kecilnya hingga sebesar-besarnya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :


“Seorang pemimpin adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab terhadap peliharaannya”. (HSR. Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dari Ibnu Umar. Lihat “Al-Fathul Kabir”, Yusuf An-Nabhani jilid II :330-331)


Karena itu negara menegakkan sanksi-sanksi hukum dan menyebarkan keadilan serta mengembalikan hak-hak kepada yang berhak. Negara memobilisasi tentara maupun rakyat untuk menyebarkan dakwah Islam di seluruh pelosok dunia. Negara juga merupakan pemimpin bagi ummat dalam mengatur perekonomian, kesehatan, keamanan, hubungan dalam dan luar negeri serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di tengah masyarakat. Negara pula yang mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain dan menyatakan perang, membuat perdamaian kerjasama ekonomi maupun yang lainnya untuk kemaslahatan bersama. Negara mengawasi dan mengontrol masyarakat beserta individu dan meminta pertanggungjawaban mereka tanpa memandang siapapun juga. Dalam sistem Islam, negara bersikap keras (tegas) dalam melaksanakan syari’at Islam, tetapi lunak terhadap ummat dan individu ikut serta bersama masyarakat dalam mengoreksi tingkah laku para penguasa.


Oleh karena itu dalam sistem Islam. pengontrolan dan pengawasan pelaksanaan hukum dilakukan secara bersama-sama. Individu merupakan penyangga yang pengoreksi tingkah laku masyarakat dan penguasa. Sedang masyarakat adalah pilar yang membentuk kepribadian individu secara Islami yang khas, serta mendukung negara dan meminta pertanggungjawabannya, juga ikut serta dalam menyangga masyarakat dan individu, disamping memenuhi dan melayani seluruh kebutuhan masyarakat, berdasarkan peraturan Islam, serta meminta pertanggungjawaban mereka terhadap setiap kesalahan dan penyelewengan.


Inilah gambaran ummat Islam yang disimbolkan dengan negara, masyarakat dan individu-individunya. Inilah umat yang kokoh bangunannya, sempurna dan konsisten peraturannya, sehingga tidak terdapat sedikitpun celah-celah yang memungkinkan disusupi oleh pemikiran dan ideologi asing. Keadaan ummat yang kacau-balau sekarang ini, yang telah menggoncangkannya sehingga ambruk bangunannya dan ditundukkan oleh aturan-raturan kufur, semuanya itu telah terjadi setelah umat Islam menjauhkan diri dari Negara Islam dan mencampakkan peraturan-peraturan Islam.


Saat kini, muncul pertanyaan,mungkinkah seorang individu yang hidup dalam sistem materialis dapat mengecap kesempurnaan taqwa ?

Apa sebenarnya yang bisa mendorong untuk memiliki sifat taqwa, sedangkan ia telah terputus hubungannya dengan Allah SWT dan telah terikat dengan materi semata ?

Juga ia tidak percaya bahwa Allah akan menghisabnya di hari kiamat kelak ?

Jawaban pertanyaan ini sudah jelas, bahwa tidak ada tempat bagi taqwa di hati individu, negara maupun masyarakat dalam sistem kapitalis maupun sosialis.


Sesungguhnya, Islam yang berlandaskan wahyu Allah SWT, disampaikan melalui Rasul-Nya, merupakan satu-satunya sistem yang memiliki ciri khas tentang cara pelaksanaan aturannya. Hal ini tidaklah mengherankan karena Islam adalah sistem yang bersumber dari Al-Quran, kalam Allah SWT, yang Maha Sempurna.


لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan oleh Rabb Yang Maha Terpuji” (QS Fushilat 42).